Mohon tunggu...
Kevin Setio
Kevin Setio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum UGM

Pembelajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Mahkamah yang Tak Lagi Agung

21 Juni 2024   17:34 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:40 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Agung. (KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA)

Hakim Agung Dilanda Bingung 

Mahkamah Agung tampaknya mengalami kebingungan dalam memaknai ketentuan syarat usia calon kepala daerah. Berita buruknya, kebingungan ini telah melahirkan putusan yang jauh dari kata berkualitas. Namun berita baiknya, seseorang yang belum berusia 30 tahun atau 25 tahun di November ini, entah siapapun itu, dapat maju menjadi calon kepala daerah.

Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024 (Putusan MA 23/2024):

Menimbang, setelah meneliti redaksi maupun memorie van toelichting ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut, Mahkamah Agung tidak menemukan penjelasan tentang kapan atau pada tahapan apa syarat usia bagi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Walikota/Wakil Walikota, harus dipenuhi;

 

Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 secara tegas tidak menjelaskan kapan usia Calon Kepala Daerah itu dihitung, sementara dalam pemilihan kepala daerah terdapat banyak tahapan-tahapan, sehingga membuka ruang penafsiran dalam memberi makna pasti kapan usia tersebut harus dipenuhi oleh Calon Kepala Daerah; 

 

Hakim Agung terlihat gagal memahami ketentuan syarat usia calon kepala daerah ini, terlebih lagi yang paling mendasar ialah gagal untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "calon" di rumusan pasal tersebut.

Kegagalan Hakim dalam menafsirkan syarat usia calon kepala daerah berujung pada putusan yang melahirkan sebuah tafsir baru. Dalam amar Putusan MA 23/2024, Hakim mengamini bahwa ketentuan mengenai syarat usia calon kepala daerah ialah berlaku "sejak pelantikan pasangan Calon terpilih", bukan lagi "sejak penetapan Pasangan Calon" sebagaimana menurut Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 (PKPU 9/2020).

Pergeseran makna dalam ketentuan syarat usia calon kepala daerah ini tentu telah menyeret perhatian para pemerhati hukum utamanya berkaitan dengan pertimbangan hukum dari para Hakim Agung beserta amar putusannya.

Ketentuan Batas Minimal Usia, Untuk Siapa?

Sebetulnya, ketentuan syarat usia calon kepala daerah cukup mudah dipahami. Apabila melihat Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut UU 10/2016), dinyatakan bahwa, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: .. e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;" 

 

Sekilas membaca pasal tersebut memang membingungkan untuk memaknai sejak kapan syarat usia calon kepala daerah itu berlaku. Kemudian timbul pertanyaan paling mendasar, siapa yang dimaksud dengan calon? dan apakah syarat pencalonan tersebut mengikat sejak penetapannya sebagai calon atau dihitung sejak masa pelantikannya apabila terpilih?

Inilah pentingnya mengetahui bagaimana cara memahami suatu norma hukum dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam buku yang berjudul Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. memaparkan bahwa salah satu cara untuk memahami norma hukum ialah dengan interpretasi sistematis. Sederhananya, kita tidak dapat memahami suatu norma hukum apabila hanya membaca satu pasal saja. Tiap pasal dalam undang-undang selalu memiliki keterkaitan satu sama lain (sistemik). Maka perlu untuk kita membaca pasal lain yang berkaitan agar mendapatkan pemahaman yang lebih holistik.

Apabila kita simak baik-baik, konstruksi Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 merupakan pengaturan lanjutan dari ayat sebelumnya pada pasal yang sama. Frasa ".. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)" merupakan isyarat bahwa untuk memahami norma yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (2), perlu untuk membaca Pasal 7 ayat (1) terlebih dahulu.

Pasal 7 ayat (1) UU 10/2016 berbunyi sebagai berikut, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota."

 

Pasal tersebut memberikan sebuah batasan yang jelas terkait definisi kata "calon". Ketentuan dalam pasal ini dapat diartikan bahwa "calon" ialah merujuk kepada orang yang maju menjadi peserta pemilu kepala daerah, entah karena mencalonkan dirinya sendiri maupun dicalonkan oleh partai politik. Maka, seseorang akan disebut sebagai "calon" ketika telah mendaftarkan diri atau dirinya telah didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum. (lihat Pasal 1 ayat (3) dan (4) UU 1/2015)

Konsekuensi yang logis dari definisi tersebut adalah bahwa syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU, termasuk syarat usia calon, akan mengikat bagi setiap orang yang mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi calon kepala daerah. Telah jelas bahwa ketentuan batas minimal usia calon kepala daerah akan dihitung sejak bakal calon tersebut mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi calon kepala daerah. 

Oleh karenanya, menjadi tidak relevan apabila syarat usia calon sebagaimana Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 diubah dari yang semula "sejak penetapan Pasangan Calon" menjadi "sejak pelantikan pasangan Calon terpilih". Pergeseran makna ini tentu menimbulkan pertentangan norma hukum bahkan dalam satu tubuh pasal itu sendiri.

Maka dari itu, perdebatan mengenai waktu berlakunya persyaratan minimal usia calon kepala daerah seharusnya tidak perlu ada. Hakim pun tidak sepantasnya menunjukkan "kebingungannya" dalam memaknai pasal hingga memberikan tafsir baru dalam putusannya. Tidak ada norma yang salah, terkesan ambigu, atau bahkan multitafsir dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 dan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Kalaupun ada, maka hal itu adalah sesuatu yang diada-adakan.

Mahkamah Menjilat Ludahnya Sendiri

Putusan MA 23/2024 mengabulkan permohonan Partai GARUDA sebagai pemohon karena PKPU 9/2020 menurut penilaian Mahkamah ialah benar bertentangan dengan UU 10/2016.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 bertentangan dengan UU 10/2016, tidak mempunyai hukum mengikat, dan memerintahkan kepada KPU untuk mencabut peraturan yang dimaksud. Mahkamah kemudian memerintahkan KPU untuk mengubah ketentuan pasal yang dimaksud menjadi "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih." Sebelum amar putusan tersebut diucapkan, ketentuan syarat usia calon kepala daerah menurut PKPU 9/2020 ialah "terhitung sejak penetapan Pasangan Calon."

Kalangan pemerhati hukum tentunya kini sedang mengerenyutkan dahi seraya bertanya dalam hati, "Memangnya boleh Mahkamah Agung memerintahkan perubahan norma dalam suatu pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang?"

 

Berkaitan dengan hal itu, penelusuran secara normatif membuktikan bahwa praktik tersebut telah menyalahi ketentuan yang berlaku. Mahkamah ketika memutus untuk mengabulkan permohonan dari Partai GARUDA seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 (Perma 1/2011). 

Pasal tersebut berbunyi, "Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya." 

Membaca pasal ini, didapati bahwa kewenangan Mahkamah terhadap putusan yang permohonannya dikabulkan ialah hanya sampai pada memerintahkan pencabutan peraturan kepada instansi yang bersangkutan, bukan pada mengubah norma pasal meskipun hal tersebut merupakan yang dimohonkan oleh Partai GARUDA sebagai pemohon.

Perintah Mahkamah untuk mengubah norma pasal seperti yang dilakukan pada Putusan MA 23/2024 jelas telah menyalahi ketentuan Perma 1/2011, yang notabene Peraturan MA (Perma) merupakan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah. Artinya, Putusan MA 23/2024 menunjukkan bahwa Mahkamah Agung telah melanggar peraturan yang ia bentuk sendiri. Dalam kata lain, Mahkamah menjilat ludahnya sendiri.

Mahkamah yang Tak Lagi Agung

Kebingungan para Hakim Agung dalam memaknai ketentuan syarat usia calon kepala daerah pada UU 10/2016 telah melahirkan pertimbangan hukum yang cacat terhadap uji materiil PKPU 9/2020 hingga kemudian melahirkan Putusan MA 23/2024 yang problematik. Akumulasi dari fenomena ini menjadi catatan penting bagi Mahkamah. Bahwa Mahkamah Agung, entah untuk pertama kalinya atau yang kesekian kalinya, telah kehilangan keagungannya dalam mengadili sebuah perkara.

Muhammad Kevin Setio Haryanto Mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun