Melakukan pendudukan dengan melihat peluang atau dalam hal ini sumber daya agraria perkotaan. Berbeda dengan sumber daya agraria yang ada di desa seperti pasir, batu, tanaman, sedangkan sumber daya agraria yang ada di kota yang menjadi daya tarik ialah pusat keramaian, pariwisata, ragam penyediaan jasa, dll. Pendudukan di tanah negara tersebut menjadi sah dan menjadi hak rakyat sejatinya, ketika negara sebagai pengurus publik tidak mampu menjalankan kewajibannya, maka pendudukan ruang sebagai bentuk protes rakyat atas kinerja negara dan mengambil apa yang sejatinya menjadi hak. Negara berkewajiban untuk menjalankan reforma agraria sebab reforma agraria merupakan mandat konstitusi, hak rakyat atas tanah, dan negara harus menciptakan kemakmuran bagi rakyat, yang kemudian diturunkan dalam UUPA Pasal 2 ayat 3 secara lebih rinci yakni menciptakan "sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur" (Shohibuddin 2018, 164, Arizona 2014, 213). Oleh karenanya menjadi tanggung jawab negara dari level pusat sampai daerah secara bersama-sama untuk mewujudkannya (Nazir Salim & Westi Utami 2019, 7). Pada hakekatnya, kita menduduki tanah kita sendiri yang hari ini dikuasi oleh negara dan sedang "macet" distribusi haknya.
Merebut Hak Atas Kota dan Keadilan Ruang
Penataan penguasaan dan akses terhadap sumber daya agraria melalui Reforma Agraria Perkotaan menjadi upaya warga mengklaim hak atas kota serta membangun ruang yang berkeadilan untuk semua. Menurut David Harvey, hak atas kota adalah hak untuk mengubah diri kita sendiri dengan mengubah kota kita. Karakteristik hak atas kota adalah hak bersama (common), dan bukannya hak individu, mengingat transformasi dalam kota tergantung pada kekuatan kolektif dalam pembentukan kembali proses urbanisasi. Dalam prakteknya justru hak individu seperti hak kepemilikan tanah dan bangunan malah dianggap lebih tinggi daripada Hak Asasi Manusia, terutama hak untuk hidup layak dan bermartabat
Henri Lefebvre sebagai pelopor diskursus mengenai hak atas kota menyampaikan bahwa hak atas kota melampaui kebebasan individu untuk mengakses sumber-sumber daya yang dimiliki suatu kota. Hak atas kota adalah hak untuk mengubah warga penghuni kota dengan mengubah kota itu sendiri. Secara khusus, hak atas kota bukanlah bersifat individual melainkan komunal, yang harus diwujudkan melalui serangkaian transformasi berdasarkan kekuatan kolektif yang dapat ikut membentuk proses urbanisasi. Penyelenggaraan reforma agraria perkotaan menjadi upaya klaim hak atas kota dan menciptakan ruang yang berkeadilan. Ruang yang secara penguasaan tidak hanya dimonopoli oleh kelompok atau kelas tertentu, serta pemanfaatan dan akses ruang perkotaan dimana semua entitas memiliki hak yang setara. Sebab, monopoli tanah dan ruang diperkotaan menjadi akar dari pelanggaran hak-hak warga terhadap hak atas kota.
Strategi Warga di Tengah Arus Pembangunan
Perjuangan kolektif dengan membentuk alat perjuangan yang menjadi sarana advokasi dan wadah pendidikan bersama. Meletakkan tujuan bersama dan persamaan nasib sebagai modal konsolidasi, serta pemajuan kesadaran akan hak sebagai modal pengorganisiran. Alat perjuangan tersebut berupa organisasi rakyat yang pada umumnya berbentuk Paguyuban, Kelompok, Koperasi, Komunitas, dll.
Organisasi rakyat menjadi lokomotiv gerakan, berlaku juga pada aspek kepemilikan. Dalam perjuangan kolektif agraria perkotaan, kepemilikan dikelola secara komunal yang didistribusikan ke anggota dalam bentuk swakelola, dengan begitu pemerataan akses terhadap seluruh yang terlibat dalam perjuangan serta mengantisipasi ketimpangan penguasaan karena semuanya memiliki hak yang setara dikelola melalui organisasi.
Dalam beberapa kasus penggusuran di kota, pemerintah dalam komunikasi politik berhasil menghegemoni ruang publik melalui stigmatisasi warga yang akan di gusur, sehingga publik mengafirmasi kebijakan tersebut sehingga gelombang solidaritas sulit terbangun. Contoh kasus penyingkiran PKL dari sepanjang jalan malioboro, PKL distigma sebagai entitas kumuh di tengah peradaban Malioboro serta narasi besar pariwisata dan warisan budaya sehingga tepat untuk digusur atau bahasa pemerintah ditata. Kasus lain seperti PKL di depan Pasar Kembang atau pelaku usaha di jalan Perwakilan digusur dengan dalih menduduki tanah negara yang bukan miliknya, padahal secara historis mereka telah puluhan tahun menduduki tempat tersebut. Penggusuran warga Kalicode dengan dalil pemukiman kumuh dan normalisasi sempadan sungai tanpa diberi kompensasi dari pemerintah. Organisasi rakyat menjadi penting juga sebagai corong kampanye, menyajikan fakta dan kondisi rakyat serta melawan narasi (stigma) yang dibangun pemerintah.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria berdasarkan prinsip-prinsip kerja kolektif diperlukan untuk menjaga kestabilan anggota dan keberlanjutan perjuangan, yaitu kepemilikan alat produksi (sarana produksi bersama), partisipasi kerja, dan distribusi hasil. Kepemilikan alat produksi secara komunal untuk menjaga ketimpangan dan kesenjangan, pengelolaan dilakukan secara komunal melalui organisasi. Lalu partisipasi kerja, dalam perebutan ruang perkotaan diperlukan keterlibatan semua, semua anggota berpartisipasi dalam kerja-kerja ekonomi maupun kerja-kerja advokasi, tidak menitipkan perjuangan ke anggota yang lain ataupun hanya ke pangurus organisasi, tapi semua terlibat sesuai dengan kapasitas dan pembagian tugas berdasarkan rapat-rapat bersama. Kemudian, distribusi hasil sesuai dengan sejauh mana partisipasi dan keterlibatan dalam organisasi.
*tulisan ini dielaborasi dari kegiatan Diskusi dengan tajuk Lingguh Rerasan bertemakan "Reforma Agraria Perkotaan : Meninjau Hak Atas Tanah dan Keadilan Ruang di Yogyakarta" yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh LBH Yogyakarta dan Arkom Indonesia pada Kamis, 21 Maret 2024. Turut berpatisipasi dalam diskusi ini Gugun Muhammad (Koordinator Urban Poor Consortium), Kus Antoro (Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris), Rakha Ramadhan (Divisi Advokasi LBH Yogyakarta), Yuli Kusworo (Direktur Arkom Indonesia), dan Danang Kurnia Awami (Wakil Direktur LBH Yogyakarta), dan dihadiri juga oleh komunitas warga yakni Paguyuban Kalijawi dan Paguyuban PKL Malioboro, serta aktivis agraria, pegiat sosial, lembaga pers, dan mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H