Mohon tunggu...
Muhammad Leksono
Muhammad Leksono Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Semua karya yang tercipta dibantuan oleh secangkir teh.

Bukan pencinta kopi, tapi ingin membuat kedai kopi. Lebih suka minum teh. Masih mencari jadi diri, hal itulah yang membuat saya masih asik sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tamparan Sahabat

30 November 2019   11:39 Diperbarui: 30 November 2019   11:55 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lonceng jam sudah berbunyi 3 kali, namun ia masih terjaga. Duduk di bale depan rumah sembari menadah ke atas langit malam yang hitam pekat. Hawa dingin sesekali meniup kepadanya masuk melalui pori-pori kulit yang tidak tertutup baju, namun tidak ia indahkan.

Raut wajahnya semakin lama semakin memupuk banyak sekali beban, raganya semakin lama semakin rapuh, jiwanya masih tidak menyangka akan semua kemalangan yang menimpa hidupnya.

Dalam benaknya dipenuhi oleh ingatan masa lalu; di mana kala itu untuk pertama kalinya ia belajar bersepeda dibantu oleh ayahnya; kenangan tawa ketika ia sedang naik biang lala bersama ibunya; canda yang selalu hadir ketika keluarganya berkumpul bersama.

"Andai Ibu dan Bapak masih ada" Ucap Ali seraya melihat langit malam yang begitu luas. Hamparan yang dipenuhi oleh banyaknya bintang terang benderang. Ramai tapi kosong.

"Aku rindu Ibu sama Bapak... Sekarang aku kesepian, Bu. Aku tidak punya lagi semangat hidup. Rasanya hampa hidup tanpa kalian. Dahulu, sebelum Bapak atau Ibu pergi, semua sepi yang aku rasa terasa ramai, namun sekarang berputar 180. Ramai sekarang, aku rasai hampa, sepi, juga kosong. Aku merasa hidup ini tidak sama lagi..."

Kecelakaan motor yang merenggut nyawa kedua malaikat tanpa sayap itu sungguh membuat jiwanya terguncang. Tanpa isyarat, tanpa tanda, tanpa peringatan, mereka berdua berpamitan menghadap Sang Illahi dan meninggalkan Ali seorang diri. Sudah 40 hari semenjak mereka berdua meninggalkan pemuda malang itu, tanpa adik ataupun kakak.

Banyak tetangga yang peduli padanya, tidak jarang menyumbang makanan setiap malam. Itu dikarenakan kedua orang tuanya dahulu adalah pribadi yang suka membantu sesama.

Sebenarnya Ali tidak mau dikasihani oleh orang lain, ia merasa mampu untuk menghadapi ini semua sendiri, namun tidak bisa ditutupi jiwanya benar-benar butuh dukungan, juga ucapan semangat. Salah satu orang yang selalu ada yaitu Fikri, sahabat sekaligus tetangga yang paling dekat dengan rumahnya.

Fikri sering menginap di rumah Ali, ia merasa tidak tega melihat sahabatnya memikul beban berat itu sendiri, saudara-saudaranya sudah kembali pulang ke kampung halamannya masing-masing, Fikri tidak sampai hati melihat sahabat kecilnya itu selalu melamun, hilang tawa, bahkan hilang semangat untuk hidup.

Sebisa mungkin ia mencoba menghidupkan kembali Ali, memberi sedikit demi sedikit nafas kehidupan, memberi masukan, memberi motivasi. Tidak jarang sikap Ali memberi respons menolak "Apaan sih... buat apa saya hidup, kalau orang yang sangat saya sayang sudah tiada !!" Ia memaklumkan, karena tahu emosi Ali pasti sedang tidak stabil, perlu waktu untuk beradaptasi menerima kenyataan yang ada.

"Sekarang aku sudah kerja, Pak. Kerja di pabrik, gajinya juga UMR, pasti Bapak banggakan? Karena anakmu ini tidak mengikuti jejakmu sebagai petani di lahan orang lain, diberi upah tidak sepadan dengan keringat yang bercucuran..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun