Tinah, harus mengubur harapan untuk menyelesaikan sekolah. Ia jatuh sakit menjelang ujian akhir kelas 6. Tinah akhirnya tinggal di rumah dan membantu Ibu mengurus lima adiknya. Ketika menginjak umur 16 tahun Tinah mulai membantu neneknya, Mbok Pah, berdagang baju bekas di Pasar Batu.
     Suatu pagi, seorang kenek angkot bernama Sim ingin sarapan di tempat yang terletak lima blok dari warung Mbok Pah. Setelah selesai sarapan, Sim keluar dari warung dan menunggu di depan kios Mbok Pah, selagi supir angkot nya ke toilet. Tiba-tiba, Sim menatap Tinah dari balik tumpukan baju. Mereka berdua bertatapan dalam waktu yang singkat, namun cukup untuk meluluhkan hati masing-masing.
     Keesokan harinya, Sim kembali makan di tempat yang sama. Matanya kembali berbicara dengan mata Tinah. Namun yang mengejutkan, malam hari nya Sim pergi ke rumah Tinah. Malam itu, Sim tidak berbicara banyak dengan Tinah, hanya sekedar perkenalan singkat. Malam berikutnya, Sim kembali datang ke rumah Tinah. Ia mengajak Tinah untuk menonton layar tancap minggu depan. Minggu depannya, Sim menjemput Tinah untuk menonton layar tancap. Minggu berikutnya, mereka kembali menonton layar tancap.
     Sudah delapan bulan mereka berkenalan. Kini, Sim sudah menjadi supir angkot. Suatu sore, setelah pulang dari pekerjaannya, Sim mengatakan kepada Tinah tentang permintaanya untuk menjadi pasangan hidupnya.
     Bulan berikutnya, Sim bersama keluarga Mbak Gik, kakak angkatnya ke rumah Tinah untuk melamarnya. Tanggal pernikahan pun disetujui. Namun, dua minggu setelah acara lamaran Mbok Pah meninggal. Mbok Pah meninggal seminggu kemudian. Akhirnya, hari hajatan tiba, ijab kabul dilaksanakan di ruang tamu. Malam setelah ijab kabul, mereka tinggal di rumah Mbak Gik.
     Kini, Tinah dan Sim, telah menjadi Ibuk dan Bapak. Ibuk melahirkan anak pertamanya, Isa, pada umur delapan belas tahun. Memang sakit, ketika melahirkan anak pertamanya, namun begitu mendengar tangisan Isa pecah, air mata Ibuk tak terbendung.
     Enam bulan kemudian, Ibuk mengandung anak kedua, Nani. Nani pun lahir dengan proses persalinan yang lancar. Setelah Nani lahir, Ibuk dan Bapak memutuskan untuk pindah dari rumah Mbak Gik. Namun, karena keterbatasan ekonomi, niat itu pun diurungkan.
     Ketika Nani menginjak usia tujuh bulan, Ibuk hamil lagi.  Di bulan ketiga kehamilannya, ketika mencuci baju di belakang rumah, Ibuk merasakan sesuatu mengalir di kakinya. Ternyata, Ibuk keguguran.
     Enam bulan setelah kelahiran, Ibuk hamil lagi. Sembilan bulan kehamilan anak ketiga berjalan lancar. Terlahirlah bayi laki-laki, Bayek. Beberapa bulan setelah Bayek lahir, mereka meninggalkan rumah Mbak Gik. Bapak telah membangun rumah kecil di Gang Buntu.
     Lalu, kehidupan Bapak dan Ibuk menjadi ramai setelah anak ke empatnya lahir, Rini. Ia lahir satu setengah tahun setelah Bayek lahir. Lalu menyusul Mira, anak terakhir yang lahir lima tahun setelah Rini lahir.
     Hidup keluarga Bapak dan Ibuk tidaklah mudah. Banyak rintangan dan perjuangan yang mereka lewati. Terutama masalah perekonomian keluarga, mengingat Bapak yang hanya bekerja sebagai supir angkut. Namun, Ibuk bertekad untuk bisa menyekolahkan kelima anaknya sampai ke jenjang kuliah. Agar mendapat hidup yang lebih layak. Jangan sampai kelima anaknya bernasib sama seperti dirinya yang tidak lulus SD. Berbagai cara Ibuk dan Bapak lakukan agar anaknya dapat bersekolah dengan layak. Mulai dari menjual dan menggadaikan perhiasan atau barang-barang yang mereka miliki hingga meminjam uang kepada Bang Udin, tukang kredit asal Bandung.