Juga firman-Nya dalam Surah At-Tahrim ayat 8:
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Keluarga berperan penting dalam menjaga generasi agar menjadi generasi yang kuat. Nilai-nilai religiusitas, pendidikan, mental dan karakter akan lahir dari keluarga yang melaksanakan fungsinya dengan baik.
Seorang anak yang baru lahir, berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Namun menurut Sholeh Amini Yahman, di balik ketidakberdayaan anak tersebut menyimpan potensi besar. Inilah yang disebut dengan fitrah. Jika fitrah itu dikembangkan melalui pola pengasuhan dalam keluarga yang baik, akan menjadi kekuatan besar di masa datang.Â
Dalam membangun keluarga, orang tua harus memiliki jurus 4T yakni teges, tuladha, tememen dan tegel.Â
- Teges, artinya memahami memahami jati dirinya sebagai orang tua, memahami jati diri sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk rohani dan sebagainya,
- Tuladha, artinya teladan. Orang tua dan orang dewasa harus jadi teladan bagi generasinya. Orang tua menjadi sosok yang patut ditiru dan dicontoh. Orang tua harus memberi contoh yang bagi bagi anaknya. Banyak orang tua yang kurang memahami pentingnya contoh yang baik. Misal, ketika orang tua melarang anaknya merokok, orang tua harus memberi contoh dengan tidak merokok.
- Tememen, artinya sungguh-sungguh. Orang tua harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan fungsinya. Misalnya, penanaman pendidikan bagi anak sangatlah penting. Oleh karena itu, kesungguhan orang tua dalam membuka masa depan anaknya sangat diperlukan.
- Tegel, artinya tega atau tegas. Orang tua harus tegas, seperti taat pada peraturan. Contohnya, seorang anak yang belum cukup umur, tidak boleh mengendarai sepeda motor. Orang tua tidak boleh lemah. Jika memang belum saatnya, anak tidak boleh dibelikan sepeda motor. Sebagai konsekuensinya, orang tua rela mengantar anaknya ke sekolah. Tega di sini bukan berarti sadis, tetapi tegas, berada di jalan yang benar dan berani menanggung risiko dari ke-tegel-annya tersebut.
Dari pemaparan di atas, perlu adanya kesadaran bersama bahwa keluarga menjadi landasan dan pondasi utama dalam membangun mental bangsa. Bangsa yang berkarakter akan menjadi bangsa yang besar. Sebaliknya, bangsa yang tidak dibangun dengan karakter akan menjadi bangsa kuli.
Begitulah pesan presiden pertama, Ir. Soekarno yang menginginkan bangsa ini maju dengan karakternya. "Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter.... kalau tidak dilakukan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli." (Ir. Soekarno).
Pembangunan mental bangsa melalui keluarga tidak akan terwujud tanpa kesadaran kita bersama. Berikut beberapa hal yang perlu digarisbawahi agar keluarga benar-benar dapat menjadi landasan dalam membangun mental bangsa.
Pertama, perlunya pemahaman masyarakat akan pentingnya penanaman karakter dalam keluarga. Pemahaman ini perlu dimiliki oleh keluarga-keluarga Indonesia, bahwa mulai dari dalam keluarga, karakter generasi muda dibentuk. Banyak orang tua yang kurang memahami peran dan fungsinya dalam membangun mental generasinya. Tidak ada sekolah untuk orang tua yang menjadi tempat belajar akan pentingnya fungsi keluarga. Oleh karena itu, orang tua harus memahami pentingnya penanaman karakter dan mental keluarga tersebut.
Kedua, pembinaan secara kontinyu terhadap keluarga-keluarga Indonesia. Pemerintah perlu melakukan pembinaan terus menerus berkaitan dengan peran keluarga dalam membangun karakter bangsa.
Ketiga, peran serta tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat dapat turut berperan serta dalam menyosialisasikan pentingnya keluarga dalam membangun mental bangsa. Revolusi mental tidak akan terwujud tanpa ada kesadaran semua pihak, keluarga, masyarakat maupun individu-individu yang ingin menjadi generasi kuat di masa mendatang.