Mohon tunggu...
M. Saiful Kalam
M. Saiful Kalam Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ekonomi

Calon pengamat dan analis handal

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Manajemen Pikiran Bercabang dan Pengambilan Keputusan

7 Februari 2022   17:31 Diperbarui: 7 Februari 2022   17:33 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pikiran bercabang pada orang yang dalam kategori sangat sibuk merupakan hal yang sehari-hari mereka alami. Belum usai pikiran satu selesai dimatangkan, masih ada pikiran lain yang juga harus diselesaikan segera.

Maka dari itu, orang yang sangat sibuk biasanya memiliki manajemen yang tepat supaya keputusan-keputusan penting yang mereka ambil bisa tepat dan bijak.

Pikiran bercabang tidak hanya dialami oleh orang tua saja, melainkan para pemuda yang memiliki kesibukan, entah itu banyak organisasi, banyak kerja, banyak meeting, dan sebagainya juga pasti membutuhkan pikiran yang bercabang.

 Kalau ditanya apa kesibukan jadi mahasiswa, tentu jadi mahasiswa dengan IPK bagus dan prestasi baik akademik maupun non-akademik merupakan kebanggaan tersendiri. Dan orang semacam ini dipastikan sibuk, dan hamper tidak memiliki waktu luang untuk diri sendiri.

Sebenarnya kali ini penulis hanya akan menyampaikan cerita dari beberapa teman dan senior penulis yang memiliki kesibukan luar biasa (bukan pejabat), tetapi hasil (prestasi) yang ia capai juga luar biasanya.

Kalau belajar manajemen, ada beberapa aspek yang perlu diketahui, salah satunya adalah skala prioritas. Skala prioritas itu sendiri akan diketahui jika kita sudah mengenal tujuan. Kasarannya, sudah seharusnya skala prioritas itu mempermudah dan mendukung tujuan yang akan kita capai.

Contohnya begini, ada seorang ayah dan ibu dengan kategori wanita dan pria karir. Dari Senin sampai Sabtu dihabiskan waktunya untuk bekerja di luar kota, pagi berangkat pulang malam. Waktu untuk mengobrol dengan anak terbilang sangat kurang.

Kondisi anak mereka yaitu masih kecil, jadi mereka menitipkan kepada kakek untuk mengasuhnya sementara. Baru pada sore hari ketika pulang kerja, mereka menjemputnya.

Akan tetapi, ada kelemahan yang mereka miliki, yaitu sama-sama tidak memiliki waktu untuk bertetangga dan bersosial di antara saudara kandung dan keluarganya.

Tentu kelemahannya tersebut berimbas kepada anak mereka yang kurang dikenali oleh lingkungannya dan saudara-keluarganya.

Cerita singkat diatas sudah usai. Kali ini akan penulis jelaskan mengapa sosok ayah dan ibu diatas membuat keputusan yang demikian.

Kalau sepintas melihat waktu, maka skala prioritas yang diambil oleh mereka yang nomor satu pekerjaan. Kemudian diikuti nomor dua yaitu keluarga. Dan yang nomor tiga adalah sosial. Kemudian bagaimana hasil dari didikan mereka setelah 10 tahun kemudian?

Si anak pada awalnya merasa kurang diperhatikan oleh ayah dan ibunya. Tetapi karena sudah mendapatkan perhatian dari kakek yang mengasuhnya, maka si anak tentu jadi lebih pro ke kakeknya ketimbang ayah dan ibunya sendiri.

Kadang kalau ayah dan ibu yang memberikan nasehat, si anak tidak memperhatikan. Si anak kalau cerita tentang apa-apa yang ke kakeknya. Kalau kakeknya yang memberikan nasehat, ia sangat memperhatikan.

Tetapi lambat laun hingga usia agak dewasa, setelah mendapatkan penjelasan dari si kakek, ternyata ia bercerita kalau ayah dan ibunya memutuskan hal yang demikian (sibuk bekerja untuk mencari nafkah) ya itu agar si anak dan kakek tercukupi kebutuhan hidupnya.

Si anak yang sudah dewasa tersebut berusaha memahami dan sudah paham, bahwa cara mencintai orang tuanya kepada dirinya itu berbeda dengan orang tua yang lain.

Si anak kadang iri kepada teman sepantarannya, yang orang tuanya sering mengajak liburan keluarga, temannya yang memiliki tetangga yang ramah dan baik, dan iri kepada hal-hal yang lain.

Ya si ayah dan ibu sudah tahu apa hasil dari keputusan yang mereka ambil. Setidaknya mereka bisa berkata dalam hati kalau soal kewajiban nafkah untuk anak dan kakek, terjamin. 

Mereka tidak perlu hutang ke tetangga dan saudara-keluarga ke sana dan ke mari agar kebutuah hidup mereka tercapai. Ya setidaknya, dengan sibuk bekerja mereka tidak ingin menyusahkan orang lain.

Ya si ayah dan ibu juga tahu, kalau keputusan yang mereka ambil akan menyebabkan mereka dijauihi oleh tetangga dan saudara-keluarga.

Tetapi, mengapa mereka rela mengambil keputusan tersebut. Itu semua karena mereka sudah memiliki tujuan yang jelas, yaitu ingin si anak dan kakek tercukupi kebutuhan hidupnya.

Jadi, si anak dan kakek menjadi tujuan utama dan mungkin bagi ayah dan ibu, anak dan kakek merupakan orang yang sangat berharga di hidup mereka. Mereka rela melakukan apapun dan dengan resiko apapun, asal orang yang sangat berharga di hidup mereka hidup tercukupi dan bahagia.

Lantas bagaimana kalau mereka mengambil keputusan bekerja di daerahnya dengan mungkin upah yang lebih sedikit dibandingkan di kota?

Tentu kelebihanya yaitu waktu untuk anak lebih luas, waktu untuk bertetangga dan bersosial lebih luas. Tetapi imbasnya nafkah untuk si anak dan kakek yang kurang.

Entah itu dari sisi kondisi makanan, tempat tinggal, dan pakaian jadi serba apa adanya. Dan mereka juga sedikit tabungan yang dimiliki, sehingga seperti itu lagi, biaya untuk si anak dan kakek berkurang.

Karena ayah dan ibu sudah mengetahui apa dampak dari tiap keputusan, maka mereka mengambil keputusan yang matang dan terbaik, yaitu seperti yang dijelaskan di awal tadi.

Memang dualisme itu tidak mungkin. Tentu mereka berdua tidak bisa melarang dan menyalahkan tetangga dan masyarakat yang memiliki persepsi buruk kepada mereka, sebab mereka sendiri yang memutuskan untuk memiliki pilihan hidup semacam itu.

Meski demikian, saran dari teman penulis adalah pentingya menemukan tujuan dan focus hidup, kemudian penting untuk menentukan skala prioritas.

Tentu si ayah dan ibu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik, sebab yang selama ini mendidik adalah kakeknya. Hal yang teman penulis juga sampaikan adalah orang itu tidak bisa maksimal disegala hal.

Boleh jadi si ayah dan si ibu adalah karyawan terbaik di perusahaan, tetapi sosok parent yang buruk di mata anak.

Nah, tugas si ayah dan ibu adalah bagaimana caranya kewajiban mendidik anak itu tetap terlaksanakan dengan baik meski mereka tidak sering bertemu dengan anaknya.

Caranya ya seperti itu tadi, mereka memohon dan minta tolong kepada kakek supaya mau mengasuh dan mendidik anak mereka. Tentu sebagai gantinya, mereka harus menjamin kehidupan si kakek, sebab kalau si kakek mendidik anak, beliau tentu tidak bekerja.

Jadi, seperti judul artikel di atas, bahwa manajamen pikiran bercabang itu didasarkan kepada tujuan utama hidup dan penentuan skala prioritas. Barulah yang terakhir pengambilan keputusan, yang kemudian diikuti hasil dan resiko pengambilan keputusan.

Kalau memang itu sudah keputusan yang tepat, maka kita harus menerima segala resiko yang ada. Seperti kata movitasi yang terkenal, "Resiko Ditanggung Pemenang".

By: M. Saiful Kalam

Source: Pengalaman Teman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun