Lantas bagaimana kalau mereka mengambil keputusan bekerja di daerahnya dengan mungkin upah yang lebih sedikit dibandingkan di kota?
Tentu kelebihanya yaitu waktu untuk anak lebih luas, waktu untuk bertetangga dan bersosial lebih luas. Tetapi imbasnya nafkah untuk si anak dan kakek yang kurang.
Entah itu dari sisi kondisi makanan, tempat tinggal, dan pakaian jadi serba apa adanya. Dan mereka juga sedikit tabungan yang dimiliki, sehingga seperti itu lagi, biaya untuk si anak dan kakek berkurang.
Karena ayah dan ibu sudah mengetahui apa dampak dari tiap keputusan, maka mereka mengambil keputusan yang matang dan terbaik, yaitu seperti yang dijelaskan di awal tadi.
Memang dualisme itu tidak mungkin. Tentu mereka berdua tidak bisa melarang dan menyalahkan tetangga dan masyarakat yang memiliki persepsi buruk kepada mereka, sebab mereka sendiri yang memutuskan untuk memiliki pilihan hidup semacam itu.
Meski demikian, saran dari teman penulis adalah pentingya menemukan tujuan dan focus hidup, kemudian penting untuk menentukan skala prioritas.
Tentu si ayah dan ibu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik, sebab yang selama ini mendidik adalah kakeknya. Hal yang teman penulis juga sampaikan adalah orang itu tidak bisa maksimal disegala hal.
Boleh jadi si ayah dan si ibu adalah karyawan terbaik di perusahaan, tetapi sosok parent yang buruk di mata anak.
Nah, tugas si ayah dan ibu adalah bagaimana caranya kewajiban mendidik anak itu tetap terlaksanakan dengan baik meski mereka tidak sering bertemu dengan anaknya.
Caranya ya seperti itu tadi, mereka memohon dan minta tolong kepada kakek supaya mau mengasuh dan mendidik anak mereka. Tentu sebagai gantinya, mereka harus menjamin kehidupan si kakek, sebab kalau si kakek mendidik anak, beliau tentu tidak bekerja.
Jadi, seperti judul artikel di atas, bahwa manajamen pikiran bercabang itu didasarkan kepada tujuan utama hidup dan penentuan skala prioritas. Barulah yang terakhir pengambilan keputusan, yang kemudian diikuti hasil dan resiko pengambilan keputusan.