Mohon tunggu...
Kevin Setio
Kevin Setio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum UGM

Pembelajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Mahkamah yang Tak Lagi Agung

21 Juni 2024   17:34 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:40 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Agung. (KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA)

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 bertentangan dengan UU 10/2016, tidak mempunyai hukum mengikat, dan memerintahkan kepada KPU untuk mencabut peraturan yang dimaksud. Mahkamah kemudian memerintahkan KPU untuk mengubah ketentuan pasal yang dimaksud menjadi "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih." Sebelum amar putusan tersebut diucapkan, ketentuan syarat usia calon kepala daerah menurut PKPU 9/2020 ialah "terhitung sejak penetapan Pasangan Calon."

Kalangan pemerhati hukum tentunya kini sedang mengerenyutkan dahi seraya bertanya dalam hati, "Memangnya boleh Mahkamah Agung memerintahkan perubahan norma dalam suatu pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang?"

 

Berkaitan dengan hal itu, penelusuran secara normatif membuktikan bahwa praktik tersebut telah menyalahi ketentuan yang berlaku. Mahkamah ketika memutus untuk mengabulkan permohonan dari Partai GARUDA seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 (Perma 1/2011). 

Pasal tersebut berbunyi, "Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya." 

Membaca pasal ini, didapati bahwa kewenangan Mahkamah terhadap putusan yang permohonannya dikabulkan ialah hanya sampai pada memerintahkan pencabutan peraturan kepada instansi yang bersangkutan, bukan pada mengubah norma pasal meskipun hal tersebut merupakan yang dimohonkan oleh Partai GARUDA sebagai pemohon.

Perintah Mahkamah untuk mengubah norma pasal seperti yang dilakukan pada Putusan MA 23/2024 jelas telah menyalahi ketentuan Perma 1/2011, yang notabene Peraturan MA (Perma) merupakan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah. Artinya, Putusan MA 23/2024 menunjukkan bahwa Mahkamah Agung telah melanggar peraturan yang ia bentuk sendiri. Dalam kata lain, Mahkamah menjilat ludahnya sendiri.

Mahkamah yang Tak Lagi Agung

Kebingungan para Hakim Agung dalam memaknai ketentuan syarat usia calon kepala daerah pada UU 10/2016 telah melahirkan pertimbangan hukum yang cacat terhadap uji materiil PKPU 9/2020 hingga kemudian melahirkan Putusan MA 23/2024 yang problematik. Akumulasi dari fenomena ini menjadi catatan penting bagi Mahkamah. Bahwa Mahkamah Agung, entah untuk pertama kalinya atau yang kesekian kalinya, telah kehilangan keagungannya dalam mengadili sebuah perkara.

Muhammad Kevin Setio Haryanto Mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun