Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akibat Tatapan

10 Maret 2020   15:47 Diperbarui: 10 Maret 2020   16:14 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wong kentir!"

Sebuah teriakan terdengar keras di sekitarnya. Termasuk di kuping Ardi, yang mengendarai sepeda motor matic melintasi gapura. Orang yang berambut keriting itu diam saja padahal jaraknya sangat dekat dengan peneriak itu.

Seperti deja vu, teriakan itu persis seperti sejak 14 tahun lalu. Tepatnya, saat dirinya berumur 12 tahun.

Seseorang pernah meneriaki dirinya. Dia adalah anak teman sekampung yang berumur 9 tahun. Wajahnya innocent persis orang suci. Alisnya lurus dan matanya sayu. Posturnya sedang dan selalu menggunakan kaos bola.

Setiap kali lewat, teriakan itu terus bergema.

"Heh!!!"

Hatinya gusar. Adri tidak ingin memancing keributan dengan anak yang tidak ia kenal itu. Siapa dia? pikir Adri. Ia tidak pernah punya masalah dengannya. Pacaran, berkelahi, mengejek, mencuri, ataupun hal buruk lainnya tidak ada.

Kejadiannya bermula setelah shalat Jumat tahun 2004. Adri melewati anak itu yang menatap dirinya sambil menyengir. Adri melihat wajah itu seperti ekspresi menghina.

Adri mengabaikannya dan melangkah meninggalkan masjid.

Jumat berikutnya, Adri melewati anak itu lagi. Ekspresinya masih sama dengan tatapan mendongak dan senyum cengirnya.

Adri merasa gemas dengan ekspresi anak itu. Setelah ia keluar dari masjid, Adri langsung mencuil sekeping kerikil dan melemparnya ke arah anak itu.

Gerundulan batu itu mengenai sandalnya. Setelah mendapat lemparan batu itu, ia langsung melemparnya kencang ke arah Adri.

Adri terkejut namun ia diam saja. Ia menatapnya dengan ekspresi santai melihat anak itu balas melempar. Adri hanya ingin memancing anak itu untuk bercanda. Ternyata, anak itu marah.

Setiap berpapasan dengan anak itu, Adri selalu dimaki. Teriakannya menggema membuat dirinya terkejut. Anak itu ternyata terpancing dengan lemparan batu itu.

Teriakan itu terus berlanjut dimanapun Adri melintasi anak itu. Sudahlah tidak hormat dengan yang tua, tidak dikenal lagi. Ia tidak tahu siapa anak itu dan kenapa ia kesal.

Anak itu tidak pernah mau melakukan pendekatan. Kenal tidak tapi bencinya sudah di ubun-ubun. Ia juga pernah dinyinyir anak itu saat ia bersama gengnya. Kenapa anak itu tidak ngomong jujur saja, pikir Adri.

Paling tidak, ia bisa bilang jujur kenapa dirinya benci Adri. Kalau mau meminta maaf pasti ia akan berbaikan. Tapi, ia malah meneriakinya setiap kali lewat.

Suatu hari, Adri pernah menemui anak itu di rumah temannya. Ia menyambutnya dengan ekspresi serius di depan mukanya. Seperti berharap kepastian.

Anak itu membalas tatapan Adri dengan kesal. Langsung saja, ia memakinya.

"Kamu lagi, rasanya pengan sobek mulutmu. Tak suwek!" Ucapnya sambil menggeser telunjuknya di bibir. Anak-anak yang lain tampak tegang.

Adri hanya terdiam.

"Salahku apa? Aku saja tidak kenal kamu tapi kok ya malah marah-marah. Aku tidak pernah benci kamu tapi malah balasannya seperti ini." Ucap Adri dengan geram.

"Ya pikir sendirilah." Ucap anak itu. Ia langsung bereaksi begitu melihat Paijo berlajan menuju sepeda BMX Adri.

"Ora sah bali 'Jo!" Teriak anak itu begitu sepedanya melayang.

Adri hendak mendorong anak itu dan melumat badannya sehabis-habisnya. Tidak kenal tapi bencinya sudah selangit. Tetapi, ia hanya mematung karena nyalinya kembali ciut.

Begitu sepedanya tiba, Adri langsung ambil. Ia langsung melajukan sepedanya dengan kencang.

"Hooo.... wong edan!" Teriak Adri membalas teriakan seperti yang sering dilontarkan anak itu.

Teriakan Adri membuat anak itu tidak berhenti. Justru berlanjut sampai pada kontak fisik.

Anak itu pernah menendang tasnya sewaktu Adri melintasi sekolahnya. Ia menatap muka innocent-nya yang mulai memerah. Wajah dengan mata sayu itu yang terus diingatnya terus.

Begitu pulang ke rumah, Adri bertemu Paijo dan temannya.

"Adri, tadi gimana anak tadi?" Tanya Paijo dengan senyum sumringah.

Adri mengambil kursi.

"Namanya anak itu siapa sih? Kok aku enggak kenal ya?" Tanya Adri heran.

"Enggak tahu." Jawab Paijo dengan ekspresi tenang.

"Aku enggak tahu aja kenapa ia benci aku. Padahal, aku tidak pernah marah-marah sama dia. Apalagi, kenal saja enggak."

Paijo hanya menegakkan bahu.

Beberapa bulan kemudian, ia melihat anak itu berkumpul bersama kawan sekampung Juki. Ia menggunakan kaos bola warna merah dan di belakangnya tertera sebuah tulisan.

'Janto' adalah namanya. Misteri yang selama ini membekas akhirnya terjawab. Kaos bola memang menyimpan sebuah jawab tentang nama.

Beberapa minggu, Adri pulang dari sekolah. Ia bersama teman sekolahnya bercengkerama. Sambil tertawa, Adri berpapasan dengan Janto. Ia bersama-sama teman segengnya mengulang tawa Adri.

"Hehehe...." Nyinyir Janto menirukan tawa Adri.

"Hehehe.... benci aja enggak ngomong. Aku cuma lempar batu aku minta maaf." Balas Adri.

Janto diam dan hanya menatapnya tajam. Ia bersama gengnya meluncur meninggalkan Adri. Hari itu menjadi momen terakhirnya dengan anak tak dikenal itu.

Hari-hari berikutnya tidak ada lagi teriakan Janto. Ia sudah tidak terlihat dimana-mana. Termasuk jalan maupun sekolah tempat ia berpapasan dengan Janto.

Sampai di hari perpisahannya dari sekolah dasar, ia tidak melihat ada tanda-tanda Janto. Ia seperti menghilang dan menjelma menjadi orang lain. Kehadirannya asing dan ketidakhadirannya juga asing.

Teman-teman sekampungnya dekat dengan Janto namun tidak ada yang memberitahu keberadaannya. Kalau Adri bertemu anak itu, ia akan menyuruh Janto melempar batu ke arah mukanya. Kalau perlu minta sobek mulutnya seperti yang pernah ia ucap.

Setelah melewati SMP, SMA, hingga akhir kuliah, sudah 14 tahun ia tidak lagi bertemu Janto. Ia juga sudah tidak memikirkan anak itu lagi. Termasuk, teriakan yang seringkali dilontarkan pada dirinya.

Sampai bekerja, ia sudah menghemparkan pikiran tentang Janto.

14 tahun kemudian, Adri ditugaskan untuk mengambil barang yang dipesan perusahaan. Ia memutar stang kiri motor matic.

Motor itu melintasi jalanan dekat tanggul daerah Semanggi, Solo. Sepeda motor itu meluncur dengan kecepatan sedang.

Adri membawa sebuah bagasi kecil tempat menaruh barang pesanan pabrik. Biasanya kue dan makanan ringan yang dipesan. Bagasi itu cukup luas sehingga bisa menampung barang dalam jumlah besar.

Begitu sampai di ujung jalan, ia melewati sebuah perempatan. Adri berhenti sejenak menunggu kendaraan yang melintas. Jalanan mulai sepi dan Adri melintas dengan kecepatan sedang. Ada banyak kendaraan di depannya.

Ia memasuki sebuah gapura jalan menuju Jagalan. Begitu memasuki sebuah gapura, terdengarlah sebuah teriakan yang persis seperti 14 tahun lalu.

Seorang pria berambut gondrong yang ada di seberang rumah makan itu terlihat diam. Suaranya menggema sampai sekelilingnya. Tidak tahu teriakan itu tertuju kepada siapa.

"Wong kentir!" Teriak salah satu pengendara sepeda motor.

Adri langsung memutar sepeda motor dan mengejar sumber suara itu. Namun, orang itu tidak terlihat.

Apa perasaanku ya? Batin Adri heran sambil berdoa. Kalau bertemu Janto, semoga ia langsung meminta maaf dan menjalin hubungan baik. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun