Bagi masyarakat Aceh yang sedang merantau ke luar daerah dan sebagainya, merayakan meugang di perantauan akan mengundang kesedihan tersendiri bagi mereka.
Beda halnya jika yang sudah berkeluarga, mereka bisa tetap merayakannya bersama keluarga mereka. Namun, akan terasa berbeda nuansanya bagi perantau yang masih menjomlo seperti saya jika tidak merayakan meugang di rumah.
Ini akan menjadi momen yang menyedihkan. Sebab biasanya di momen meugang inilah semua keluarga berkumpul. Baik yang di perantauan ataupun tidak, semuanya berkumpul di hari meugang.
Hingga sekarang, di desa tempat saya tinggal masih lumayan erat sekali aturannya dalam merayakan meugang. Meski tidak semua melakukannya, namun di keluarga saya hingga sekarang masih tetap memberlakukannya.Â
Anak-anak tidak diperbolehkan berkeliaran di luar rumah pada hari meugang. Semuanya harus tetap berada di rumah, apalagi pada jam makan siang, semuanya wajib di rumah. Tujuannya agar semua bisa menyantap masakan meugang bersama keluarga masing-masing.
Tradisi Meugang Bagi Pengantin Baru
Meugang juga punya cerita sendiri bagi pengantin baru. Setiap pengantin baru di Aceh juga merayakan meugang. Ini berlaku bagi pengantin pria yang masih tinggal di rumah mertua. Setiap momen meugang tiba, biasanya pengantin pria akan membawa pulang daging ke rumah mertua masing-masing.
Tradisi ini sudah menjadi sebuah kewajiban di Aceh. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi pengantin pria jika membawa pulang daging ke rumah mertua pada hari meugang.Â
Begitu pula dengan pengantin baru yang tidak tinggal di rumah mertua. Saat momen meugang tiba, mereka tetap akan ke rumah mertua untuk membawa daging.
Lagi-lagi ini hanyalah tradisi saja. Tidak ada sebuah kewajiban yang mengharuskan pengantin pria untuk melakukannya. Namun, selama tradisi seperti ini tidak memberatkan, tidak ada salahnya jika terus dipertahankan.
Muhammad Nauval