Mohon tunggu...
Muhammad Musleh
Muhammad Musleh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Pejalan

Berpikir dan Melangkah

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Anies-Muhaimin dan Relasi PKS-PKB

17 Oktober 2023   16:31 Diperbarui: 17 Oktober 2023   17:07 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polarisasi yang dialami PKS dan PKB di Jakarta tidak selalu merembes ke daerah. Bukan cuma karena watak NU yang wasathiah (tengahan), namun karakter politik Indonesia yang oportunis bisa mengaburkan sekat ideologis. Pada Pilgub Jawa Tengah 2018, Partai Gerindra dan PKS yang mengusung cagub Sudirman Said bisa berkoalisi dengan PKB yang mendapat cawagub Ida Fauziyah. Sayangnya mereka dikalahkan petahana Ganjar Pranowo dari PDIP yang untuk menarik suara NU, meminang Taj Yasin Maimoen yang tak lain putra ulama kharismatik KH Maimoen Zubair.

Bergeser ke Pilgub Jawa Timur di tahun yang sama, duet Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang diusung PKB dan PDIP menerima dukungan Partai Gerindra dan PKS untuk membendung laju Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat NU, yang baru bisa menembus Grahadi sesudah tiga kali kontestasi. Koalisi PKB dan PKS di dua provinsi besar ini cepat dilupakan publik karena sama-sama gagal dan polarisasi nasional timbul kembali menyambut Pemilu Serentak 2019.

Menguatnya pengaruh Habib Rizieq dan FPI di tengah masyarakat membuat PBNU khawatir dengan wajah Islam moderat yang sedang diperjuangkannya. Gayung bersambut, PDIP yang kehilangan muka di ibukota mesti mengajak tokoh NU yang lebih mengakar agar kekuasaannya di pusat negara tidak ikut terjungkal.

Petahana Joko Widodo yang sempat terpesona mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang dikenal berintegritas harus membatalkan pilihannya di detik-detik terakhir karena keberatan PBNU yang ingin memajukan pimpinannya sendiri. Rais Am KH Maruf Amin yang sempat berseteru dengan Ahok pun diharap menarik massa Islam bukan cuma dari warga NU yang pasti loyal ke Jokowi, tetapi juga suara Jawa Barat yang kurang signifikan untuk PDIP.

Prabowo Subianto yang percaya diri didukung kembali kalangan konservatif mengabaikan rekomendasi ijtima' ulama untuk menggandeng pendakwah populer Ustadz Abdul Somad atau Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al-Jufri. Dengan dalih tidak mau membenturkan sesama ulama, juga untuk memperkuat logistik, Prabowo menggaet Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno yang masih satu partai dengan dirinya.

Militansi pendukung Prabowo yang bisa mengamankan basis pemilih di pilpres sebelumnya ternyata tidak mampu menambah daya lagi karena loyalis Jokowi juga sanggup mempertahankan perolehan suaranya. Kalah dua kali dari orang yang sama membuat Prabowo angkat topi. Tawaran masuk Kabinet Indonesia Maju pun diterimanya. Bagi Prabowo mungkin ini suatu rekonsiliasi, tapi bagi pemilihnya itu sebuah pengkhianatan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera menjadi idola baru oposisi. Latar belakangnya yang penuh prestasi, kinerjanya yang membuat pemerintah pusat iri, dan visinya untuk perubahan negeri yang lebih baik, menghipnosis tidak terbatas penduduk Jakarta, tapi menyebar seluruh Indonesia. Bukan cuma penentang pemerintah seperti massa FPI dan PKS yang terang-terangan, ada juga pembela Jokowi semisal tokoh NU dan Partai NasDem yang diam-diam mengakui kapasitas Anies sebagai calon pemimpin negara.

Nasdem menjadi partai pertama yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024. Disusul PKS kemudian Partai Demokrat. Ketiga partai tersebut membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan misi membawa perubahan dan perbaikan. Meski kompak mengusung Anies, mereka terkesan rebutan posisi pendampingnya.

NasDem menginginkan Khofifah Indar Parawansa untuk meraih suara NU dan Jawa Timur yang pada dua pilpres terakhir kurang berpihak ke oposisi. Demokrat mengharapkan Agus Harimurti Yudhoyono untuk menarik pemilih nasionalis karena naiknya Anies ke DKI-1 diidentikkan dengan dukungan massa konservatif. Sedangkan PKS yang menyadari basis pemilih Anies dan PKS berada di ceruk yang sama urung menampilkan Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat dua periode.

Penolakan Khofifah membuat AHY dianggap calon tunggal. Namun sepertinya petinggi Nasdem kurang puas. Ketika Demokrat terus mendesak agar pasangan Anies-AHY segera dideklarasikan, Surya Paloh menangkap peluang baru ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak kunjung diterima bakal calon presiden Prabowo Subianto meski Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang dibangun Partai Gerindra dan PKB sudah setahun bersama.

Hengkangnya Prabowo ke Jokowi memang membawa konsekuensi. Di satu sisi ia akan ditinggalkan pendukungnya yang kecewa. Di sisi lain ia bakal memperoleh pengikut baru karena sekarang berada di tempat yang berseberangan dengan yang dulu. Koalisi dengan PKB membuat Prabowo mulai diterima di lingkungan NU, namun itu tidak otomatis mengamankan posisi Muhaimin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun