Mohon tunggu...
Muhammad Musleh
Muhammad Musleh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Pejalan

Berpikir dan Melangkah

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Anies-Muhaimin dan Relasi PKS-PKB

17 Oktober 2023   16:31 Diperbarui: 17 Oktober 2023   17:07 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang tidak menyangka bila bakal calon presiden yang diusung Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) Anies Rasyid Baswedan akan memilih Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar sebagai pendampingnya pada Pemilihan Presiden 2024. Karena rumor yang beredar, Anies sudah menunjuk salah satu ketua umum partai dalam KPP, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat, meski belum disetujui patron utama Koalisi Perubahan Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem (Nasional Demokrat).

Tersingkirnya Agus Yudhoyono dari bakal calon wakil presiden membuat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yang tak lain ayah kandung Agus, meradang tinggi, merasa dikhianati, dan memutuskan keluar dari koalisi. KPP sempat goyah karena kabarnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tidak sempat diajak diskusi soal dipilihnya Muhaimin yang serba mendadak.

Ketika Partai NasDem dan PKB buru-buru mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) di eks Hotel Yamato, Surabaya, 2 September 2023, pimpinan PKS memilih absen karena mesti menunggu keputusan Majelis Syuro yang baru menetapkan Anies Baswedan sebagai bakal capres sementara Muhaimin Iskandar belum pernah dibahas. Syukurlah, PKS bertahan di Koalisi Perubahan. Amin pun aman.

Polarisasi politik imbas dua pilpres terakhir yang kebetulan menempatkan PKS dan PKB dalam dua kubu yang berseberangan, dikompori isu wahabisme di PKS dan liberalisme di PKB yang sudah dihembuskan jauh sebelumnya, kadang membuat kita terjebak dalam anggapan, keduanya tidak mungkin menyatu karena perbedaan ideologi. Padahal, selain isu itu tidak sepenuhnya benar, politik Indonesia sering kali menyangkut kepentingan pragmatis ketimbang idealisme.

Partai Keadilan (nama lama PKS) dan PKB sama-sama anak kandung Reformasi 1998. PK berbasis aktivis Tarbiyah yang dominan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang tidak berinduk ke organisasi Islam arus utama Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, yang setelah tumbangnya Presiden Soeharto masing-masing membentuk partai politik sendiri.

Bila Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi mendeklarasikan PKB, warga Muhammadiyah tanpa mengatasnamakan Persyarikatan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Hasil Pemilihan Umum 1999 menempatkan PKB di urutan ketiga dan membuat fraksi sendiri, sementara PAN dan PK yang berada di bawahnya bergabung dalam Fraksi Reformasi.

Pemilihan Presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menampilkan dua kandidat utama. Pertama, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang untuk pertama kalinya memenangi pemilu, menantang petahana Bacharuddin Jusuf Habibie dari Partai Golongan Karya (Golkar) yang sekarang harus puas menjadi runner-up.

Kelompok Islam yang mengharamkan pemimpin perempuan, dan pada saat yang sama menolak status quo Orde Baru, dimotori Fraksi Reformasi dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggalang Poros Tengah dan menawarkan capres alternatif KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Ketua Umum PBNU yang juga salah satu deklarator PKB.

Laporan pertanggungjawaban BJ Habibie yang ditolak MPR membuatnya mundur dari pencalonan. Gus Dur yang head to head dengan Megawati akhirnya terpilih setelah mendapat limpahan suara Golkar. Shalawat Badar mengiringi langkah Gus Dur ke Istana Negara. Sayangnya, harapan Poros Tengah supaya Gus Dur menggandeng Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sebagai wakil presiden mesti bertepuk sebelah tangan karena PKB lebih memilih Megawati untuk meredam massa PDIP yang bergejolak.

Bulan madu Presiden Abdurrahman Wahid dengan kelompok Islam memang tak lama. Karakter liberal Gus Dur yang ingin negara meminta maaf pada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi korban pembantaian massal oleh militer dibantu Gerakan Pemuda (GP) Ansor memantik reaksi keras termasuk dari kalangan NU sendiri. Rencana Presiden agar Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Israel juga membuat gerah umat Islam. Poros Tengah yang semula mendorong, justru berbalik ingin menghentikan Gus Dur.

Presiden Abdurrahman Wahid ternyata dimakzulkan bukan karena perkara yang masih sebatas opini tersebut, sebab ada kasus lain yang diduga lebih seksi: penyelewengan dana Bulog (Buloggate) dan bantuan Sultan Brunei (Bruneigate). Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri otomatis menggantikan Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR 2001.

Ajaib, Megawati yang dahulu ditolak karena perempuan sekarang melenggang tanpa pertentangan. Apalagi PPP memperoleh kursi wakil presiden yang sempat tertunda. Cuma PK yang konsisten dengan tidak bergabung ke Kabinet Gotong Royong. Namun sebagai bagian Fraksi Reformasi dimana PAN mengambil jatah menteri, PK tidak bisa serta merta disebut oposisi.

Konsistensi membela kepentingan umat Islam seperti isu Palestina, kemampuan merangkul banyak kalangan mulai Muhammadiyah sampai NU, juga perilaku kadernya yang bersih dari korupsi, membuat suara PK yang kemudian bernama PKS melonjak drastis pada Pemilu 2004. Meski baru mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada pilpres putaran kedua, PKS turut mengantarkan kemenangan Yudhoyono atas petahana Megawati yang kini didampingi KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang tidak lagi mengemong PKB.

PKB yang gagal mengusung kembali Abdurrahman Wahid karena pencalonannya ditolak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengikuti langkah PKS mendukung Yudhoyono pada putaran kedua. Partai bintang sembilan pun menempatkan kader terbaiknya, Ketua Umum Alwi Shihab dan Sekretaris Jenderal Saifullah Yusuf, di Kabinet Indonesia Bersatu. Namun manuver Gus Dur yang susah ditebak malah membuat kedua menteri itu kehilangan jabatan di partai. Gus Dur menempatkan keponakannya, Muhaimin Iskandar, kemudian putri kandungnya, Zannubah Arifah Chofsoh alias Yenny Wahid, di posisi-posisi strategis tersebut.

Kursi panas Ketua Umum PKB terus membara karena Muhaimin yang merapat ke Istana tak lama kemudian juga terpental dari kedudukannya. Langkah zigzag Gus Dur baru terhenti ketika pengadilan memenangkan gugatan kubu Muhaimin bersamaan dengan dimulainya Pemilu 2009. Konflik internal itu menurunkan semangat kader sehingga suara PKB menurun tajam.

Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang tak terbendung memporak-porandakan segmen pemilih partai nasionalis dan Islam. Pada periode keduanya, petahana SBY menunjuk teknokrat tak berpartai Boediono sebagai cawapres dan sekali lagi mengalahkan Megawati Soekarnoputri, yang kali ini menggaet mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto, dengan partai barunya, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Sementara itu, PKS yang tetap meraih suara simpatisan mendapat serangan eksternal berupa kecurigaan atas ideologi Islam transnasional yang akan dipaksakan bila partai dakwah ini sampai berkuasa. Padahal yang terjadi PKS kian membuka diri dengan menerima keberagaman umat Islam dan kebinekaan bangsa Indonesia. Upaya menjegal PKS dinilai "berhasil" setelah Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq dikaitkan dengan percobaan suap yang melibatkan orang kepercayaannya dengan pengusaha importir daging sapi. Solidaritas yang kuat menyelamatkan partai ini dari kejatuhan pada Pemilu 2014.

Saat rezim SBY yang berhaluan tengah segera berakhir karena tuntutan konstitusi, muncullah dua kutub ekstrem yang membuat masyarakat Indonesia mulai terpolarisasi. Prabowo Subianto yang disokong partai-partai Islam terutama PKS menampakkan sisi konservatif yang tidak bakal sejalan dengan PDIP yang dianggap kekiri-kirian dan kini mengusung mantan Wali Kota Solo Joko Widodo yang latar belakang keluarganya diragukan sampai diisukan terkait PKI.

PKB yang diajak PDIP berkoalisi agar tetap mendapat simpati massa Islam, sempat menawarkan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan Jokowi, namun PDIP lebih sreg dengan Jusuf Kalla yang selain masih terkait dengan NU juga memiliki jaringan luas di luar Jawa. Politik aliran yang sudah bersemi sejak Pemilu 1955 tetapi meredup selama Orde Baru, seakan mengalami de javu saat Pilpres 2014.

Prabowo Subianto yang bersanding dengan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN yang identik dengan massa Muhammadiyah, unggul di eks basis Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) seperti Jawa Barat dan Sumatera, sementara Jokowi-Jusuf Kalla menang di bekas lumbung Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kecemasan akan populisme Islam yang disematkan ke Prabowo membuat daerah-daerah mayoritas nonmuslim melabuhkan pilihan ke Jokowi yang selanjutnya menempati RI-1.

Politik identitas yang berkelindan dengan polarisasi warga mencapai puncaknya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang didukung PDIP dan merasa dekat dengan elite NU membuat blunder dengan ikut mengomentari larangan memilih pemimpin kafir bagi kaum Muslimin. Diksi dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 yang diucapkan Ahok memicu kemarahan umat Islam di berbagai daerah. Dengan komando Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, jutaan orang membanjiri kawasan Monas pada 2 Desember 2016 hingga penghuni Istana di seberangnya gemetar. Polisi pun menetapkan Ahok tersangka penistaan agama.

Dalam kepungan kubu konservatif, Ahok masih mendapat pembelaan dari GP Ansor. Tidak peduli Ahok sempat mengancam Rais Am PBNU KH Maruf Amin saat menjadi saksi yang memberatkannya dalam persidangan. PKB yang pada pilgub ini ikut mengusung Agus Yudhoyono-Silviana Murni, juga beralih mendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di putaran kedua. Namun pengaruh FPI yang lebih kuat dari NU di ibukota telah mengantarkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung PKS dan Partai Gerindra ke Balai Kota Jakarta.

Polarisasi yang dialami PKS dan PKB di Jakarta tidak selalu merembes ke daerah. Bukan cuma karena watak NU yang wasathiah (tengahan), namun karakter politik Indonesia yang oportunis bisa mengaburkan sekat ideologis. Pada Pilgub Jawa Tengah 2018, Partai Gerindra dan PKS yang mengusung cagub Sudirman Said bisa berkoalisi dengan PKB yang mendapat cawagub Ida Fauziyah. Sayangnya mereka dikalahkan petahana Ganjar Pranowo dari PDIP yang untuk menarik suara NU, meminang Taj Yasin Maimoen yang tak lain putra ulama kharismatik KH Maimoen Zubair.

Bergeser ke Pilgub Jawa Timur di tahun yang sama, duet Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang diusung PKB dan PDIP menerima dukungan Partai Gerindra dan PKS untuk membendung laju Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat NU, yang baru bisa menembus Grahadi sesudah tiga kali kontestasi. Koalisi PKB dan PKS di dua provinsi besar ini cepat dilupakan publik karena sama-sama gagal dan polarisasi nasional timbul kembali menyambut Pemilu Serentak 2019.

Menguatnya pengaruh Habib Rizieq dan FPI di tengah masyarakat membuat PBNU khawatir dengan wajah Islam moderat yang sedang diperjuangkannya. Gayung bersambut, PDIP yang kehilangan muka di ibukota mesti mengajak tokoh NU yang lebih mengakar agar kekuasaannya di pusat negara tidak ikut terjungkal.

Petahana Joko Widodo yang sempat terpesona mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang dikenal berintegritas harus membatalkan pilihannya di detik-detik terakhir karena keberatan PBNU yang ingin memajukan pimpinannya sendiri. Rais Am KH Maruf Amin yang sempat berseteru dengan Ahok pun diharap menarik massa Islam bukan cuma dari warga NU yang pasti loyal ke Jokowi, tetapi juga suara Jawa Barat yang kurang signifikan untuk PDIP.

Prabowo Subianto yang percaya diri didukung kembali kalangan konservatif mengabaikan rekomendasi ijtima' ulama untuk menggandeng pendakwah populer Ustadz Abdul Somad atau Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al-Jufri. Dengan dalih tidak mau membenturkan sesama ulama, juga untuk memperkuat logistik, Prabowo menggaet Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno yang masih satu partai dengan dirinya.

Militansi pendukung Prabowo yang bisa mengamankan basis pemilih di pilpres sebelumnya ternyata tidak mampu menambah daya lagi karena loyalis Jokowi juga sanggup mempertahankan perolehan suaranya. Kalah dua kali dari orang yang sama membuat Prabowo angkat topi. Tawaran masuk Kabinet Indonesia Maju pun diterimanya. Bagi Prabowo mungkin ini suatu rekonsiliasi, tapi bagi pemilihnya itu sebuah pengkhianatan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera menjadi idola baru oposisi. Latar belakangnya yang penuh prestasi, kinerjanya yang membuat pemerintah pusat iri, dan visinya untuk perubahan negeri yang lebih baik, menghipnosis tidak terbatas penduduk Jakarta, tapi menyebar seluruh Indonesia. Bukan cuma penentang pemerintah seperti massa FPI dan PKS yang terang-terangan, ada juga pembela Jokowi semisal tokoh NU dan Partai NasDem yang diam-diam mengakui kapasitas Anies sebagai calon pemimpin negara.

Nasdem menjadi partai pertama yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024. Disusul PKS kemudian Partai Demokrat. Ketiga partai tersebut membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan misi membawa perubahan dan perbaikan. Meski kompak mengusung Anies, mereka terkesan rebutan posisi pendampingnya.

NasDem menginginkan Khofifah Indar Parawansa untuk meraih suara NU dan Jawa Timur yang pada dua pilpres terakhir kurang berpihak ke oposisi. Demokrat mengharapkan Agus Harimurti Yudhoyono untuk menarik pemilih nasionalis karena naiknya Anies ke DKI-1 diidentikkan dengan dukungan massa konservatif. Sedangkan PKS yang menyadari basis pemilih Anies dan PKS berada di ceruk yang sama urung menampilkan Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat dua periode.

Penolakan Khofifah membuat AHY dianggap calon tunggal. Namun sepertinya petinggi Nasdem kurang puas. Ketika Demokrat terus mendesak agar pasangan Anies-AHY segera dideklarasikan, Surya Paloh menangkap peluang baru ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak kunjung diterima bakal calon presiden Prabowo Subianto meski Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang dibangun Partai Gerindra dan PKB sudah setahun bersama.

Hengkangnya Prabowo ke Jokowi memang membawa konsekuensi. Di satu sisi ia akan ditinggalkan pendukungnya yang kecewa. Di sisi lain ia bakal memperoleh pengikut baru karena sekarang berada di tempat yang berseberangan dengan yang dulu. Koalisi dengan PKB membuat Prabowo mulai diterima di lingkungan NU, namun itu tidak otomatis mengamankan posisi Muhaimin.

Apalagi saat mitra di pemerintahan, Partai Golkar dan PAN, menyusul bergabung. Berhasrat meneruskan kepemimpinan Jokowi, Prabowo mengubah nama koalisinya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang persis sekali dengan nama kabinet sekarang. Angan-angan Muhaimin untuk menggapai RI-2 semakin ambyar.

Padahal gerbong yang dibawa Muhaimin lumayan besar. PKB masih diklaim representasi NU yang mengakar cukup kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pasca Gus Dur, Muhaimin bisa mempertahankan PKB sebagai partai berbasis massa Islam terbesar di Indonesia. Potensi yang tidak diambil Prabowo inilah yang disambar Surya Paloh.

Dwitunggal Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar diyakini bakal mencengkeram Pulau Jawa dari sisi barat dan timur. PKS yang pernah menguasai Jabar mungkin mudah mensosialisasikan Anies karena di daerah ini banyak kantong oposisi. Sedangkan PKB yang cukup dominan di Jatim karena faktor Muhaimin yang tidak lagi bersama rezim yang dulu ikut disukseskannya bisa mengalihkan suara untuk kemenangan Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun