Gerundulan batu itu mengenai sandalnya. Setelah mendapat lemparan batu itu, ia langsung melemparnya kencang ke arah Adri.
Adri terkejut namun ia diam saja. Ia menatapnya dengan ekspresi santai melihat anak itu balas melempar. Adri hanya ingin memancing anak itu untuk bercanda. Ternyata, anak itu marah.
Setiap berpapasan dengan anak itu, Adri selalu dimaki. Teriakannya menggema membuat dirinya terkejut. Anak itu ternyata terpancing dengan lemparan batu itu.
Teriakan itu terus berlanjut dimanapun Adri melintasi anak itu. Sudahlah tidak hormat dengan yang tua, tidak dikenal lagi. Ia tidak tahu siapa anak itu dan kenapa ia kesal.
Anak itu tidak pernah mau melakukan pendekatan. Kenal tidak tapi bencinya sudah di ubun-ubun. Ia juga pernah dinyinyir anak itu saat ia bersama gengnya. Kenapa anak itu tidak ngomong jujur saja, pikir Adri.
Paling tidak, ia bisa bilang jujur kenapa dirinya benci Adri. Kalau mau meminta maaf pasti ia akan berbaikan. Tapi, ia malah meneriakinya setiap kali lewat.
Suatu hari, Adri pernah menemui anak itu di rumah temannya. Ia menyambutnya dengan ekspresi serius di depan mukanya. Seperti berharap kepastian.
Anak itu membalas tatapan Adri dengan kesal. Langsung saja, ia memakinya.
"Kamu lagi, rasanya pengan sobek mulutmu. Tak suwek!" Ucapnya sambil menggeser telunjuknya di bibir. Anak-anak yang lain tampak tegang.
Adri hanya terdiam.
"Salahku apa? Aku saja tidak kenal kamu tapi kok ya malah marah-marah. Aku tidak pernah benci kamu tapi malah balasannya seperti ini." Ucap Adri dengan geram.