5. Waktu Kerja Dinilai Tidak SebandingÂ
Buruh menilai waktu kerja yang tertuang dalam UU Ciptaker terlalu berlebihan dan cenderung eksploitatif terhadap buruh. Durasi pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara, untuk buruh di sektor migas, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, durasi jam kerja bisa melebihi 8 jam per hari.
6. Aturan Pemberhentian Kerja (PHK) Sepihak
Perusahaan dapat memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak melalui Pasal 154A UU Ciptaker yaitu PHK dapat dilakukan dengan alasan perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; efisiensi; tutup karena rugi, force majeur, menunda utang, dan pailit. Pemutusan hubungan kerja juga dipermudah lewat pasal 151 UU Ciptaker yang menghapus ketentuan "segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja". Perusahaan juga dapat melakukan PHK tanpa melalui perundingan dengan serikat pekerja. Selain itu, UU Ciptakerja menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur surat peringatan sebelum PHK. Oleh karena itu, perusahaan dapat melakukan PHK tanpa melalui mekanisme surat peringatan.
Demikian, aturan UU Cipta Kerja Omnibus Law diatas dinilai sangat merugikan bagi para pekerja buruh dan tenaga kerja lainnya. Dengan adanya kebijakan tersebut dapat melanggar hakhak yang seharusnya dimiliki oleh para pekerja buruh dan tenaga kerja lainnya.
Penulis : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang), dan Muhammad Nur Rizky (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H