Mohon tunggu...
Muhammad Nur Rizky
Muhammad Nur Rizky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum UNISSULA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan UU Cipta Kerja Omnibus Law Dalam Ketenagakerjaan Di Indonesia

19 Oktober 2021   21:23 Diperbarui: 19 Oktober 2021   21:57 2687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti "untuk semuanya". Sementara, dari segi hukum, omnibus law adalah satu undang-undang yang mengatur banyak hal atau mencakup banyak aturan di dalamnya. Omnibus Law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Sejak pertama kali diusulkan, Omnibus Cipta Kerja telah menuai kontroversi di kalangan serikat pekerja dan kelompok masyarakat karena memuat pasal-pasal yang mengancam hak pekerja. Proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai sejumlah kelompok masyarakat kurang terbuka dan kurang transparan. Pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang lebih cepat dari yang dijadwalkan memicu protes. Terlebih lagi UU Cipta Kerja Omnibus Law disahkan yang pada saat itu sedang terjadi puncaknya gelombang Pandemi Covid19.

Sejak di sah kan aturan tersebut, Omnibus Law mendapat penolakan dari ribuan buruh, mahasiswa, dan tenaga kerja lainnya. Beberapa dari mereka menolak sejumlah pasal yang terkait dalam undang-undang tersebut yang dinilai merugikan dan mengabaikan kepentingan buruh atau tenaga kerja di Indonesia. Adapun beberapa aturan yang ditolak oleh para buruh atau tenaga kerja, antara lain:

1. Terkait Upah Minimum 

Dalam pasal 88C draft RUU berbunyi, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum tersebut merupakan minimum provinsi. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2005, penetapan upah dilakukan di provinsi serta kabupaten/kota/ Sehingga menetapkan UMP sebagai satu-satunya acuan besar nilai gaji.

2. Pesangon Dipangkas 

Pemerintah akan memangkas pesangon yang diwajibkan pengusaha jika melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Nilai pesangon bagi pekerja turun karena pemerintah mengganggap aturan yang ada pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak implementatif.

3. Dipersulitnya Izin atau Cuti Khusus 

Di dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah mengambil kebijakan dengan mengubah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Penghapusan izin atau cuti khusus antara lain untuk cuti atau tidak masuk saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia. Para pengamat politik menilai bahwa kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan Organisasi Buruh International (ILO).

4. Outsourcing Seumur Hidup 

Omnibus law membuat nasib pekerja alih daya atau outsourcing semakin tidak jelas karena menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerja outsourcing. Adapun Pasal 64 UU Ketenagakerjaan berbunyi; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Sedangkan dalam Pasal 65 mengatur; (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Ayat (2) mengatur; pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

5. Waktu Kerja Dinilai Tidak Sebanding 

Buruh menilai waktu kerja yang tertuang dalam UU Ciptaker terlalu berlebihan dan cenderung eksploitatif terhadap buruh. Durasi pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara, untuk buruh di sektor migas, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, durasi jam kerja bisa melebihi 8 jam per hari.

6. Aturan Pemberhentian Kerja (PHK) Sepihak

Perusahaan dapat memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak melalui Pasal 154A UU Ciptaker yaitu PHK dapat dilakukan dengan alasan perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; efisiensi; tutup karena rugi, force majeur, menunda utang, dan pailit. Pemutusan hubungan kerja juga dipermudah lewat pasal 151 UU Ciptaker yang menghapus ketentuan "segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja". Perusahaan juga dapat melakukan PHK tanpa melalui perundingan dengan serikat pekerja. Selain itu, UU Ciptakerja menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur surat peringatan sebelum PHK. Oleh karena itu, perusahaan dapat melakukan PHK tanpa melalui mekanisme surat peringatan.

Demikian, aturan UU Cipta Kerja Omnibus Law diatas dinilai sangat merugikan bagi para pekerja buruh dan tenaga kerja lainnya. Dengan adanya kebijakan tersebut dapat melanggar hakhak yang seharusnya dimiliki oleh para pekerja buruh dan tenaga kerja lainnya.

Penulis : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang), dan Muhammad Nur Rizky (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun