Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hadi
Muhammad Nur Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

seorang yang ingin menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Jurnal Hukum Normatif

11 September 2023   10:04 Diperbarui: 11 September 2023   10:25 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ratna Batara Munti menyatakan bahwasanya tindak pidana pelecehan seksual tidak diatur secara jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tidak satu pasal pun menyebutkan kata-kata pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual, hanya ada istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan rasa kesusilaan atau perlaku keji yang dilakukan dikarenakan semata-mata memenuhi nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas, perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Kejahatan Terhadap Kesusilaan ini diatur dalam BAB XVI Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga melanggar hak asasi yang dimiliki oleh korban. Sistem hukum Indonesia menjamin hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya. Tercantum dalam Undang-Unang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28A-28J.

Dalam hal apabila terjadi pelecehan seksual, hal-hal yang dapat digunakan untuk membantu pembuktian kasus kekerasan seksual adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa itu merupakan alat bukti yang sah menurut KUHAP yang tercantum dalam pasal 184 dan untuk kasus pencabulan biasanya menggunakan salah satu alat bukti berupa visum et repertum.

Dalam proses pembuktian kekerasan seksual pun, diharapkan aparat penegak hukum tidak bersifat diskriminatif. Terutama, diharapkan tidak menyalahkan korban ataupun memberikan stigma buruk kepada korban tersebut. Hal ini dikarenakan korban yang telah bersedia datang dengan kondisi yang masih merasa depresi, dan takut,tentunya butuh perlindungan bukan malah mendapati tanggapan seseorang yang menyalahkan korban (Victim Blaming) yang dapat memeprburuk keadaan korban (Iqbal, Emilda, & Ferawati, 2020)

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini diperlukan karena akan mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang secara belum lengkap dibahas di Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu, apabila nantinya disahkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini akan menjadi ketentuan khusus atau lex specialist dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga diperlukan karena dibutuhkan perumusan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual dan pemidanaannya baik sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga merancang denda sebagai salah satu ancaman pidana sebab denda akan masuk ke kas negara tetapi tidak berhubungan dengan penyediaan penggantian kerugian bagi korban. Dan khusus untuk tindak pidana kekerasan seksual tertentu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan menghadirkan adanya rehabilitasi khusus. Selain dari itu, juga terdapat berbagai macam ancaman pidana lainnya seperti pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan profesi, pencabutan hak politik, dan juga kerja sosial. Lalu kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memiliki ketentuan dalam hal perlunya pendampingan psikolog atau tim medis lainnya untuk korban dalam memberikan keterangan atau kesaksian, sedangkan Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menegaskan bahwa merupakan hak korban untuk mendapatkanpendampingan dan merupakan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk mendampingi korban kekerasan seksual.

Kelebihan dan kekurangan artikel, serta saran :

Abstrak yang ditulis cukup menyeluruh dan penulisan artikelnya menggunakan kata kata sederhana yang mudah dipahami pembaca. Peneliti dapat menggali lebih mendalam terkait perlindungan kekerasan seksual dan perlindungan hukumnya sehingga tidak hanya menjelaskan secara umum tetapi bisa dalam dan meluas lagi. Sarannya peneliti dapat menggali lebih dalam terkait regulasi hukum tentang kekerasan seksual dan perlindungannya.

 

Jurnal 2

Reviewer : Muhammad Nur Hadi (4438/31)

Dosen pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H

  • Judul : Tinjauan Yuridis Pemanfaatan Platform Portamento Sebagai Upaya Menyelesaikan Persoalan Pembagian Royalti Bagi Musisi
  • Nama penulis : Nyoman Ezra Candra Putra
  • Nama jurnal, penerbit dan tahun terbit : Pancasila Law Journal, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, vol 1 no 1 juni 2023
  • Link artikel jurnal : https://plj.fh.upstegal.ac.id/index.php/plj/article/view/9/13

Latar Belakang :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun