Mohon tunggu...
Muhammad Nauval
Muhammad Nauval Mohon Tunggu... Perawat - Perawat | Aceh Tulen

Pecinta Kopi Hitam Tanpa Gula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sekelumit Kisah tentang Meugang, Tradisi Makan Daging Sebelum Ramadan di Aceh

7 April 2021   18:45 Diperbarui: 8 April 2021   13:59 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang daging di ruas jalan Pasar Bina Usaha Meulaboh, Kamis (25//05/17) (KOMPAS.COM/ RAJA UMAR)

"Dek, uroe meugang na woe gampoeng? Meunye hana woe gampoeng, meugang disinoe beh"

"Dek, hari meugang pulang kampung nggak? Kalau nggak pulang kampung, meugang di sini nanti ya"

Tadi pagi kakak ipar mengirim pesan WhatsApp, dan begitulah isinya. 

Beliau bertanya apa saya pulang kampung atau tidak menjelang hari meugang Ramadan yang tinggal menghitung hari. 

Saya yakin, sebagian besar dari kalian pasti merasa bingung, apa sih meugang? 

Tidak berlama-lama lagi, menyambung topik yang diberikan Kompasiana tentang mau makan apa sebelum puasa, saya akan sedikit menceritakan mengenai tradisi Aceh, yaitu meugang. 

Yuk langsung saja disimak!

Mengenal Meugang

Bagi masyarakat Aceh, pasti sudah sangat familiar dengan istilah hari meugang. 

Tradisi tersebut merupakan sebuah tradisi mengkonsumsi daging menjelang dua hari sebelum memasuki bulan Ramadan dan dua hari menjelang hari raya. 

Daging yang biasanya dikonsumsi adalah daging sapi. Namun ada juga yang memilih daging kambing dan kerbau. Ini hanya soal selera.

Tradisi meugang bisa dikatakan cukuplah unik, dan hanya ada di Aceh. Selain unik, hari meugang juga cukup kental dan tidak terlepas dari nilai-nilai sejarah.

Tercatat dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kesultanan Aceh, tradisi Meugang pertama sekali dilakukan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda periode 1607 hingga 1636.

Tradisi Meugang di Aceh [Sumber:InfoPublik]
Tradisi Meugang di Aceh [Sumber:InfoPublik]
Meugang dulu juga disebut dengan madmeugang. Ada juga yang menyebut dengan meuramien (makan bersama) menjelang Ramadan dan hari raya. 

Saya bersama keluarga biasanya sering melakukannya setiap menjelang Ramadan. 

Kami biasanya rutin meuramien sambil menikmati keindahan alam. Karena di tempat tinggal saya lumayan dekat dengan pegunungan, kami sering memilih gunung sebagai tempat meuramien (makan bersama).

Ibu biasanya menyiapkan banyak menu untuk meuramien, mulai dari daging sapi, ikan, hingga lauk-lauk lainnya. 

Kami biasanya meuramien pada hari meugang yang kedua. Jadi selesai pulang meuramien, pada malamnya kami bisa langsung melaksanakan salat tarawih.

Tradisi Meugang Sekarang Sudah Banyak Mengalami Pergeseran

Meugang pada masa Kesultanan Aceh sangat erat dengan nilai-nilai islam. Dalam Qanun Meukuta Alam yang tercantum pada Bab II, Pasal 47 disebutkan bahwa, Sultan Aceh dulu memerintah Qadi Mua'zzam Balai Silatur Rahmi untuk mengumpulkan dirham, kain-kain, sapi dan kerbau yang kemudian akan dipotong pada hari meugang.

Kemudian Sultan memerintahkan keuchiek (kepala desa) untuk mendata masyarakat miskin, fakir dan dhuafa di setiap desa mereka masing-masing, lalu kemudian diberikanlah beberapa tumpuk daging, kain dan uang sebagai bentuk kemakmuran untuk mereka semua.

Namun kini tradisi meugang sudah sedikit berubah. Sekarang meugang seakan adalah sebuah tradisi yang wajib dilakukan oleh semua orang. Baik orang kaya, miskin semuanya bersuka cita menyambut hari meugang dengan penuh semangat.

Jika pada masa Kesultanan Aceh warga yang miskin tidak perlu membeli daging, namun sekarang semuanya berubah. Warga yang ekonominya rendah akan tetap membeli daging meski harus bersusah payah.

Tetapi yang menariknya adalah, semuanya tetap riang gembira merayakan meugang meski uang pas-pasan. Tidak ada unsur paksaan sama sekali untuk merayakan hari meugang. Meugang tidak wajib. Banyak juga warga Aceh yang memilih tidak merayakan meugang dengan bermacam alasan.

Meugang juga bukan hanya tentang makan-makan. Meugang juga lumayan besar dampaknya bagi perekonomian pedagang. 

Dalam hal ini pedagang daging, pemilik sapi dan hewan sejenisnya juga cukup banyak diuntungkan. 

Tidak hanya itu, pedagang bumbu dan penjual bahan rempah-rempah lainnya juga cukup akan banyak terbantu dengan adanya tradisi meugang ini.

Masyarakat Aceh Mengerumuni Sejumlah Pedagang pada Hari meugang [Sumber: Republika]
Masyarakat Aceh Mengerumuni Sejumlah Pedagang pada Hari meugang [Sumber: Republika]

Masyarakat akan mulai memadati setiap lapak penjual dari pagi hingga petang. Kalau pedagang yang menjual daging biasanya buka dari selesai subuh hingga siang. Semuanya habis terborong. Meski harga daging sedikit kemahalan, namun masyarakat tetap akan membelinya. Kisaran harga daging biasanya menyentuh angka Rp180.000 per Kg dan bahkan bisa lebih tinggi dari itu.

Meugang di Rumah

Seperti cuplikan pesan kakak ipar saya di atas. Meugang biasanya dirayakan bersama keluarga di rumah. 

Bagi masyarakat Aceh yang sedang merantau ke luar daerah dan sebagainya, merayakan meugang di perantauan akan mengundang kesedihan tersendiri bagi mereka.

Beda halnya jika yang sudah berkeluarga, mereka bisa tetap merayakannya bersama keluarga mereka. Namun, akan terasa berbeda nuansanya bagi perantau yang masih menjomlo seperti saya jika tidak merayakan meugang di rumah.

Ini akan menjadi momen yang menyedihkan. Sebab biasanya di momen meugang inilah semua keluarga berkumpul. Baik yang di perantauan ataupun tidak, semuanya berkumpul di hari meugang.

Hingga sekarang, di desa tempat saya tinggal masih lumayan erat sekali aturannya dalam merayakan meugang. Meski tidak semua melakukannya, namun di keluarga saya hingga sekarang masih tetap memberlakukannya. 

Anak-anak tidak diperbolehkan berkeliaran di luar rumah pada hari meugang. Semuanya harus tetap berada di rumah, apalagi pada jam makan siang, semuanya wajib di rumah. Tujuannya agar semua bisa menyantap masakan meugang bersama keluarga masing-masing.

Tradisi Meugang Bagi Pengantin Baru

Meugang juga punya cerita sendiri bagi pengantin baru. Setiap pengantin baru di Aceh juga merayakan meugang. Ini berlaku bagi pengantin pria yang masih tinggal di rumah mertua. Setiap momen meugang tiba, biasanya pengantin pria akan membawa pulang daging ke rumah mertua masing-masing.

Tradisi ini sudah menjadi sebuah kewajiban di Aceh. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi pengantin pria jika membawa pulang daging ke rumah mertua pada hari meugang. 

Begitu pula dengan pengantin baru yang tidak tinggal di rumah mertua. Saat momen meugang tiba, mereka tetap akan ke rumah mertua untuk membawa daging.

Lagi-lagi ini hanyalah tradisi saja. Tidak ada sebuah kewajiban yang mengharuskan pengantin pria untuk melakukannya. Namun, selama tradisi seperti ini tidak memberatkan, tidak ada salahnya jika terus dipertahankan.

Muhammad Nauval

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun