Â
Sekilas membaca pasal tersebut memang membingungkan untuk memaknai sejak kapan syarat usia calon kepala daerah itu berlaku. Kemudian timbul pertanyaan paling mendasar, siapa yang dimaksud dengan calon? dan apakah syarat pencalonan tersebut mengikat sejak penetapannya sebagai calon atau dihitung sejak masa pelantikannya apabila terpilih?
Inilah pentingnya mengetahui bagaimana cara memahami suatu norma hukum dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam buku yang berjudul Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. memaparkan bahwa salah satu cara untuk memahami norma hukum ialah dengan interpretasi sistematis. Sederhananya, kita tidak dapat memahami suatu norma hukum apabila hanya membaca satu pasal saja. Tiap pasal dalam undang-undang selalu memiliki keterkaitan satu sama lain (sistemik). Maka perlu untuk kita membaca pasal lain yang berkaitan agar mendapatkan pemahaman yang lebih holistik.
Apabila kita simak baik-baik, konstruksi Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 merupakan pengaturan lanjutan dari ayat sebelumnya pada pasal yang sama. Frasa ".. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)" merupakan isyarat bahwa untuk memahami norma yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (2), perlu untuk membaca Pasal 7 ayat (1) terlebih dahulu.
Pasal 7 ayat (1) UU 10/2016 berbunyi sebagai berikut, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota."
Â
Pasal tersebut memberikan sebuah batasan yang jelas terkait definisi kata "calon". Ketentuan dalam pasal ini dapat diartikan bahwa "calon" ialah merujuk kepada orang yang maju menjadi peserta pemilu kepala daerah, entah karena mencalonkan dirinya sendiri maupun dicalonkan oleh partai politik. Maka, seseorang akan disebut sebagai "calon" ketika telah mendaftarkan diri atau dirinya telah didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum. (lihat Pasal 1 ayat (3) dan (4) UU 1/2015)
Konsekuensi yang logis dari definisi tersebut adalah bahwa syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU, termasuk syarat usia calon, akan mengikat bagi setiap orang yang mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi calon kepala daerah. Telah jelas bahwa ketentuan batas minimal usia calon kepala daerah akan dihitung sejak bakal calon tersebut mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi calon kepala daerah.Â
Oleh karenanya, menjadi tidak relevan apabila syarat usia calon sebagaimana Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 diubah dari yang semula "sejak penetapan Pasangan Calon" menjadi "sejak pelantikan pasangan Calon terpilih". Pergeseran makna ini tentu menimbulkan pertentangan norma hukum bahkan dalam satu tubuh pasal itu sendiri.
Maka dari itu, perdebatan mengenai waktu berlakunya persyaratan minimal usia calon kepala daerah seharusnya tidak perlu ada. Hakim pun tidak sepantasnya menunjukkan "kebingungannya" dalam memaknai pasal hingga memberikan tafsir baru dalam putusannya. Tidak ada norma yang salah, terkesan ambigu, atau bahkan multitafsir dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 dan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Kalaupun ada, maka hal itu adalah sesuatu yang diada-adakan.
Mahkamah Menjilat Ludahnya Sendiri
Putusan MA 23/2024 mengabulkan permohonan Partai GARUDA sebagai pemohon karena PKPU 9/2020 menurut penilaian Mahkamah ialah benar bertentangan dengan UU 10/2016.