Di sebuah desa yang damai di lereng Gunung Merapi, hiduplah seorang pemuda bernama Damar. Ia adalah anak pertama dari pasangan petani yang sederhana, Joko dan Sari.
Sejak kecil, Damar diajarkan tentang pentingnya kerja keras, kejujuran, dan rasa syukur dalam menjalani hidup. Meski hidup mereka tidak kaya, keluarga Damar selalu kaya akan kasih sayang.
Damar tumbuh besar dalam atmosfer kedamaian, namun ada satu hal yang selalu membebani hatinya, yaitu harapan orang tuanya agar ia menjadi seseorang yang lebih dari sekadar petani.
Orang tuanya sering berkata, "Damar, kamu harus kuliah di kota, jadi orang yang pintar, sukses, dan bisa membanggakan kami," kata ibunya, Sari, dengan suara lembut, tetapi penuh harapan.
"Jangan hanya jadi petani, Nak. Kehidupan ini penuh dengan peluang. Kamu harus mencapai lebih," tambah ayahnya, Joko, dengan nada yang lebih tegas.
Damar tidak pernah tahu bagaimana harus menjawab itu. Ia merasa terhimpit oleh harapan besar yang tak tahu bagaimana caranya bisa ia penuhi.
Ia tahu orang tuanya menginginkan yang terbaik untuknya, tapi ia juga merasa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari uang atau status sosial yang tinggi.
Damar ingin menjadi seseorang yang bisa memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya, tetapi ia tak tahu bagaimana caranya. Ia merasa bingung, seperti ada dua jalan yang harus ia pilih---jalan yang bisa membuat orang tuanya bangga, atau jalan yang sesuai dengan apa yang ia yakini sebagai kebahagiaan sejati.
Pada usia 20 tahun, Damar memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Ia berkuliah di sebuah universitas di Yogyakarta, jauh dari rumah. Meskipun jauh dari orang tua, Damar selalu merasa terikat dengan desa dan keluarganya.
Setiap akhir pekan, ia pulang untuk membantu di sawah atau sekadar bercengkerama dengan ayah dan ibunya. Namun dalam hatinya, ada perasaan kosong yang semakin mendalam.
Damar merasa tidak menemukan kedamaian yang ia cari, meski kini ia mengenal lebih banyak ilmu dan bergaul dengan orang-orang yang lebih berpendidikan.
Suatu hari saat berada di kota, Damar bertemu dengan seorang gadis bernama Maya. Maya adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi yang baru saja pindah ke Yogyakarta dari Bali.
Maya memiliki kepribadian yang hangat dan selalu terlihat tenang. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Damar merasa nyaman, meskipun mereka baru saling kenal.
Mereka sering berbicara tentang banyak hal, dari pendidikan hingga kehidupan pribadi. Damar merasa Maya adalah orang yang bisa membuatnya melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di taman kampus, menikmati angin yang sejuk sambil berbicara tentang kehidupan.
"Maya," kata Damar dengan nada pelan, "kenapa menurutmu orang-orang selalu merasa tidak cukup? Aku merasa banyak orang di sekitarku, termasuk orang tuaku, yang selalu ingin lebih. Mereka selalu berharap aku bisa lebih dari sekadar anak petani. Tapi aku tidak tahu apakah itu yang aku inginkan."
Maya menatap Damar dengan mata yang penuh perhatian. "Aku pikir, banyak orang merasa seperti itu karena mereka dibesarkan dengan harapan-harapan tertentu. Tapi aku percaya, kebahagiaan sejati datang ketika kita bisa menerima diri kita apa adanya, dan menjalani hidup sesuai dengan panggilan hati kita. Kalau kita selalu mengikuti harapan orang lain, kita tidak akan pernah merasa utuh."
Damar kemudian terdiam, merenungkan kata-kata Maya. Seperti ada titik terang yang menyentuh hatinya.
Ia sadar bahwa ia sering terjebak dalam harapan orang lain, mencoba menjadi apa yang diinginkan orang tuanya tanpa benar-benar mencari tahu apa yang ia inginkan.
"Jadi apa yang harus aku lakukan, Maya? Aku merasa ingin membahagiakan orang tuaku, tapi aku juga ingin hidup sesuai dengan keyakinanku sendiri," tanya Damar dengan penuh keresahan.
Maya tersenyum lembut seraya berkata, "Aku rasa kamu bisa menemukan kebahagiaan dengan mengikuti suara hati dan tetap menghormati orang tuamu. Cobalah untuk menggabungkan keduanya. Tidak harus memilih salah satu, tapi carilah cara agar kamu bisa berdamai dengan kedua hal itu."
Damar mulai merasa lebih tenang. Maya memberinya perspektif baru yang membuat hatinya sedikit lebih ringan.
Ia merasa bahwa ia bisa menjalani hidupnya dengan cara yang lebih seimbang, meskipun harus menempuh jalan yang tidak selalu mudah.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Damar memutuskan untuk kembali ke desa dan berbicara dengan orang tuanya.
Ia tahu, ini adalah langkah besar yang harus ia ambil. Ia ingin menyampaikan perasaan dan keinginannya, meskipun ia takut orang tuanya akan kecewa.
Saat malam tiba, setelah makan malam bersama, Damar memutuskan untuk membuka hati kepada ayah dan ibunya.
"Ayah, Ibu, ada yang ingin aku bicarakan," kata Damar, dengan suara yang agak bergetar.
Ayahnya menatapnya dengan serius. "Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat cemas?"
Damar menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin kalian tahu bahwa aku sangat menghargai segala yang telah kalian ajarkan padaku. Aku ingin membahagiakan kalian, tapi aku merasa bahwa kebahagiaan itu bukan hanya tentang menjadi sukses menurut ukuran orang lain.
Damar melanjutkan, "Aku ingin menjalani hidup dengan cara yang bisa membuatku merasa damai. Aku ingin membantu orang-orang di sekitar kita, meski mungkin itu tidak berarti menjadi kaya atau terkenal."
Ibunya yang mendengar itu, memegang tangan Damar dengan lembut. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Damar. Kami ingin kamu hidup lebih baik dari kami. Kami ingin kamu punya masa depan yang cerah."
Damar menatap kedua orang tuanya dengan penuh kasih. "Aku tahu, Bu, Ayah. Tapi aku ingin kalian tahu, aku merasa lebih bahagia ketika aku bisa membuat perbedaan, meskipun itu kecil. Aku tidak ingin menjadi orang lain hanya untuk memenuhi harapan orang lain."
Ayahnya lalu terdiam, merenungkan kata-kata Damar. Beberapa saat kemudian, ia berkata, "Kami selalu berharap yang terbaik untukmu, Nak. Tapi kami juga ingin kamu bahagia. Kalau itu jalan yang kamu pilih, kami akan mendukungmu."
Damar merasa lega, meskipun hatinya masih penuh perasaan campur aduk.
Ia tahu, orang tuanya mungkin tidak sepenuhnya memahami jalan yang ia pilih, tetapi mereka berusaha untuk mendukungnya dengan sepenuh hati.
Maya yang mendengar cerita Damar tentang perbincangannya dengan orang tuanya, merasa sangat bangga. "Aku tahu kamu bisa, Damar. Terkadang, kita memang harus berani memilih jalan yang sesuai dengan hati kita, meskipun itu berbeda dari yang orang lain harapkan. Dan yang terpenting adalah kamu tetap menjaga kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua."
Damar merasa bahwa keberanian untuk mengikuti kata hati ini adalah langkah besar dalam perjalanan spiritualnya.
Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak datang dari pencapaian yang diukur dengan mata uang atau status sosial, tetapi dari kedamaian batin dan kemampuan untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Singkat waktu, beberapa bulan kemudian, Damar memutuskan untuk membuka sebuah lembaga pendidikan di desanya, sebuah sekolah untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu yang tidak sanggup membayar biaya pendidikan.
Damar ingin memberi mereka kesempatan yang lebih baik, meskipun ia tahu itu bukan hal yang mudah.
Dalam prosesnya, ia mendapatkan dukungan penuh dari Maya yang juga mengajarkan tentang pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter.
Pada hari pertama sekolah dimulai, Damar mengundang orang tuanya untuk hadir. Ketika ayah dan ibunya melihat anak mereka berdiri di depan kelas dengan penuh keyakinan, mengajarkan anak-anak untuk bermimpi besar, mereka merasa bangga.
Mereka mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang Damar lakukan, tetapi mereka tahu bahwa Damar telah memilih jalan yang bisa membuatnya bahagia, dan itu yang paling penting bagi mereka.
Di bawah langit yang cerah, Damar merasa bahagia. Meskipun jalannya penuh tantangan, ia tahu bahwa ia telah menemukan kedamaian dalam hidupnya dengan cara melayani, memberi, dan mencintai.
Dengan hati yang lapang, ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya ditemukan dalam pencapaian pribadi, tetapi juga dalam kebersamaan dan kasih sayang yang tulus.
Maya berdiri di sampingnya, tersenyum bangga. "Kamu sudah menemukan jalanmu, Damar."
Damar menatap Maya dengan mata yang penuh cinta. "Terima kasih, Maya. Kamu telah membantu aku melihat lebih jauh dari apa yang aku bayangkan. Bersama, kita bisa melakukan banyak hal."
Mereka berdiri di sana, di hadapan anak-anak yang penuh semangat untuk belajar, dan Damar tahu bahwa langkah kecil ini adalah bagian dari perjalanan besar dalam hidupnya, perjalanan yang menyatukan antara harapan orang tua dan kebahagiaan hati.
End.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H