Negara, Penguasaan Agraria, dan Kemiskinan
Membicarakan agraria kerap kali tersekat dalam pembahasan tanah dan desa. Padahal, pengertian agraria lebih dari pada itu, yakni melingkupi air, udara, dan ruang. Dari aspek geografi, agraria melingkupi pantai, kota, angkasa, termasuk juga apa yang terkandung di dalamnya seperti mineral dan batuan, dan minyak, juga mengenai ruang dan spasial.
Penguasaan, pengelolaan, hingga pemanfaatan sumber daya agraria telah diatur dalam pranata hukum. UUD 1945 mengamanatkan bahwa penguasaan agraria oleh negara diperuntukan untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat 3), dijalankan melalui ekonomi kerakyatan (Pasal 33 Ayat 4), dan ditegaskan sebagai hak-hak rakyat yang harus dilindungi, dimajukan, dan dihormati oleh negara (Pasal 28).
Konstitusi sebagai kontrak sosial dan norma hukum dasar hanya pranata hukum yang berputar di langit dan sulit turun ke bumi. Fakta menunjukkan bahwa per Maret 2023, berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), kemiskinan masih dirasakan oleh 25,9 juta rakyat Indonesia. Salah satu faktor kemiskinan itu disebabkan oleh ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Pada 2021 Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat 68% tanah di Indonesia hanya dikuasi 1% kelompok pengusaha dan korporasi besar, sementara lebih dari 16 juta petani bergantung hidup dari rata-rata lahan hanya di bawah setengah hektar.
Besarnya angka kemiskinan dan rendahnya penguasaan tanah oleh rakyat di atas selaras dengan kondisi yang terjadi di DIY. Pada 2022, DIY menjadi provinsi termiskin se-Jawa dan diamini oleh data BPS per September 2022. Sebanyak 463.630 orang di DIY hidup dalam kemiskinan, atau angka kemiskinan sebesar 11,49 persen. Persentase kemiskinan itu berada di atas rerata nasional, yaitu 9,57 persen.
Memperjuangkan Reforma Agraria PerkotaanÂ
Kota hari ini menjelma sebagai ruang yang hanya bisa diakses dan dinikmati oleh segilintir orang saja, dapat terlihat dilihat ramainya hotel, pusat perbelanjaan, ruang-ruang yang hanya bisa diakses oleh kelas menengah ke atas, apalagi DIY hari ini berada dalam dua kebijakan pembangunan raksasa yakni Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur-Yogyakarta-Prambanan (BYP) Integrated Tourism Masterplan yang khusus di DIY terdapat 5 pembangunan kawasan termasuk Pembangunan Kawasan Kota Yogyakarta (Malioboro, Tugu, Kotagede, dll) dan Sekitarnya. Kemudian, kebijakan Penataan Kawasan Sumbu Filosofi sebagai World Intangible Heritage UNESCO. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari upaya untuk menopang narasi Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata dan budaya. Namun, dibalik kebijakan tersebut beragam penyingkiran rakyat dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kurun waktu 2022-2023 saja sebut LBH Yogyakarta mencatat sekurang-kurangnya terjadi beragam peristiwa penyingkiran rakyat dengan dalih penataan kawasan Malioboro sebagai destinasi wisata dan budaya, yakni penggusuran Jalan Perwakilan, penyingkiran PKL Malioboro, pelarangan asongan di Malioboro, pelarangan persewaan skuter listrik di Malioboro, yang berdampak pada sekurang-kurangnya 2.000 rakyat menjadi korban.
Reforma agraria atau disebut juga dengan land reform adalah suatu kegiatan "legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukkan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut" (Michael Lipton 2009, 328). Kemudian, reforma agraria berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (Perpres 62/2023) adalah adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Dalam definisi, reforma agraria perkotaan dapat kita maknai sebagai upaya konsolidasi kepemilikan tanah dan penataan ulang penguasaan agraria yang dilakukan di kota, tentu dengan karakteristik dan ciri kota yang berbeda dengan pedesaan baik secara sumber agraria, penguasaan aset dan akses tanah, dan beragam keunikan kota.
Reforma agraria adalah upaya pemenuhan hak atas tanah dan menjadi jalan keluar atas ketimpangan dan kesenjangan yang terus memiskinkan rakyat. Melalui program distribusi tanah kepada rakyat, sehingga rakyat memiliki alat produksi secara mandiri untuk dikelola. Pada dasarnya, kehadiran negara ialah untuk mendistribusikan sumber-sumber agraria seadil-adilnya guna menciptakan kesejahteraan dan keberlanjutan. Reforma agraria berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria dibagi kedalam dua hal yakni penataan aset atau reforma aset yaitu redistribusi tanah dan legalisasi aset dan penataan akses atau reforma akses yaitu pendayagunaan tanah.
Berbeda dengan konflik agraria pedesaan yang sebagian besar faktornya di latar belakangi oleh negara (sebagai aktor langsung atau melalui pemberian hak pada swasta) melakukan perampasan dan eksklusi terhadap tanah-tanah warga, konflik agraria perkotaan dilatarbelakangi oleh kondisi kota sebagai ruang mencari pengharapan ketika desa tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup. Monopoli tanah di desa mengakibatkan ketimpangan dan kesenjangan, sehingga kota menjadi tempat baru untuk menaikkan taraf hidup dengan tenaga produksi sebagai modal utama. Orang-orang yang tidak terserap dalam kerja produksi di sektor formal (PNS, pegawai swasta, dll), kemudian membuka peluang di sektor-sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), asongan, dll.
Melakukan pendudukan dengan melihat peluang atau dalam hal ini sumber daya agraria perkotaan. Berbeda dengan sumber daya agraria yang ada di desa seperti pasir, batu, tanaman, sedangkan sumber daya agraria yang ada di kota yang menjadi daya tarik ialah pusat keramaian, pariwisata, ragam penyediaan jasa, dll. Pendudukan di tanah negara tersebut menjadi sah dan menjadi hak rakyat sejatinya, ketika negara sebagai pengurus publik tidak mampu menjalankan kewajibannya, maka pendudukan ruang sebagai bentuk protes rakyat atas kinerja negara dan mengambil apa yang sejatinya menjadi hak. Negara berkewajiban untuk menjalankan reforma agraria sebab reforma agraria merupakan mandat konstitusi, hak rakyat atas tanah, dan negara harus menciptakan kemakmuran bagi rakyat, yang kemudian diturunkan dalam UUPA Pasal 2 ayat 3 secara lebih rinci yakni menciptakan "sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur" (Shohibuddin 2018, 164, Arizona 2014, 213). Oleh karenanya menjadi tanggung jawab negara dari level pusat sampai daerah secara bersama-sama untuk mewujudkannya (Nazir Salim & Westi Utami 2019, 7). Pada hakekatnya, kita menduduki tanah kita sendiri yang hari ini dikuasi oleh negara dan sedang "macet" distribusi haknya.
Merebut Hak Atas Kota dan Keadilan Ruang
Penataan penguasaan dan akses terhadap sumber daya agraria melalui Reforma Agraria Perkotaan menjadi upaya warga mengklaim hak atas kota serta membangun ruang yang berkeadilan untuk semua. Menurut David Harvey, hak atas kota adalah hak untuk mengubah diri kita sendiri dengan mengubah kota kita. Karakteristik hak atas kota adalah hak bersama (common), dan bukannya hak individu, mengingat transformasi dalam kota tergantung pada kekuatan kolektif dalam pembentukan kembali proses urbanisasi. Dalam prakteknya justru hak individu seperti hak kepemilikan tanah dan bangunan malah dianggap lebih tinggi daripada Hak Asasi Manusia, terutama hak untuk hidup layak dan bermartabat
Henri Lefebvre sebagai pelopor diskursus mengenai hak atas kota menyampaikan bahwa hak atas kota melampaui kebebasan individu untuk mengakses sumber-sumber daya yang dimiliki suatu kota. Hak atas kota adalah hak untuk mengubah warga penghuni kota dengan mengubah kota itu sendiri. Secara khusus, hak atas kota bukanlah bersifat individual melainkan komunal, yang harus diwujudkan melalui serangkaian transformasi berdasarkan kekuatan kolektif yang dapat ikut membentuk proses urbanisasi. Penyelenggaraan reforma agraria perkotaan menjadi upaya klaim hak atas kota dan menciptakan ruang yang berkeadilan. Ruang yang secara penguasaan tidak hanya dimonopoli oleh kelompok atau kelas tertentu, serta pemanfaatan dan akses ruang perkotaan dimana semua entitas memiliki hak yang setara. Sebab, monopoli tanah dan ruang diperkotaan menjadi akar dari pelanggaran hak-hak warga terhadap hak atas kota.
Strategi Warga di Tengah Arus Pembangunan
Perjuangan kolektif dengan membentuk alat perjuangan yang menjadi sarana advokasi dan wadah pendidikan bersama. Meletakkan tujuan bersama dan persamaan nasib sebagai modal konsolidasi, serta pemajuan kesadaran akan hak sebagai modal pengorganisiran. Alat perjuangan tersebut berupa organisasi rakyat yang pada umumnya berbentuk Paguyuban, Kelompok, Koperasi, Komunitas, dll.
Organisasi rakyat menjadi lokomotiv gerakan, berlaku juga pada aspek kepemilikan. Dalam perjuangan kolektif agraria perkotaan, kepemilikan dikelola secara komunal yang didistribusikan ke anggota dalam bentuk swakelola, dengan begitu pemerataan akses terhadap seluruh yang terlibat dalam perjuangan serta mengantisipasi ketimpangan penguasaan karena semuanya memiliki hak yang setara dikelola melalui organisasi.
Dalam beberapa kasus penggusuran di kota, pemerintah dalam komunikasi politik berhasil menghegemoni ruang publik melalui stigmatisasi warga yang akan di gusur, sehingga publik mengafirmasi kebijakan tersebut sehingga gelombang solidaritas sulit terbangun. Contoh kasus penyingkiran PKL dari sepanjang jalan malioboro, PKL distigma sebagai entitas kumuh di tengah peradaban Malioboro serta narasi besar pariwisata dan warisan budaya sehingga tepat untuk digusur atau bahasa pemerintah ditata. Kasus lain seperti PKL di depan Pasar Kembang atau pelaku usaha di jalan Perwakilan digusur dengan dalih menduduki tanah negara yang bukan miliknya, padahal secara historis mereka telah puluhan tahun menduduki tempat tersebut. Penggusuran warga Kalicode dengan dalil pemukiman kumuh dan normalisasi sempadan sungai tanpa diberi kompensasi dari pemerintah. Organisasi rakyat menjadi penting juga sebagai corong kampanye, menyajikan fakta dan kondisi rakyat serta melawan narasi (stigma) yang dibangun pemerintah.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria berdasarkan prinsip-prinsip kerja kolektif diperlukan untuk menjaga kestabilan anggota dan keberlanjutan perjuangan, yaitu kepemilikan alat produksi (sarana produksi bersama), partisipasi kerja, dan distribusi hasil. Kepemilikan alat produksi secara komunal untuk menjaga ketimpangan dan kesenjangan, pengelolaan dilakukan secara komunal melalui organisasi. Lalu partisipasi kerja, dalam perebutan ruang perkotaan diperlukan keterlibatan semua, semua anggota berpartisipasi dalam kerja-kerja ekonomi maupun kerja-kerja advokasi, tidak menitipkan perjuangan ke anggota yang lain ataupun hanya ke pangurus organisasi, tapi semua terlibat sesuai dengan kapasitas dan pembagian tugas berdasarkan rapat-rapat bersama. Kemudian, distribusi hasil sesuai dengan sejauh mana partisipasi dan keterlibatan dalam organisasi.
*tulisan ini dielaborasi dari kegiatan Diskusi dengan tajuk Lingguh Rerasan bertemakan "Reforma Agraria Perkotaan : Meninjau Hak Atas Tanah dan Keadilan Ruang di Yogyakarta" yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh LBH Yogyakarta dan Arkom Indonesia pada Kamis, 21 Maret 2024. Turut berpatisipasi dalam diskusi ini Gugun Muhammad (Koordinator Urban Poor Consortium), Kus Antoro (Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris), Rakha Ramadhan (Divisi Advokasi LBH Yogyakarta), Yuli Kusworo (Direktur Arkom Indonesia), dan Danang Kurnia Awami (Wakil Direktur LBH Yogyakarta), dan dihadiri juga oleh komunitas warga yakni Paguyuban Kalijawi dan Paguyuban PKL Malioboro, serta aktivis agraria, pegiat sosial, lembaga pers, dan mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H