Jakarta sebagai (eks) ibu kota negara, memiliki tantangan besar dalam mengelola berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor informal yang diwakili oleh pedagang kaki lima.
Pemerintah DK(I) Jakarta, melalui berbagai peraturan dan kebijakan, mencoba untuk menata keberadaan PKL agar tidak mengganggu ketertiban umum, sekaligus memberikan ruang bagi mereka untuk berusaha.
Salah satu kebijakan yang cukup terkenal adalah penataan PKL yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta.
Beberapa kawasan yang dulunya dipenuhi oleh PKL seperti Monas, Jalan Thamrin, Bundaran HI, maupun Kota Tua, kini sudah lebih tertata dengan adanya pembatasan atau pengaturan tempat berdagang.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah pun memperkenalkan konsep "Pasar Rakyat" yang disediakan khusus untuk menampung PKL agar mereka tetap bisa berjualan tanpa harus mengganggu ruang publik.
Akan tetapi, masalahnya adalah tidak semua pedagang kaki lima dapat mengikuti dan memahami kebijakan ini.
Banyak yang masih menjajakan dagangannya di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi dan pendidikan terkait kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini, para pedagang yang tidak tahu apa saja peraturan yang mengatur usaha mereka, bagaimana cara mendapatkan izin berjualan yang sah, dan apa konsekuensi hukum apabila mereka melanggar aturan.
Pada satu sisi, pemerintah terkadang merasa bahwa kebijakan yang dikeluarkan sudah cukup jelas dan menyeluruh.