"Betul dengan Mas Rafly?", tanya seorang driver ojek online.
"Iya bang" jawab saya seraya naik di kendaraan.
Tak berselang lama, driver ojek online kemudian mengajak untuk mengobrol, sambil mengantar saya ke tujuan.
"Gimana kabarnya Mas?" tanya driver tersebut dengan senyum ramah, membuka percakapan saat saya baru saja naik ojeknya.
"Alhamdulillah, baik bang. Tapi, Jakarta kok makin panas ya?" kata saya mencoba membuka topik.
"Ah, memang panas, Mas. Tapi, saya udah biasa. Udah bertahun-tahun di sini," jawabnya sambil melirik kaca spion.
Percakapan sepele ini, seolah menjadi pembuka gerbang menuju berbagai tema lebih dalam. Dari masalah cuaca, obrolan mengarah ke kemacetan Jakarta yang semakin parah, kemudian berlanjut ke kisah hidupnya sebagai driver ojek online.
"Saya dulu kerja di pabrik, Mas. Cuma gaji sebulan gak cukup buat hidup di Jakarta. Akhirnya, saya coba jadi driver ojek online. Lumayan, ya walaupun capek," ungkapnya.
Obrolan seperti ini bukan hal yang langka. Banyak driver ojek online yang memilih pekerjaan ini bukan karena mereka suka berkendara, melainkan karena mereka harus bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat.
Driver ojek online sering kali menjadi simbol dari pertarungan kehidupan yang tak pernah usai, meskipun banyak yang tak menyadari perjuangan mereka.
Mengungkap Dilema dan Harapan