Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup, Kajian Konstitusional, dan Implikasinya Terhadap Demokrasi

9 Juni 2024   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

6. Pendidikan politik untuk masyarakat akan berkurang.

7. Tidak responsif dan adaptif terhadap perubahan yang cukup pesat.

5. KAJIAN KONSTITUSIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DEMOKRASI

Setiap pemilu memiliki masing-masing landasan hukumnya terkait pelaksanaan dan segala hal yang mengatur variabel-variabel lainnya. Dalam setiap landasan hukum tersebut aturan mainnya cukup variatif sesuai dengan kondisi masyarakat dan kebutuhan saat itu. Pada pemilu 1955 misalnya hanya memilih DPR dan Konstituante, angkatan bersenjata dan polri pun memiliki hak memilih dan dipilih, format secara tertutup dan lain-lainnya yang secara jelas sudah diatur sedemikian rupa sehingga jalannya pemilu bisa sesuai dengan rel konstitusional. Pun dengan pemilu-pemilu selanjutnya beberapa klausul hukum yang mengatur pemilu atau bahkan produk hukumnya secara umum bisa saja berganti, namun konstitusi tetap menjadi acuan bagi berjalannya turunan-turunan hukum yang mengatur secara spesifik. Konstitusi kita sudah semakin mengarah pada prinsip-prinsip demokrasi. Asas-asas pemilu yang sebelumnya hanya Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber), pada era Reformasi ditambahkan dengan asas Jujur dan Adil (Jurdil). Konstitusi kita pada hakikatnya sudah begitu terang-benderang sebagai acuan untuk membuat turunan produk hukum.

Pada praktik sistem proporsional tertutup atau pun terbuka jelas ada landasan hukumnya yang mengatur, misal sistem proporsional terbuka di pemilu 2004 tidak hadir begitu saja, terjadi perdebatan yang sengit terkait undang-undang pemilu khususnya terkait ketentuan sistem pemilu apa yang berlaku nantinya. Perdebatan tersebut berakhir dengan sebuah win-win solution yakni proporsional terbuka, formatnya tidak terbuka secara bebas, melainkan setengah terbuka. Secara praktik saat itu pemilihan umum 2004, khususnya untuk legislatif memulai sistem proporsional yang sedikit berbeda dibanding sebelumnya yakni sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system) dengan UU No. 12 Tahun 2003 menjadi landasan hukumnya. Legitimasi awal dari diadopsinya sistem proporsional terbuka adalah berdasarkan Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berdasarkan amar putusan tersebut diarahkan pada proporsional terbuka yang lebih sejalan dengan aturan konstitusi. Alhasil berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang bersifat final dan mengikat, praktis sistem pemilu kita khususnya legislatif menjadi proporsional terbuka mulai dari pemilu 2009 hingga pemilu terakhir, yakni 2019 dengan memasukkan pasal terkait proporsional terbuka di masing-masing landasan hukumnya. Lantas bagaimana uji materiil terkait proporsional tertutup yang pernah diperjuangkan pada tahun 2022 oleh beberapa pihak di Mahkamah Konstitusi? Bagi mereka yang pro dengan proporsional terbuka, berargumen bahwasanya konstitusi (UUD NRI 1945) kita jelas sudah pro terhadap terbuka, mereka membawa pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 terkait kedaulatan rakyat, pasal 22E ayat 1 terkait asas-asas pemilu, khususnya asas langsung yang jelas esensinya hanya hadir pada sistem proporsional terbuka bukan pada tertutup, pasal 27 ayat (1) terkait kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law), begitu juga dengan pasal 28D ayat (3) yang secara substansi mirip yakni terkait hak kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pada turunan hukumnya yakni UU No. 7 Tahun 2017 pasal 168 ayat (2) juga secara jelas menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dan argumen-argumen lainnya. Sedangkan mereka yang kontra membawa argumen pada pasal 22E ayat (3) yang berkaitan dengan peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, kecacatan dan ketidakefektifan sistem proporsional terbuka juga menjadi sorotan dari pihak kontra, dan argumen-argumen lainnya.

Entah proporsional terbuka atau tertutup, pada dasarnya keduanya memiliki argumennya masing-masing. Namun jika berkaca pada Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkan permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II yang secara substansial diarahkannya sistem pemilu pada sistem proporsional terbuka karena lebih konstitusional atau sejalan dengan konstitusi. Beberapa pihak mengkritik konsistensi MK apabila nantinya MK mengabulkan permohonan sistem proporsional tertutup.

Secara fundamental sistem proporsional terbuka dan tertutup mempunyai substansi demokrasinya masing-masing, namun pertanyaannya seberapa jauh intensitas dan implikasinya terhadap kehidupan demokrasi negara kita. Sebagian pihak cenderung mengatakan sistem proporsional terbuka jauh lebih mencerminkan semangat demokrasi, ada pula yang mengatakan jika sistem proporsional tertutup jika tidak dilekatkan dengan sistem pemilu masa Orde Baru dan diubah beberapa bagiannya maka sistem proporsional tertutup juga pada akhirnya membawa semangat demokrasi. Jika mengkaji derajat keterwakilan, sistem proporsional terbuka jauh lebih signifikan dibanding proporsional tertutup. Demokrasi yang pada substansinya berkaitan dengan semangat antroposentris dan humanis jelas lebih terefleksikan pada proporsional terbuka. Proporsional terbuka secara teoritis akan mengedepankan semangat persamaan hak dan mengurangi determinasi partai politik. Jika nantinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dan memutuskan bahwa sistem yang paling konstitusional adalah sistem proporsional tertutup, menurut Fadil Ramadhanil (Pihak Perludem) dalam sidang uji materi atas sistem proporsional terbuka di ruang sidang MK, Jakarta (16/3/2023) maka yang terjadi "ruang evaluasi akan tertutup karena sistem pemilu yang paling konstitusional hanyalah sistem proporsional tertutup. Imbasnya, pembentuk undang-undang tidak bisa menerapkan sistem pemilu varian lain di Indonesia. Padahal begitu banyak sistem pemilu dengan berbagai varian dengan kekhasannya masing-masing. Dan yang perlu dilakukan adalah simulasi dan kajian komprehensif untuk menentukan sistem pemilu mana yang paling cocok diimplementasikan di Indonesia". Karena itu, menurut Fadli, penentuan terkait sistem pemilu semestinya tetap menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden, dan sudah seyogianya penentuan sistem pemilu tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan terkait gugatan atas sistem proporsional terbuka, MK dapat memberikan batasan-batasan serupa, seperti koridor-koridor yang secara haluannya untuk memastikan prinsip-prinsip pemilu seperti jujur dan adil dapat berjalan secara konsekuen. Koridor itu di antaranya adalah partai politik harus secara demokratis menentukan caleg yang akan diusung, memprioritaskan kader yang sudah berbakti di internal partai politik dalam kurun waktu tertentu. Menurut Fadli, jika MK sudah dapat menjelaskan dan memberikan koridor-koridor dan prinsip-prinsip yang sepatutnya dilaksanakan partai politik dalam mengajukan calegnya, maka masalah yang dibawa dalam perkara ini sebenarnya sudah dapat terselesaikan tanpa perlu mengubah sistem pemilu.

KESIMPULAN

Pada dasarnya terkait perdebatan sistem ini berkutat pada substansi yang sama yakni sistem proporsional dengan variannya yang berbeda yakni terbuka dan tertutup. Sistem proporsional tertutup hadir dengan semangat perwakilan dan kepercayaan kita terhadap partai politik sebagai mesin politik yang harus terus diasah yang harapannya dapat mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi-aspirasi masyarakat sedangkan sistem proporsional terbuka hadir dengan semangat equality, direct, dan antroposentris membawa pada hubungan, koneksi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, keduanya mempunyai landasan historisnya masing-masing, keduanya mempunyai landasan filosofisnya masing-masing, keduanya memiliki variabel masing-masing. Namun yang perlu digarisbawahi perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup tersebut merupakan sebuah dialektika untuk dapat menemukan sintesis model sistem mana yang paling cocok, efektif, efisien, dan kompatibel dengan zaman dan aspirasi masyarakat.

Entah proporsional terbuka atau proporsional tertutup yang nantinya terpilih, maka ada variabel atau faktor lain yang sangat perlu untuk menjadi sorotan yakni baik proporsional terbuka dan tertutup, kedua sistem ini membutuhkan penegakan hukum yang konsekuen dan konsisten. Misal jika menghendaki sistem proporsional tertutup, maka partai harus dilarang untuk berjualan "kendaraan", partai politik harus diketatkan, partai harus terbuka dan transparan termasuk peran dan partisipasi public harus dibuka untuk dapat menentukan siapa caleg bagi partai di internalnya, agar semangat mencerminkan semangat demokratisasi, bukan ketertutupan dan gejala oligarki di internal partai yang kemudian hadir. Sistem proporsional terbuka pun membutuhkan hal yang sama, penegakan hukumnya harus kuat dan konsisten, termasuk money politics harus benar-benar dikontrol, pembatasan dana kampanye. Faktanya dalam proporsional terbuka (menurut penelitian Perludem) nomor urut menjadi faktor penting keterpilihan caleg dan yang terpilih pun cukup signifikan. Jadi walaupun praktiknya proporsional terbuka namun bacaleg masih jelas mengincar nomor urut "cantik" atau nomor urut teratas karena sering diasosiasikan dengan peluang kemenangan. Jadi baik itu sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup, kondisi dan aspirasi kemasyarakatan lah yang akan menjawab bahwa keinginan masyarakat terhadap sistem proporsional terbuka masih cukup tinggi dan ketidakidealan sistem kita untuk menganut proporsional tertutup

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun