Kemiskinan adalah masalah yang telah menghantui masyarakat Indonesia sejak lama. Meskipun berbagai program pemerintah dan kebijakan telah diperkenalkan untuk mengatasi persoalan ini, hasilnya sering kali tidak memadai.
Angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi, dengan lebih dari 25 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Sementara itu, perbedaan ekonomi antara kota dan desa, kemudian antara kaya dan miskin, semakin mencolok.
Dalam konteks ini, kita perlu merenung dan mencari solusi yang lebih mendalam dan filosofis. Salah satu pendekatan yang dapat memberi wawasan baru adalah pemikiran sosio-ekonomi yang dikembangkan oleh seorang ilmuwan besar dari dunia Islam, yaitu Ibnu Khaldun.
Oleh karena itu, tulisan ini akan melihat bagaimana pengentasan kemiskinan itu dapat ditinjau dari pemikiran Ibnu Khaldun. Mari kita bahas bersama.
Konsep Kejayaan dan Kemunduran Suatu Peradaban
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) adalah seorang cendekiawan besar dari abad pertengahan yang dikenal karena karya monumentalnya berjudul 'Muqaddimah' yang mengulas tentang sejarah, ekonomi, sosial, politik, dan peradaban.
Salah satu konsep paling menarik yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah teori tentang asabiyyah (solidaritas kelompok) yang berperan penting dalam membangun sebuah negara yang kuat dan sejahtera.
Menurutnya, kekuatan suatu masyarakat bergantung pada kemampuan mereka untuk bersatu dalam solidaritas dan kerjasama, baik dalam kelompok kecil (seperti keluarga atau suku) maupun dalam masyarakat besar.
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap peradaban atau masyarakat melalui siklus hidup yang melibatkan kebangkitan, kejayaan, kemunduran, dan kehancuran.
Faktor utama yang mempengaruhi siklus ini adalah adanya asabiyyah yang kuat di awal peradaban, dan kemudian melemah seiring dengan kemajuan ekonomi dan politik yang pada gilirannya menyebabkan perpecahan sosial dan kemunduran.