Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memulung Hikmah di Tanah Rantau Jakarta

6 Desember 2024   17:33 Diperbarui: 25 Desember 2024   19:49 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepadatan lalu lintas saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto dan Jalan Tol Dalam Kota di Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2024). KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sekitar dua tahun lalu (kata kawan saya, itu baru seumur jagung untuk anak rantau), saya meninggalkan kampung halaman yang nyaman dan penuh kenangan, berpindah ke Jakarta dengan satu tujuan mulia, yaitu melanjutkan jenjang pendidikan Magister dan mencari hidup yang lebih baik.

Kalau kalian bertanya, apa itu hidup yang lebih baik? Jawabannya akan sangat subjektif dan bisa berbeda-beda. Tetapi bagi saya, itu berarti menjadi lebih memanusiakan, humble, dan empati.

Saya membayangkan Jakarta sebagai tempat dimana segala impian bisa terwujud. Kota dengan penuh gemerlap, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, jalan-jalan yang tak pernah sepi, dan tentu para pejuang yang saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik.

Namun kenyataannya? Jakarta ternyata lebih mirip taman bermain yang penuh dengan jeratan dan perangkap.

Lalu saya? Saya lebih mirip sebagai pemulung hikmah yang harus mengais-ngais pelajaran hidup dari segala kegilaan yang terdapat di kota ini.

Membuka Mata di Tanah Rantau

Jakarta bagi saya adalah kota yang tidak pernah berhenti memberikan kejutan. Bukan kejutan yang menyenangkan seperti hadiah ulang tahun atau liburan gratis ke Bali, melainkan kejutan-kejutan yang menguji kesabaran dan mengajarkan kita untuk lebih realistis dalam hidup.

Setiap hari, saya terbangun dengan suara pengangkut sampah yang mengusik telinga seperti alarm otomatis yang memberikan sinyal bahwa waktu tidur sudah habis.

Berjalan keluar dari kontrakan, saya langsung dihadapkan pada pemandangan macet parah yang seolah-olah menjadi bagian dari rutinitas tiap hari.

Siapa yang tidak suka menghabiskan lebih dari satu jam di atas kendaraan hanya untuk mencapai kampus yang jaraknya lebih dari 20 kilometer? Itulah kenyataan hidup di Jakarta.

Namun, hidup di tanah rantauan bukan hanya soal kemacetan. Di sini, saya belajar untuk menghela nafas, menaklukkan ego, menundukkan kepala, dan kadang-kadang mencari rezeki di antara hiruk-pikuk kota.

Saya belajar bahwa Jakarta bukan tempat yang menawarkan segalanya dengan mudah. Di sinilah, saya mulai mengais-ngais hikmah dari orang-orang yang berlari tanpa arah, dari perbincangan ringan dengan teman-teman sesama perantau, dan bahkan dari kejadian-kejadian yang kadang lebih mirip drama Korea ketimbang kenyataan hidup.

Mengais Hikmah dari Wajah Jakarta yang Berbeda

Apabila kalian berpikir hidup di Jakarta itu mudah, maka kalian belum pernah merasakan betapa frustrasinya menjadi seorang pelajar yang jauh dari kampung halaman yang harus berpikir kreatif untuk mencari rezeki yang kadang-kadang datang dan kadang juga tak datang.

Saya datang ke Jakarta dengan harapan tinggi untuk menyelesaikan pendidikan Magister dan menemukan hidup yang lebih baik, meski kadang-kadang saya ngeposting di media sosial sebagai pemanis atas perjalanan ini. Tetapi kenyataannya tidak sesederhana apa yang dibayangkan.

Saya digempur tugas-tugas perkuliahan, tenggat waktu, dan berjibaku dengan kemacetan agar tidak telat ke kampus. Di sini juga, kalian akan menemukan bahwa tidak semua yang terlihat indah di luar, berkilau, dan penuh peluang sebenarnya adalah emas.

Saya belajar bahwa Jakarta bukan hanya tentang menjadi pelajar dan hidup lebih baik. Kadang, Jakarta mengajarkan kita tentang survival. Di sini, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang selalu tampak lebih hebat, lebih pintar, lebih cepat bergerak daripada diri kalian sendiri.

Mereka sudah punya semua seperti gelar pendidikan yang tinggi, pengalaman, dan jaringan yang luar biasa luasnya. Sementara saya? Masih mengais-ngais peluang yang terbuang di luar sana, mencoba memahami dunia yang selalu bergerak lebih cepat dari langkah-langkah saya.

Setiap kali saya merasa sedikit tertinggal, saya ingatkan diri sendiri bahwa ini bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai, tetapi ini tentang siapa yang lebih sabar bertahan.

Yups, Jakarta memberi saya pelajaran hidup yang lebih keras daripada yang saya bayangkan, tapi tentu itulah hikmah yang kadang tersembunyi di balik semua kerumunan dan hiruk-pikuk perkotaan.

Hidup sebagai Pemulung Pelajaran

Jakarta mengajarkan saya banyak hal, kendati saya tidak selalu siap menerima semua pelajaran itu. Kadang, pelajaran hidup datang dengan cara yang tak terduga seperti teman-teman yang ngajak untuk ngopi, tukang ojek online yang memberikan komentar cerdas tentang kehidupan, bahkan dari mereka yang tampaknya terpinggirkan dalam roda ekonomi besar ini.

Saya mulai belajar bahwa Jakarta, meskipun tampak mewah dan berkilau dari luar, tetapi saya menyadari bahwa Jakarta lebih mirip dengan tempat dimana orang-orang berjuang keras untuk mendapatkan tempat mereka.

Di tengah lautan orang-orang yang berlari tanpa henti, ada pelajaran penting yang bisa diambil bahwa hidup bukan tentang menjadi yang tercepat atau terbaik, melainkan tentang survive dan bertahan hidup.

Salah satu hikmah terbesar yang saya dapatkan adalah tentang fleksibilitas. Di Jakarta, saya belajar untuk beradaptasi dalam segala situasi dan kondisi.

Terkadang, kita harus rela menerima kenyataan bahwa rencana besar bisa berantakan dalam sekejap hanya karena hujan, atau bahkan karena dosen memutuskan untuk memberi tugas akhir tambahan yang tiba-tiba, di luar kemampuan kita, dan harus segera selesai.

Hidup di Jakarta mengajarkan saya untuk tidak terlalu berharap pada rencana yang muluk-muluk, tetapi lebih kepada menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang ada dan tanpa direncanakan.

Menjadi seorang pemulung hikmah di Jakarta juga berarti belajar untuk tidak terlalu fokus pada apa yang orang lain pikirkan. Di kota ini, saya belajar bahwa opini orang lain tentang diri kita sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh pencitraan media sosial daripada kenyataan hidup.

Sementara sebagian besar orang di Jakarta lebih sibuk dengan cerita tentang pencapaian mereka yang terlihat di feed Instagram atau LinkedIn, tetapi saya memilih untuk merenung dan berpikir tentang arti dan hakikat semua ini (kesuksesan).

Apakah itu tentang memiliki uang banyak? Atau apakah itu tentang memiliki waktu untuk menikmati hidup? Di Jakarta, saya mulai menyadari bahwa sukses itu sangat relatif. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup dan apa yang kita pelajari setiap hari dari pengalaman itu.

Hidup itu bukan Lomba Lari

Setiap hari di Jakarta adalah pelajaran tentang kegigihan. Jakarta bukan tempat untuk orang yang mudah menyerah dan banyak mengeluh, baik bagi diri sendiri maupun keadaan.

Di sini, kita harus belajar untuk bangkit setiap kali jatuh, berlari lebih cepat setiap kali terhambat, dan tetap tersenyum meskipun kemacetan membuat kepala kita ingin meledak.

Saya sering tertawa pahit mengingat betapa idealisnya saya dulu berpikir bahwa di Jakarta adalah tentang mengikuti jalur yang jelas menuju kehidupan yang lebih baik. Namun ternyata, hidup di sini lebih mirip dengan permainan labirin, dimana kita harus sering berbelok, jatuh, dan bangkit lagi.

Jakarta, kendati bising dan tak terduga memberikan saya banyak hikmah tentang kehidupan. Di sini, saya belajar bahwa tak ada yang datang dengan mudah.

Bukankah itu yang disebut hidup? Bukankah itu yang seharusnya kita alami di tanah rantauan? Karena meskipun di luar sana tampak gemerlap dan menggiurkan, hidup sesungguhnya adalah tentang apa yang kita petik dari petualangan kita, tentang bagaimana kita memaknai setiap pengalaman, baik itu kejatuhan maupun kebangkitan.

Jakarta itu Mengajarkan kita untuk Mencari

Di akhir cerita ini, saya sadar bahwa Jakarta tidak hanya mengajarkan saya untuk mendapatkan gelar Magister atau status sosial. Lebih dari itu, Jakarta mengajarkan saya untuk mencari hikmah. Dari setiap kemacetan, setiap penolakan, dan kadang satu hari terasa berat dan tak berujung.

Saya mulai menyadari bahwa meskipun kota ini penuh dengan kebisingan dan tantangan, Jakarta juga memberi banyak pelajaran tentang diri sendiri.

Mungkin saya belum sepenuhnya menemukan apa yang saya cari di sini, tetapi saya pasti tahu satu hal, yakni dalam setiap langkah yang saya ambil, saya telah mengais sebuah pelajaran hidup yang berharga.

Jakarta mungkin bukan tempat yang sempurna, tapi di sinilah saya belajar bahwa hidup itu bukan tentang kecepatan atau pencapaian besar.

Hidup itu tentang terus berjalan, belajar, dan tersenyum meski kadang kita hanya bisa memulung hikmah dari debu-debu kota yang tak pernah tidur ini.

Saya selalu teringat pesan keluarga dalam setiap kesempatan, "Nak, dalam setiap kejadian ambillah hikmahnya dan jangan pernah memandang rendah siapa pun dan dari mana pun asalnya". Mari merayakan hal-hal kecil dalam hidup!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun