Mohon tunggu...
muhammad sadji
muhammad sadji Mohon Tunggu... Lainnya - pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

menulis untuk tetap mengasah otak

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pahlawan Nasional Kok Bermasalah?

27 Oktober 2024   01:14 Diperbarui: 27 Oktober 2024   01:14 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia periode tahun 2019 -- 2024, pada akhir masa kerjanya membuat kejutan karena mengkreat jebakan Batman. Didahului dengan niat luhur Lembaga ini yang berkomitmen untuk mengawal pemulihan nama baik Presiden pertama RI Soekarno dengan mencabut Tap MPRS nomor 33/1967 dan dinyatakan tidak berlaku. 

Ketetapan MPRS tersebut tentang : Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno dengan alasan mengkhianati negara. Kelompok Tap MPRS tersebut sebelumnya sudah dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan MPR nomor 1/2003 yang menyatakan tidak perlu adanya tindakan hukum. 

Landasan lain mencabut Tap MPRS tersebut adalah Keputusan Presiden nomor 83/TK/tahun 2012 yang diterbitkan oleh Presiden SBY mengenai penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno yang merupakan putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Kompas, 10 September 2024) menyebut, bahwa sesuai UU nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pasal 25 huruf e dinyatakan bahwa salah satu syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah setia dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara. 

Ini berarti, seseorang yang semasa hidupnya pernah melakukan pengkhianatan kepada bangsa dan negara tidak akan pernah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dengan demikian, secara administrasi dan yuridis, Bung Karno memenuhi syarat tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara.

 Pimpinan MPR berharap agar apa yang menimpa Soekarno tidak terulang lagi di masa depan, tidak boleh ada warga negara kita, apalagi jika ia seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman apa pun tanpa adanya proses hukum yang fair dan adil.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas menyampaikan, bahwa dengan tak berlakunya lagi Tap MPRS no.33/1967 bermakna mendalam tak hanya dari segi hukum dan politik, tetapi juga dari sisi sejarah bangsa. 

Tuduhan-tuduhan dalam Tap MPRS tersebut pun otomatis telah gugur dan dinyatakan tidak terbukti. 

Momentum pencabutan Tap MPRS tersebut tidak hanya melepaskan beban sejarah, tetapi juga menjadi bukti bahwa keadilan akan selalu menemukan jalannya sendiri. 

Sekali lagi katanya, ia menyatakan bahwa surat pencabutan tersebut bukan hanya sebagai bentuk administrasi, tetapi juga sebagai simbol penghargaan dan pemulihan martabat Bung Karno sebagai salah satu founding father bangsa ini.

Apabila kita kembali melihat sejarah ke belakang. Didahului dengan peristiwa G30S tahun 1965, terjadi hingar binger politik, Presiden Soekarno menunjuk Jenderal Soeharto menjadi Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk menyelesaikan secara hukum terhadap yang terlibat peristiwa yang mengharukan dan mendebarkan kala itu. 

Anehnya, kamtib tak kunjung reda apalagi berakhir, bahkan semakin brutal sehingga timbulnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan Supersemar yang diberikan kepada Soeharto. 

Anehnya, surat perintah tak bernomor dan di kemudian hari dinyatakan hilang itu, oleh pengembannya disalah-gunakan dengan meminta Bung Karno bertanggung-jawab terhadap peristiwa G30S sampai keluarnya Tap MPRS yang menista Sang Proklamator Kemerdekaan yang kemudian dicabut setelah 57 tahun 6 bulan berlalu.

Namun yang mengagetkan, setelah pencabutan Tap MPRS tersebut, ternyata MPR mengeluarkan penghapusan nama Presiden kedua RI Soeharto yang tercantum dalam Tap MPR nomor 11/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). 

Ini menanggapi dan menindaklanjuti surat dari fraksi Partai Golkar nomor 2 tahun 2024 yang diajukan kepada pimpinan MPR. Bahkan kemudian dilanjutkan dengan mengusulkan kepada Pemerintah agar memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

 Itulah yang namanya jebakan Batman yang terus merangkak usulannya tanpa melihat sejarah masa lalu yang sebenarnya, serta mengabaikan rasa keadilan dan kebenaran yang beradab. Maka ada baiknya kita mengungkap kembali artikel di Harian Merdeka yang ditulis oleh BM Diah edisi 21 Juni 1970 sehari setelah wafatnya Bung Karno. 

Dia mengecam tuduhan seolah Bung Karno mengkudeta dirinya sendiri. BM Diah juga membela, mana mungkin Bung Karno merusak negeri yang dia perjuangkan dan dirikan dengan penuh pengorbanan jiwa, raga, pikiran, waktu yang panjang dan harta bendanya. 

Masak orang yang ada indikasi mengkudeta Presiden Soekarno dengan kualitas Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional dengan cara merangkak, menyebut Bung Karno dengan penghinaan dan merendahkan sebagai Orde Lama (Orla), pada hal Soeharto ada di dalam sistem pemerintahannya  dengan mendapat pangkat dan jabatan tetapi sepertinya menggunting dalam lipatan, kok diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.

Berikut ini ada nasihat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang adil dan beradab yang bisa menjadi panutan dan pegangan bagi kita semua.

Pertama, ucapan negarawan Amerika Serikat yang pernah dikutip oleh Karni Iljas dalam acara ILC (Indonesia Lawiers Club) :"Saya sangat percaya kepada rakyat, oleh karena itu berikan informasi yang benar kepada rakyat maka segala masalah akan terselesaikan dengan baik".

Kedua, ada pamflet di sebuah SMA Negeri di Bekasi yang mengutip tuntunan Rasulullah Muhammad saw, bahwa pahlawan adalah orang yang tidak menghunus pedang ketika marah terhadap musuhnya.

Yang ketiga, nasihat penting seorang ulama tentang pemimpin. Bahwa dosa besar seorang pemimpin adalah, apabila dia suka  membunuh, suka berbohong, bersikap munafik, suka berbuat maksiat termasuk korupsi, suka memfitnah dan berbuat musyrik. Karena dosa besar maka ganjarannya adalah neraka jahanam termasuk kepada pendukung dan pemujanya.

Keempat, pernyataan Nelson Mandela, pahlawan dan mantan Presiden Afrika Selatan. Dia bilang, bahwa penjahat itu tidak pernah melakukan pembangunan, melainkan dia hanya sibuk memperkaya diri sendiri bersama kroni dan kelompoknya sedangkan negaranya sendiri jadi bangkrut. Dari empat pesan tersebut kiranya penting sebagai pengingat agar kita tidak gegabah di dalam mengangkat seseorang menjadi atau sebagai Pahlawan Nasional.

Menghormati mantan Presiden Soeharto tidak harus dipahlawan-nasionalkan, tetapi cukup dengan sebutan Presiden kedua NKRI yang berkuasa sejak tahun 1967 sampai dengan 1998, dan ini pernah dilontarkan oleh mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. 

Bahkan sebutan sebagai Bapak Pembangunan juga perlu dipertanyakan. Walaupun disebut telah berhasil mengatasi krisis ekonomi pasca peristiwa G30S 1965, tetapi harus dibayar mahal. 

Berapa orang telah terbunuh, dan kekayaan alam yang merupakan sumber kemakmuran dikuasai bangsa asing. Soeharto pernah berucap tentang pasal 33 UUD 1945, bahwa menguasai tidak harus memiliki, maka dia mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1967.Bukankah ini berarti dia sebagai penguasa baru menggantikan Soekarno telah menentang rumusan para pendiri bangsa. 

Dan apakah kebijakan ini tidak termasuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara? Apalagi, pada akhir kekuasaannya, Indonesia mengalami krisis ekonomi berat sampai timbul penjarahan dan PHK di mana-mana. 

Pada hal, pertumbuhan ekonomi digebar-gemborkan sebesar 7 % per tahun dan dibilang tinggal landas, yang ternyata pembangunan masih tinggal di landasan. 

Maka yang perlu dicamkan adalah, Pahlawan Nasional itu mestinya seseorang yang tidak bermasalah dalam hal mendapatkan kekuasaan, bagaimana mempertahankan dan semua perilaku selama menjalankan pemerintahan atau tugasnya yang seharusnya selalu patuh terhadap sila-sila dalam Pancasila.*****Bekasi, Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun