Mohon tunggu...
M. Saiful Kalam
M. Saiful Kalam Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ekonomi

Calon pengamat dan analis handal

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kisah "Muncak" di Bromo Mt.

2 September 2021   13:29 Diperbarui: 22 November 2021   23:24 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Referensi: pengalaman pribadi

Pengalaman kali ini adalah perjalanan penulis dan teman penulis, menuju ke Gunung Bromo. Letaknya berada persis di daerah Podokoyo, Kota Pasuruan. 

Kami mengambil rute untuk kesana melalui Malang-Pasuruan-Wonokitri. Kebetulan kami berangkat dari Blitar dan berencana naik motor bebek. 

Sebenarnya, kalau mau mendaki, saran penulis, lebih baik memakai motor bergigi/kopling. Karena, sudah banyak yang diceritakan oleh penduduk sana beberapa kendaraan bermotor bebek yang ketika berada di jalan turunan, tidak bisa nge rem karena blong. 

Juga ada cerita beberapa pengemudi truk yang mau jalan naikan, tapi gagal dan akhirnya mundur ke belakang. 

Tapi tidak perlu takut, asal kendaraan kita sudah fit dan performa baik, maka mendaki akan terasa menyenangkan. 

Balik lagi ke cerita, setelah persiapan dilakukan. Kebetulan kami bukan pendaki ahli, jadi kami tidak bawa yang namanya tas gunung, jaket gunung, tenda, matras, nesting dana peralatan gunung lainnya. 

Kami hanya bawa tas biasa, sepatu biasa, jaket biasa, dan peralatan serba biasa. Ya maklum, itu karena budget kami minim sekali. 

Setelah bersiap-siap akhirnya kami naik motor dan berangkat ke sana. Kebetulan aku menjadi bagian navigator, dan temanku sebagai driver. Tapi karena kamu sudah kenal Malang meski berada di kampus berbeda, rute Blitar-Malang tentu sudah hafal di luar otak. 

Tapi, saat itu karena aku memang 'ahli' dalam navigasi, aku sama sekali tidak pakai Google Maps dulu. Aku kan punya pengalaman banyak tersesat di jalan, jadi sudah tahu antisipasinya. 

Aku bilang ke temanku, 

"Kita ikuti saja arah jalan besar menuju pasuruan. Baru ketika udah sampai di Pasuruan, nanti aku lihat Maps."

Aku punya pendapat kalau Google Maps itu sebaiknya digunakan untuk akses ke lokasi terpencil. Kalau jalan besar, kan kita bisa lihat papan hijau atas yang dekat lampu merah. Biasanya ada tulisan, belok kanan sini belok kiri situ. Ya tinggal ngikuti aja. 

Perjalan memakan waktu sekitar 5-6 jam, itu dengan kecepatan 60km-80km. Kami santai-santai saja sambil menikmati pemandangan kanan-kiri. Kadang kalau capek, aku bergantian sama temenku biar sama-sama enak. 

Oh iya, untuk tanggal tepatnya yaitu 26-27 Desember 2019. Ya liburan setelah wisuda SMA, kami merayakan dengan mendaki. 

Oke, perjalanan ya tidak sulit ketika menuju Pasuruan dan jalan masuk ke Bromo, yaitu Wonokitri. Baru beberapa kilo setelah masuk Wonokitri, perjalanan kali ini agak sulit. 

Tapi, yang dicari itu yang sulitnya. Namanya juga pendaki, tantangan itu jadi kayak semacam motivasi agar bisa sampai ke puncak. 

Siang itu kami sampai ke sebuah kampung Tengger. Di sana, nampak masyarakat yang menggunakan sarungnya dengan dijoplangkan ke badan dan ada juga yang dipakai untuk menutupi wajah, (tapi bukan maling ya, bercanda hehe). 

Saat itu kami baru pertama kali ke sana, bingung nih nyari tempat untuk sewa menginap. Saat itu aku dan temanku mendodok pintu sebuah tempat persewaan kos harian. Tapi kayaknya sepi. Kemudian, ada bapak-bapak yang menanyai? 

"Cari apa, Nak?"

" Ini kami mau ngekos harian Pak. Tapi kayaknya tutup."

Kemudian, singkat cerita, Bapak yang bertemu kami itu Pakdhe Yosi namanya, ia menawarkan menginap dua orang 200 ribu satu kamar. 

Kami pun menanyakan tempatnya dan lihat lokasinya. Setelah dilihat, kamar yang akan kami tempati itu bisa di bilang hotel bintang 3. Murah, tapi nampak mewah dan nyaman. 

Yang kami salut adalah pemilik kosnya (penulis lupa namanya). Ia seperti menyambut dengan hangat kedatangan kami. Bahkan, kami diperlakukan seperti tamu, diberikan suguhan kopi dan diajak ngobrol sebentar. 

Setelah ngobrol santai di sore hari, kami memutuskan sebelum beranjak petang, kami mengelilingi dan melihat kondisi masyarakat sekitar. Ya, plesiran namanya. Beberapa orang menyapa kami dan kami pun menyapanya balik. 

Oh iya, kalau Anda menginap di dekat pegunungan, maka usahakan membawa penghangat badan, entah itu pakaian tebak atau apalah namanya. Sebab benar-benar udaranya dingin. Bahkan dikamar saja dan sudah memakai selimut, masih terasa dinginnya. 

Malam hari, kami pergi untuk mencari warung. Lagi-lagi karena budget minim dan keterbatasan bekal, aku dan temanku hanya membeli mie double dan susu anget. Ya lokasinya dekat dengan kos kami. 

Setelah perut yang tadinya lapar sudah kenyang, akhirnya kami kembali ke kos dan tidur. Bersiap untuk besok, karena besok adalah hari inti. 

Keesokan harinya

Udara dingin masih menyelinal, namun api semangat kami masih berkobar-kobar. Tepat jam 03.00, kami bergegas muncak. Kalau anda masuk, pasti ada tiket masuk. Seingatku, ada dua tiket masuk, jadi portalnya ada dua di tempat berbeda yang satu jalur. 

Setelah kami berhasil masuk, ada masalah lagi. Kalau naik motor berdua, apalagi motor bebek, kan sangat rawan nanti ada apa-aoa di jalan. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyewa motor dan naik ke puncak. 

Sesampainya dipuncak, masih belum terbit mataharinya. Kami menunggj di tempat bundaran (penulis tidak tahu namanya) yang disana nampak orang ramai sedang duduk dan menunggu. 

Ya, kalau pendaki momen yang ditunggu adalah foto sunrise di pagi harinya. Tapi itu masih belum di puncak, ya hampir dekat dengan puncak lah. 

Setelah itu, kami langsung memutuskan untuk naik ke puncak. Disana, kami menjumpai orang-orang berlalu-lalang. Ada yang naik kuda, ada yang berjualan, ada yang menggendong anakya. Pokok suasananya ramai. 

Ya Anda pasti tahu lagi, budget minim seperti kami ya jalan saja. Memakan waktu sekitar 20 menitan, akhirnya kami sampai di puncak. Tapi memang benar-benar sesak orang, alias ramai. Mungkin karena weekend, jadi ramai. 

Di sana, kami berhasil foto dan mengabadikan momen ini. Aku melihat uap yang keluar dari kawah gunung tersebut. Juga ada beberapa pekerja di sini yang entah sedang memperbaiki/mencari apa di bawah. 

Di puncak pun kita enggak bisa lama-lama paling hanya 15 menit, kemudian kami turun lagi. 

Lalu, kami pulang dan menyempatkan foto di beberapa tempat seperti dataran yang ada rumputnya (penulis tidak tahu istilahnya). Ya intinya subjek utama foto adalah gunung di tengah dan background rumput serta jalanan. 

Setelah merasa puas, akhirnya kami memutuskan kembali ke kos dan bersiap. Dan yang menarik uang kami berdua hanya tinggal 10 ribu. Ya cukup buat perjalanan pulang, tapi harus tahan makan dulu. Lelah, tapi menyenangkan.

by: M. Saiful Kalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun