Menjelang Pemilu 2014 yang lalu, banyak beredar spanduk, baliho, dan stiker yang berbunyi :"Piye kabare, enak jamanku tho?". Kata-kata itu tersebar di mana-mana. seolah Soeharto hidup kembali menyaksikan kondisi ekonomi yang masih terpuruk sepeninggalnya dari singgasana yang dia duduki selama 32 tahun.Â
Yang bikin yel-yel itu tidak sadar, kalau memang selama dia memerintah lebih enak, pasti tidak akan mengalami kejatuhan oleh DPR-Jalanan pada tahun 1998 yang melahirkan alam reformasi.Â
Sampai sekarang geliat itu masih ada. Yang terakhir, Anies Baswedan, menjelang berakhir masa jabatannya pada Oktober 2022, dia memindahkan Monumen 66 yang dibuat oleh Soeharto pada tahun 1992 ke Taman Menteng dari lokasi awal di Jalan Rasuna Said Jakarta.Â
Monumen itu ditengarai sebagai ikon kehebatan demonstrasi tahun 1966 ketika menjatuhkan Presiden Soekarno melalui demonstrasi brutal dengan tuntutannya yang terkenal dengan Tritura, yaitu : bubarkan PKI, turunkan harga-harga dan reshuffle Kabinet Dwikora.Â
Soeharto yang sudah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat dan sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan & Ketertiban (Pangkopkamtib) justru masih minta perintah khusus sehingga keluarlah Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966.Â
Lucunya, SP itu tidak bernomor dan digunakan sebagai alat menurunkan Presiden Soekarno yang anehnya kemudian dokumen itu dinyatakan hilang sampai sekarang dan tidak ada yang berhasil menemukan.Â
Pada hal kalau dihubungkan dengan langkah yang diambil oleh Universitas Indonesia yang merobohkan semua baliho atau panel yang menyebut Universitas Indonesia sebagai Kampus Perjuangan Orde Baru, maka tindakan Anies Baswedan tersebut seolah ingin membalikkan arah reformasi.
 Partai Nasdem agaknya menopang gerilya itu, terbukti dengan mencalonkannya sebagai Capres dalam Pilpres 2024 mendatang dan niatnya tersirat dalam pidato pengantar Surya Paloh ketika deklarasi pencalonan tersebut.
 Sekiranya dia memahami dengan baik lahirnya Orde Reformasi yang menumbangkan rezim otoriter dan diktator, sebagai Gubernur mestinya bisa saja dia juga membuat Monumen 98 yg dipasang berjejer dan bersamaan untuk pengingat bagi generasi mendatang.
Bagi generasi muda yang lahir sesudah tahun 90-an banyak yang tidak tahu tentang lahirnya Orde Reformasi yang menurunkan Soeharto beberapa waktu setelah dia dinyatakan terpilih sebagai Presiden yang ketujuh kalinya.
 Krisis ekonomi global yang melanda Indonesia telah membuat negeri ini terpuruk sehingga rakyat menggugat rezim Orba itu untuk turun tahta pada tahun 1998. Verba volant scripta manent, yang bermakna bahwa yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi.Â
Cerita tentang Orde Baru dan kejatuhannya mungkin tidak banyak diketahui oleh generasi 90-an dan sesudahnya. Untung, harian terkemuka Kompas, merekam semua kejadian seputar kejatuhan rezim Soeharto.Â
Penurunan Soeharto bukan karena kudeta, karena terbukti para tokoh demonstrannya tidak menggantikan kedudukan Soeharto. Itu berbeda dengan kejatuhan Soekarno yang       digantikan oleh Soeharto setelah mengantongi Supersemar dengan melakukan penekanan melalui demonstrasi mahasiswa yang brutal, sistematis, massif dan terstruktur yang digalang Soeharto.
Buku dengan judul "Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu" itu dibuka pada sampulnya dengan menampilkan Lukman Firdaus, siswa SMUN 3 Ciledug yang pamit kepada Ibunya untuk ikut demonstrasi. Bu, katanya sebagaimana diberitakan Kompas 14 November 1998 :"Saya mau berjuang bersama mahasiswa.Â
Saya tidak ikut-ikutan. Saya benar-benar ingin memperjuangkan kebenaran bersama mahasiswa dan melihat jalannya Sidang Istimewa MPR". Sayang dia gugur dalam Tragedi Semanggi I sehingga tidak mengetahui perkembangan NKRI yang demokratis yang dia ikut perjuangkan dan tegakkan.Â
Demonstrasi besar-besaran di hampir seluruh kota di Indonesia tersebut cukup beralasan karena korupsi yang merajalela sehingga negara terpuruk. Bank Dunia bahkan menyebut korupsi di Indonesia sudah mewabah, yang artinya berjamaah secara besar-besaran di berbagai sektor yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah hingga dunia usaha swasta (Kompas 23 Oktober 1998, hal.208).Â
Hal ini merupakan kesimpulan Tim Bank Dunia yang diundang Pemerintah Indonesia pada tanggal 13-20 September 1998. Sebagai Ketua Tim adalah Katherine Marshall yang jabatan resminya sebagai Direktur Kebijakan Sosial Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik.Â
Mereka menemui para pejabat, perwakilan Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), donatur untuk Indonesia, pebisnis dan komunitas politik. Mereka tercengang dan ikut prihatin karena korupsi di Indonesia sudah mewabah, endemik, sistemik dan meluas di berbagai Instansi Pemerintah dan di berbagai daerah.Â
Korupsi yang berlangsung, ditengarai telah mempengaruhi efektivitas semua proyek pemerintah yang didanai Bank Dunia maupun Lembaga Internasional lainnya.
Kemiskinan merajalela dan melanda di mana-mana. Sekitar 4.000 mahasiswa UGM-Yogyakarta cuti karena tidak mampu bayar SPP (hal. 68), juga mahasiswa ITB-Bandung menggelar pasar rakyat di kampusnya yang disambut berbondong-bondong oleh masyarakat sekitar (hal. 63).Â
Juga pada halaman 39 memuat berita Kompas 30 Desember 1997 yang mengabarkan krisis  ekonomi di sektor properti, konstruksi, perbankan sehingga terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sekitar sejuta pekerja dan terjadi pengangguran terselubung sebesar 37-40 juta orang (45% dari 91 juta angkatan kerja).
Setelah 20 tahun Reformasi, kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai membaik. Pada halaman 243 ditampilkan tabel perubahan, pertumbuhan ekonomi tahun 1998 minus 13,13%, pada tahun 2017 tercapai pertumbuhan sebesar 5,07% dan terus melaju hingga saat ini walau pun menghadapi kasus pandemi Covid-19 dan krisis invasi Rusia terhadap Ukraina.Â
Dan nampaknya, lelompok Soeharto/Orde Baru, ingin memanfaatkan momentum ini untuk bangkit kembali memutar arah jarum jam Reformasi. Oleh karena itu, generasi muda dan seluruh rakyat Indonesia perlu membaca buku ini dengan seksama.Â
Dalam buku ini menampilkan empat tema utama, yaitu : rezim Orde Baru-Soeharto beserta secuil kekonyolannya ; gambaran krisis ekonomi sejak medio 1997 hingga pertengahan Mei 1998; hari-hari menjelang Soeharto turun; serta hari-hari menuju Pemilu 1999. Buku ini dimulai dengan guntingan koran Kompas tertanggal 13 Maret 1994 yang memuat pernyataan Presiden Soeharto bahwa dia tidak berambisi jadi presiden seumur hidup.
Tetapi pada tahun 1998 malah dia masih mau dipilih untuk yang ketujuh kalinya, dan baru dilantik lalu diturunkan lagi oleh aksi massa rakyat yang berdemonstrasi di seluruh wilayah tanah air. Kenanglah itu semua dari buku terbitan Kompas ini yang juga memuat 6 Tuntutan Reformasi yang belum tuntas dan harus terus diperjuangkan oleh rezim berikutnya, yaitu :
Pertama, penegakan supremasi hukum.
Kedua, pemberantasan KKN.
Ketiga, mengadili Soeharto dan kroninya.
Keempat, amandemen konstitusi. Sudah berhasil membatasi jabatan Presiden/Wakil Presiden hanya dua kali, tetapi sayangnya menghapus persyaratan penting yang mengharuskan Orang Indonesia Asli. Penghapusan ini mungkin suatu kemunduran karena mengingkari kebijakan para Perintis Kemerdekaan yang merumuskan UUD 1945.
Kelima, pencabutan Dwifungsi TNI/POLRI.
Keenam, pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya.
Terutama bagi generasi muda perlu membaca buku ini, sebab ada petunjuk dan tuntunan agama sebagai rujukan untuk melangkah sebagai bangsa.
Pertama, dosa besar seseorang yang menyandang sebagai pemimpin adalah apabila dia suka membunuh, berkelakuan munafik, suka berbohong, memfitnah tanpa dasar, menyekutukan Tuhan atau musyrik dan berbuat maksiat termasuk korupsi dalam segala bentuknya. Disebutkan, bahwa sebagai dosa besar, ganjarannya adalah neraka jahanam, dan apabila suatu bangsa mengamini rezim yang demikian, maka terpuruklah bangsa itu.
Kedua, Ustadz Abu Sangkan dalam suatu ceramah menyebut, bahwa untuk memberantas korupsi haruslah dimulai dengan keteladanan pemimpinnya dari Presiden/Kepala Negara sampai perangkat desa berikut perangkat penegak hukum dan para anggota legislatif.
Ketiga, Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh dalam khotbah sholat Iedul  Adha 2022 di Masjid Istiqlal menyebut, bahwa suatu rezim itu akan menularkan perilakunya secara terus menerus. Kalau baik rezim itu, semuanya akan menularkan kebaikan. Sebaliknya, apabila rezim itu suka membunuh, korupsi dan lain-lain sifat keburukan dan kezaliman, akan otomatis diikuti oleh jajaran di bawahnya dan terus menular ke generasinya secara terus-menerus dan akan mewabah sebagai bahaya laten.
Nah, buku ini menginformasikan dengan lengkap data otentik pilihan seputar perubahan rezim dari Orde Baru yang otoriter, ke alam reformasi yang demokratis. Selamat membaca dan memahami dengan baik!.***** Bekasi, Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H