Korupsi di Indonesia adalah masalah yang telah mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat dan pemerintahan. Dari pejabat tinggi negara hingga pegawai negeri yang berada di tingkat terendah, hampir tidak ada sektor yang kebal dari praktik kotor ini.
Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun hasilnya sering kali tidak sesuai harapan.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kelemahan dalam sistem hukum dan politik Indonesia, tetapi juga mengungkap kegagalan dalam membangun sebuah ruang publik yang sehat dan demokratis.
Untuk memahami akar permasalahan ini, kita perlu menggunakan perspektif yang lebih kritis dan mendalam, salah satunya dengan pendekatan teori komunikasi dari Jurgen Habermas.
Habermas, seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan teori komunikasi dan ruang publik, memberikan landasan penting dalam memahami bagaimana sistem komunikasi yang rusak dapat memperburuk praktik-praktik korupsi, serta bagaimana memperbaikinya melalui partisipasi aktif masyarakat dan pembentukan konsensus yang rasional.
Dalam konteks ini, teori Habermas tentang 'ruang publik' dan 'komunikasi rasional' menjadi kunci untuk menggali lebih dalam mengenai struktur sosial yang memungkinkan korupsi berkembang.
Korupsi sebagai Produk Ruang Publik yang Terkontaminasi
Menurut Habermas, ruang publik adalah arena dimana individu-individu dapat bertukar ide dan berpartisipasi dalam diskursus untuk membentuk opini bersama yang rasional dan demokratis.
Ruang publik ini, dalam konteks negara demokratis, seharusnya menjadi tempat untuk membangun konsensus sosial yang berorientasi pada kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok atau individu tertentu.
Namun di Indonesia, ruang publik telah lama tercemar oleh berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan yang mengarah pada pembentukan opini yang lebih sering dipengaruhi oleh kekuatan oligarki daripada hasil diskursus yang rasional.