Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kisah Asmara Pria Pemalu

12 Desember 2019   23:57 Diperbarui: 12 Desember 2019   23:55 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Seorang pria duduk termangu di sebuah bangku taman. Ia merentangkan tangannya atas bangku. Matanya menatap dengan lusuh.

Jas hitam dengan pakaian rapi itu terlekat di tubuhnya. Ia memang terlihat gagah meskipun matanya terlihat sendu. Ia memandang dunia ini seakan bewarna abu-abu.

Sebuah android tergeletak di samping pinggang kirinya. Sesekali, ia membuka Instagram untuk melihat kabar dari temannya. Sudah lama ia tidak bersua dengan mereka.

Ia melihat sebuah foto dari seorang teman gadis yang dahulu ia taksir. Perempuan muda berjilbab hitam itu pertama kali ia kenal saat awal masuk SMP. Dulunya, ia sering berambut poni dan berkaca mata kotak.

Pria itu sering mengambil kesempatan dengan duduk berjejer. Jangankan bicara, mengirim surat saja butuh nyali. Mereka hanya saling melempar senyum.

Saat kelas 2 SMP, mereka berdua berpisah. Jarak yang memisahkan membuatnya sulit bertemu. Senyum dan sapanya saja bisa membuat dirinya meleleh.

"Rijal..." Sapa gadis itu dengan senyum merekahnya. Mengubah bunyi 'z' menjadi 'j' saja terdengar merdu di telinga.

Kebahagian semu dengan gadis itu juga tidak berlangsung lama. Seorang teman pria bernama Hito dari kelasnya sudah menggebet hatinya.

Kebahagiaannya langsung sirna perlahan. Hubungannya dengan pria lain membuat hubungannya semakin berjarak.

Ia hanya bisa menunjukkan senyum pada gadis itu setiap bertemu. Ada rasa yang membuat jantungnya berdetak kencang. Kata pepatah, 'seperti genderang mau perang'.

Sejak kelas satu, ia dan gadis itu sempat membisu gara-gara sepedanya ia bawa lari. Maksud hati hanya ingin bercanda dengannya. Namun, ia malah kesal.

Hal itu membuatnya sesenggukan hingga hampir seminggu lamanya. Ia mencoba meminta maaf namun rasa malu itu menghalanginya. Seminggu kemudian, ia menjadi ceria kembali pada dirinya entah apa yang merasukinya tiba-tiba.

Kebersamaan gadis itu pada Hito berlangsung hingga SMA. Namun, mereka berpisah pada tahun 2010. Tentu menjadi kabar bahagia bagi Rizal.

Pada September 2011, Indah menjadi teman Facebook-nya. Sapaan 'Hai Rizal' saja sudah membuat hatinya bahagia. Kini, gadis itu tinggal di Bandung.

Rizal ingin mengungkapkan kekaguman pada Indah namun dengan gaya kocak.

"Halo Indah, kamu begitu misterius bagiku karena kehadiranmu yang begitu asing." Kalimat itu langsung dikirim tanpa peduli jika itu menyakitinya. Apalagi, ia sudah punya pacar baru yang kuliah di Kota Priangan, Bandung.

Keesokannya, Rizal mengirim pesan kembali. Sebelum memulai sapaan, ia terlebih dahulu membuka wall Facebook Indah yang kemarin ia kirimkan. Saat melihat kolom status di akunnya, tiba-tiba postingan darinya tidak ada.

Rizal menjadi gelagapan dibuatnya. Ia mencari terus kalimat itu di postingan Indah. Hasilnya tetap nihil. Alih-alih terdengar lucu, malah membuat dirinya semakin menjaga jarak.

"Apa dihapus ya?" Batin Rizal.

Ia tak kehabisan akal. Kolom chat media sosial bewarna biru itu ia buka. Kata 'Hai Indah' menyapa dibalik jari-jari yang diketik kencang.

Semenit, dua menit, 3 menit, tidak ada jawaban. Bahkan, hingga sehari menunggu, tak ada satupun jawaban terlontar. Ucapan hai dan segala bentuk sapaan tidak dibalas.

Bahkan, ia sampai meminta nomor telepon selulernya. Tak juga dijawab oleh Indah.

Hingga tahun 2012, Indah memutuskan hubungan lagi. Antara bahagia ataupun sedih, Rizal tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Masalahnya, pesannya tidak pernah digubris.

"Hai Indah..." Pesan itu yang selalu diketik tanpa pernah absen.

"Hai Indah..." Pesan itu terus dikirim meskipun Indah tidak membalasnya.

Kata hai itu hanya menjadi pemanis sapaan sahaja. Rizal berfikir, apakah karena mengatakan Indah misterius sehingga ia tidak membalasnya. Atau, karena pacarnya di Bandung tahu kalau ucapan itu  membuatnya kalap? Tidak tahu.

Hingga 2014, datang sebuah kabar mengejutkan di Facebook Indah. Foto yang barusan diposting menampilkan kebersamaan dengan cowok baru. Menurut dugaannya, pria itu adalah teman kuliahnya.

Ingin rasanya mengatakan sejujurnya. Lagi-lagi, rasa malu menguasainya. Tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaan dengan jujur. Apalagi, sampai harus mengadakan selebrasi dengan makan di restoran ataupun bicara berdua melalui telepon.

Hanya harapan dan keajaiban yang bisa menolongnya. Rizal berharap semoga hubungannya dengan si pacar itu hanya seumur jagung. Namun, kebersamaan mereka tetap terjalin.

"Hai Indah? Gimana kabarnya? Kalau pesanku tidak dibalas tidak apa-apa." Pesan Rizal. Esoknya, ia dicerca oleh temannya.

"Jangan bicara begitulah. Nanti, orang-orang pada su'uzhan." Kata Rima, teman Indah.

"Aku minta maaf pada Indah kalau begitu." Desah Rizal.

"Iya." Pasrah Rima.

Hingga tahun 2017, mereka berdua sudah bertunangan. Cincin di kedua jari manis mereka menjadi tanda bahwa masa-masa lajang akan berakhir. Rizal semakin terpekur.

Tentu saja, Rizal tidak mungkin mengungkapkan isi hati yang sebenarnya pada Indah. Mengapa pilihan hatinya tertambat pada pria itu? Bukannya waktu SMP, ia sering menyapa dirinya sewaktu berpapasan. Tidak tahu.

Hingga April 2018, mereka resmi menjadi suami-istri. Dekorasi pernak pernih menghiasi kebahagiaan Indah dan pacarnya. Kontras dengan Rizal.

Kenangan sejak SMP dan senyum manis yang menghipnotis itu akhirnya hinggap bersama rasa nelangsanya.

Seperti rindu yang hilang kemudian hinggap bersama momen tak terduga. Indah, tetaplah mantan kekasih walaupun tidak pernah mengucap kata cinta.

Kini, Rizal duduk sendiri di sebuah taman. Matanya menatap kekosongan hendak mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Kepergian dan ketidakpastian Indah membuat dirinya didera kebingungan yang panjang. Hatinya hanya bisa pasrah menerima takdir Tuhan.

Di kejauhan, gadis berjilbab hitam berjalan sendirian di taman itu. Langkahnya terayun dengan pasti hingga terusan bawahnya berkibar.

Ia berjalan menuju sebuah bangku panjang. Di sana, telah duduk seorang pria dengan tatapan lurus ke atas. Tak lama, gadis itu mengambil posisi duduk di samping Rizal.

"Rijal." Sapa Indah.

Pria itu masih terpekur. Saat melihat layar android, matanya melirik ke samping dan terkejut dibuatnya. Indah yang selama ini ditaksir telah duduk di sampingnya.

"Sendiri aja Jal. Tentu kamu sudah ingat aku kan?" Tatap Indah sambil melirik mata Rizal.

"Kamu, Indah ya. Tentu saja aku ingat siapa kamu. Kenapa kamu ada di sini? Padahal, aku dan kamu terpisah oleh dua kota yang berbeda. Bahkan, berbeda provinsi." Timpal Rizal sekaligus terkejut dengan kedatangan Indah yang tiba-tiba.

Indah menukas dengan senyum khasnya, "Rijal, aku tahu kamu punya rasa suka padaku. Kamu selalu melakukan segala cara untuk menunjukkan perhatian. Tapi, apakah aku berarti tidak mau merespon? Aku tak ingin dibebani oleh pikiran masing-masing. Apalagi, setiap kita punya masalah dan cara pandang yang berbeda. Ada sedih, senang, benci, dan ketidakjelasan. Tapi, apakah aku harus menyalahkan mereka dan segala penyebabnya sehingga lari dari masalah?"

Rizal menatap Indah dengan tatapan terpaku.

"Untuk apa? Sekarang aku sudah berkeluarga dan kini memiliki satu putra. Aku sudah bahagia meskipun kini aku juga berfikir, apakah aku mampu bersyukur atas segala nikmat ini. Mungkin, nikmatku denganmu lebih ringan dirimu. Belum berjodoh dan amsih ada yang sayang.'

"Kalau kata suamiku, segala kebencian dan dendam ini terjadi karena kita kurang sedekah. Senyum dan bicaralah supaya teman-teman tidak membencimu. Itulah sedekah."

"Jadi, kebencian mereka sama saja seperti orang yang tidak diberi sedekah?" Tanya Rizal.

"Exactly." Ucap Indah sambil mengacungkan dua jempol.

Tak jauh dari bangku panjang, datanglah seorang pria jangkung sambil menggandeng tangan anak kecil. Indah langsung beringsut.

Mereka berdua langsung berpelukan. Gadis itu juga mencium kening buah hatinya.

"Kenalkan dengan suami dan putraku." Sambut Indah.

Rizal menyalami suami Indah dan mengelus rambut anak itu. Senyum pria berkulit putih itu merekah menyambut mereka berdua. Rizaldan pria itu menceritakan masa lalunya sewaktu SMP.

Setelah itu, mereka bertiga beranjak dari taman. Rizal melambaikan tangan melepas Indah dan suaminya. Melepas masa lalu dengan senyuman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun