Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Darmawan
Muhammad Ilham Darmawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Meruya. Jurusan S1 Akuntansi Nama : Muhammad Ilham Darmawan NIM : 43221010028 Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ruang B404_TB2_Pencegahan Korupsi Kejahatan dan Korupsi Menurut Anthony Giddens

13 November 2022   13:42 Diperbarui: 13 November 2022   14:04 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS

TEORI STRUKTURASI DARI ANTHONY GIDDENS
TEORI STRUKTURASI DARI ANTHONY GIDDENS

MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS

MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS


MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS

MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI  DALAM PERSPEKTIFTEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS

Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Meruya. Jurusan S1 Akuntansi Nama : Muhammad Ilham Darmawan NIM : 43221010028 Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Ruang B404_TB2

Korupsi tak pernah bisa dilepaskan dari hubungan kekuasaan, para politikus yang masih bermental animal laborans dimana orientasi kebutuhan hidup serta obsesi akan konsumsi masih mendominasi, cenderung mengakibatkan politik sebagai mata pencaharian primer. Maka dengan begitu, korupsi menjadi sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindari lagi.

Korupsi menjadi kejahatan struktural dilihat dari sebagian kalangan menjadi dampak yang instan atau langsung yang berasal dari politik kekuasaan. 'Kekuasaan' dapat juga didefinisikan sesuai tujuan serta kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai sebuah hasil yang tentunya diinginkan serta dimaksud-kan.

Dan juga sebaliknya Parsons (1971) serta Foucault (1979) contohnya, yang mana dikemukakan dari Giddens (1984: 15), memandang 'kekuasaan' menjadi milik rakyat atau komunitas sosial. Hal ini mencerminkan dualisme antara subjek serta objek, antara agen dan juga struktur. '

Kekuasaan' pada agensi berdasarkan Giddens (1984: 14) berarti kemampuan bertindak kebalikannya atau bisa melakukan campur tangan pada seluruh dunia itu sendiri atau menarik intervesi itu, yang dapat menimbulkan sebuah pengaruh yang mempengaruhi sebuah proses atau keadaan spesifik secara sadar maupun juga secara tidak sadar.

Korupsi menjadi kejahatan struktural melibatkan sebuah tempat material yang tidak dibenarkan satunya merupakan uang. Konsepsi Giddens dijelaskan, uang merupakan sebuah alat perentangan waktu serta ruang. Uang ialah alat simbolis atau sebuah alat pertukaran yang dapat disebarkan atau diedarkan terlepas darimanakah dan juga siapa atau sebuah komunitas atau kelompok mana yang memegangnya di saat serta daerah tertentu. Ekonomi uang (money economy) sudah menjadi sedemikian abstrak pada sebuah saatn dan juga kondisi pada dewasa ini. "Money bracket time and space" (Giddens, 1991: 18).

Sistem pakar yang berisi kemampuan profesional telah menjadi sebagai prasarana pengorganisasian bidang-bidang material (uang) serta tindakan sosial.

Praktik deposito contohnya, telah melibatkan konsep investasi serta suku-suku bunga yang dijadikan sebagai objek kajian ilmu ekonomi keuangan.

Praktik deposito, kemudian dari sosial dilakukan atas dasar motivasi, kepentingan, keterbatasan, serta maksud berasal dari agen-agen kongkret; misalnya untuk menabung, untuk keamanan, untuk menerima pemberian hadiah dan lain-lain. Praktik sosial perbankan yang terkait sistem pakar teknologi serta komunikasi juga terus memunculkan cara-cara baru kejahatan korupsi misalnya money laundry.

Tindakan itu merupakan dampak yang berasal dari sebuah proses hermeneutika ganda (double hermeneutic), yaitu "arus timbal balik antara dunia sosial yang diperbuat dari khalayak serta rencana ilmiah yang ditindak dari seorang ilmuwan sosial" (Giddens, 1984: 374, 1976: 86).

Warga sosial biasa mengkaitkan adanya kejahatan sebagai sebuah tindakan seorang. Di level ini, terdapat pengandaian antropologis manusia yang berasal dari kejahatan struktural yang layak ditelusuri, yakni manusia menjadi makhluk yang mempunyai kehendak, konteks atau situasi, serta tujuan atau hasil dari dalam diri yang ada pada hidupnya.

Menurut Giddens (2003: 21) struktur merupakan rules and resources (hukum-hukum serta sumberdaya-sumberdaya) yang mampu disendirikan serta membentuk risiko yang sangat jelas, yakni kesalahan interpretasi.

Struktur bisa dikatakan terdapat di banyak sekali sendi kehidupan masyarakat, contohnya ilmu pengetahuan, rencana, budaya, tradisi, serta ideologi.

Struktur terbentuk atau menempel pada tindakan. Struktur adalah 'panduan' yang bisa merentang pada ruang serta waktu yang dijadikan prinsip-prinsip oleh agen yang digunakan untuk melakukan suatu tindakan (misalnya kejahatan).

Teori strukturasi berawal ketika kritik Giddens terhadap cara kerja strukturalisme, poststrukturalisme serta fungsionalisme pada melihat struktur. Salah satunya ialah, apa yang dilakukan sang tokoh strukturalis Claude Levi Strauss sudah berimplikasi jauh terhadap terapan analisis ilmu-ilmu sosial. Giddens mengkritik perspektif strukturalis adalah "penolakan dengan penuh skandal terhadap subjek".

Contohnya pada memahami tanda-tanda pada rakyat kapitalis, perhatian strukturalis tak terpusat pada sikap para pemodal atau konsumen, namun justru pada logic dari internal kinerja kapital; Maksudnya adalah dari istilah lain, strukturalisme merupakan bentuk dualisme (Giddens, 2008: 335).

Dualisme ini pula terdapat di perspektif poststrukturalis (Giddens, 1987: 348). Pemikir krusial poststrukturalis, Jasques Derrida contohnya, melihat disparitas bukan hanya mengarah sesuatu, melainkan menjadi pembentuk identitas yang bahkan adalah hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang terdapat di fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme adalah cara berpikir yang menjamin bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang wajib dipenuhi.

Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan ialah para pelaku. Fungsionalisme memberangus informasi bahwa manusia menjadi pelaku, bukan orang-orang bodoh, serta bukan robot yang bertindak berdasar "naskah" (peran yang telah dipengaruhi). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang serta waktu dalam menyebutkan tanda-tanda sosial, akibatnya terjadi kontradiksi antara yang 'berubah' serta 'bergerak maju', atau antara 'stabilitas' serta 'perubahan'.

Asumsi struktur menjadi "batasan" bagi perilaku tidak lebih adalah taktik cara lain yang digunakan para praktisi pada usahanya menyampaikan rasionalitas teoritis.

Para sosiologi interpretatif serta fenomenologis melihat permasalahan batasan ini terfokus di 'mekanisme' yang digunakan oleh aktor-aktor sosial ketika perjuangan membentuk dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak mempunyai keberadaan yang riil kecuali pada benak para pelaku yang memberinya arti.

Sudut pandang ini memberikan sebuah penjelasan struktural hanya akan mempunyai validitas sejauh hal itu dialami secara subjektif. Struktur dengan demikian merupakan sesuatu yang dikatakan oleh para pelakunya. Jika struktur mensugesti praktik, maka hal ini terjadi sebab struktur dilihat mempunyai semacam empiris, namun sebuah realita yang tergantung pada "konstruksi" individual (Giddens, 1984: Bab I).

Strukturasi merupakan sebuah suatu kondisi untuk mengungkapkan bagaimana sebuah tatanan hubungan-hubungan sosial terstruktur dalam hubungan dualitas (timbal balik) antara oleh pelaku dengan struktur (Ross pada Beilharz, 2002: 22-23). Hubungan dualitas struktur pada reproduksi sosial bisa dipahami menggunakan adanya 3 tingkat pencerahan atau 3 dimensi internal pada diri manusia, yaitu; pencerahan diskursif, pencerahan praktis, serta kognisi/motivasi tidak sadar. Giddens memberikan konsep-konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund Freud yakni ego, superego, serta id (Giddens, 1984: 7).

'Motivasi tidak sadar' mengacu pada hasrat atau kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, namun bukan tindak-an itu sendiri. 'kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang mampu direfleksikan serta dijelaskan secara rinci dan eksplisit. Adapun 'pencerahan praktis' merupakan pengetahuan tindakan manusia yang tak selalu mampu diurai atau dipertanyakan balik .

Fenomenologi melihat daerah ini masuk di gugus pengetahuan yang telah diandaikan (taken for granted knowledge) serta adalah asal 'rasa safety ontologis' (Ontological security). Keamanan ontologis adalah kepercayaan atau keyakinan bahwa alam serta sosial itu kondisinya seperti yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri serta ciri-ciri sosial (Giddens, 1984: 375).

Pencerahan/kesadaran praktis ini adalah kunci dalam memahami bagaimana banyak sekali tindakan serta praktik sosial rakyat lambat laun sebagai struktur, serta bagaimana struktur itu mengekang dan juga memampukan tindakan/praktik sosial rakyat. Giddens menyebut tindakan serta praktik sosial itu menjadi 'dunia yang telah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166). Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang tidak sering dipertanyakan lagi.

Dalam sebuah hukum dan sumberdaya, struktur mempunyai tiga gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan perihal. kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata dominasi atas orang (politik) serta barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap pada tata hukum (Giddens, 1984: 29).

Kata dari 'kekuasaan' diharuskan dibedakan dengan kata dominasi. Dominasi mengacu di asimetri korelasi di dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat pada korelasi sosial di dataran pelaku (hubungan sosial). Sebab itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak terdapat struktur tanpa pelaku, begitu juga tidak terdapat struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam serta melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya penguasaan (alokatif dan otoritatif).

Aktivitas-aktivitas sosial manusia bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.

Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).

Sistem pakar yang berisi kemampuan profesional telah menjadi sebagai prasarana pengorganisasian bidang-bidang material (uang) serta tindakan sosial.

Praktik deposito contohnya, telah melibatkan konsep investasi serta suku-suku bunga yang dijadikan sebagai objek kajian ilmu ekonomi keuangan.

Praktik deposito, kemudian dari sosial dilakukan atas dasar motivasi, kepentingan, keterbatasan, serta maksud berasal dari agen-agen kongkret; misalnya untuk menabung, untuk keamanan, untuk menerima pemberian hadiah dan lain-lain.

Praktik sosial perbankan yang terkait sistem pakar teknologi serta komunikasi juga terus memunculkan cara-cara baru kejahatan korupsi misalnya money laundry. Tindakan itu merupakan dampak yang berasal dari sebuah proses hermeneutika ganda (double hermeneutic), yaitu "arus timbal balik antara dunia sosial yang diperbuat dari khalayak serta rencana ilmiah yang dilakukan oleh ilmuwan sosial" (Giddens, 1984: 374, 1976: 86). warga sosial biasa mengkaitkan adanya kejahatan sebagai sebuah tindakan seorang.

Di level ini, terdapat pengandaian antropologis manusia yang berasal dari kejahatan struktural yang layak ditelusuri, yakni manusia menjadi makhluk yang mempunyai kehendak, konteks atau situasi, serta tujuan atau hasil dari dalam diri yang ada pada hidupnya.

Dari Giddens (2003: 21) struktur adalah rules and resources (aturan-aturan serta sumberdaya-sumberdaya) yang bisa disendirikan dan menghasilkan risiko yang sangat kentara, yakni kesalahan interpretasi. Struktur bisa juga dikatakan ada pada berbagai sendi kehidupan masyarakat; misalnya ilmu pengetahuan, planning, budaya, tradisi, serta ideologi. Struktur terbentuk atau melekat dari sebuah tindakan. Struktur merupakan 'pedoman' yang dapat merentang di ruang dan waktu yang dijadikan prinsip-prinsip oleh agen yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindakan (contohnya kejahatan).

Umumnya manusia merupakan makhluk individualis serta materialistis. Kehidupan manusia merupakan sebuah usaha untuk memuaskan harapan. Kehidupan manusia merupakan harapan tak pernah mati serta tidak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian.

Masyarakat merupakan sebuah bangunan buatan yang didukung beserta dengan sebuah campuran dari kepentingan diri rasional, kekerasan, ancaman, serta penipuan. insan bermasyarakat ditimbulkan oleh keinginan ingin kuasamenguasai satu sama lain, masyarakat artinya buatan manusia untuk mengatasi rasa takut pada dirinya terhadap kesengsaraan dan kekecewaan.

Koruptor sesungguhnya seorang yang hanya berasyik diri di kehidupan level hewani, kualitas serta makna hidupnya dangkal karena kebahagiaanya hanya disandarkan pada pemenuhan yang bersifat konsumtif semata.

Oleh karena itu, jiwa insani sangat diperlukan untuk mengemban amanat pendidikan serta pesan kepercayaan bahwa dengan bekal logika sehat, manusia hendaknya mampu membedakan serta membentuk perhitungan laba ]rugi antara yang baik atau jelek, benar atau salah, serta supaya manusia mampu mengendalikan jiwa nabati serta jiwa hewaninya.

Manusia telah dianugerahi oleh yang kuasa menggunakan dorongan kreativitas serta refleksivitas untuk bisa keluar dari intervensi serta rutinitas sikap instinctive kemudian naik ke jenjang pencerahan rasional serta pilihan moral sesuai kemerdekaan yang dimilikinya. dengan kata lain, manusia mempunyai tanggung jawab moral sebab pencerahan serta pilihan bebasnya.

Hal-hal yang manusiawi belum tentu berperikemanusiaan, da-lam arti korupsi mampu saja dianggap sebagai tindakan yang manusiawi seseorang yang mencari cara untuk memenuhi keinginan kebutuhan dasar, keinginan, serta kebahagiaan hidup. Tetapi, korupsi tak sekedar dorongan-dorongan manusiawi saja, korupsi tak bebas nilai karena dia menyangkut moralitas seorang. Korupsi merupakan tindakan Mengganggu, merugikan manusia serta lingkungan tempat manusia hidup. Oleh karena itu, korupsi merupakan 'jahat' sebab secara struktural membentuk penderitaan bagi orang lain, korupsi adalah extra ordinary crime.

Giddens berkata (1984: xxviii), setiap manusia yang hidup pada masyarakat sosial merupakan human agent. Setiap tindakan manusia disadari atau tidak, disengaja atau pun tidak, tentu berpengaruh terhadap setiap peristiwa atau keadaan sekecil apa pun pada sekelilingnya. seorang agen ialah seorang yang mempunyai daya hegemoni menggunakan keadaan pemicu atas suatu insiden. seseorang agen terus dikelilingi oleh struktur serta bisa mereproduksi struktur itu balik pada majemuk insiden. Seseorang agen bisa membangun keadaan struktural pada dunia sosialnya secara dialectic, antara lain kejahatan yang berdimensi struktural melalui kemampuan refleksivitas serta rasionalisasi tindakan.

Pemahaman korupsi menjadi kejahatan struktural tidak bisa dipisahkan dari pemahaman tindakan moral yang artinya bentuk refleksif agen-agen sosial. Bentuk refleksivitas bergantung di jangkauan pengetahuan agen-agen insan. Refleksivitas hanya mungkin terwujud Jika terdapat transedental praktik-praktik yang 'sama' di sepanjang ruang serta waktu. Refleksivitas dipahami tidak hanya menjadi 'pencerahan diri' namun menjadi sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung yang senantiasa dimonitor. Refleksi agen saja tidak relatif, karena setiap tindakan moral membutuhkan pertanggungjawaban maka di sini pentingnya institusionalisasi tanggung jawab pada bentuk legitimasi aturan.

Pandangan dari giddens yaitu sebuah penyebab prilakunya kejahatan. Menurutnya melalui akumulasi-akumulasi dari sebuah peristiwa yang asalnya dari sebuah keadaan pemicu yang tanpa keadaan ini tak akan mampu ditemukan akumulasi tersebut bisa dianalisis. Penataan rekanan-rekanan sosial lintas ruang serta waktu sesuai dengan dualitas struktur yakni logica strukturasi dan Keadaan itu bisa untuk dipahami pada akal.

Mengedepankan konsep agensi manusia dengan mempermudah melihat du-nia yang terstruktur bermaksud untuk Teori strukturasi. Caranya antara lain dengan mengenali perbedaan antara sistem dan konsep struktur. berbagai tindakan instant hanya muncul di Dalam sifat-sifat struktural serta memberi petunjuk akan agen untuk menjadi jejak-jejak memori yang telah banyak memiliki pengetahuan untuk memberi petunjuk akan agen-agen manusia. Memperlihatkan sifat-sifat struktural namun Sistem sosial tidak memiliki struktur (Giddens, 1984: 25). Prinsip-prinsip struktural (structural principles) disebut sebagai Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial, oleh Giddens. institusi' (institution) disebut sebagai Praktik-praktik sosial yang memiliki perluasan ruang dan waktu terbesar dalam totalitas (Giddens, 1984: 16-17).

Arti korupsi bisa disebut sebagai tindakan yang manusiawi seseorang yang mencari cara untuk kebahagiaan hidup,memenuhi dan keinginan. Hal-hal yang manusiawi belum tentu berperikemanusiaan. Sebab korupsi tidak bebas nilai yang menyangkut moralitas seseorang dan tidak hanya sekedar dorongan-dorongan manusiawi saja. Korupsi adalah tmerugikan manusia dan lingkungan tempat manusia hidup serta tindakan merusak. Korupsi merupakan extra ordinary crime, secara struktural menciptakan penderitaan bagi orang lain Oleh karena itu, korupsi adalah jahat. Manusia diciptakan adalah sebagai makhluk sosial dan untuk mengemban tugas sebagai individu. Secara sosial manusia bertanggung jawab terhadap sesamanya dan secara personal manusia bertanggung jawab terhadap pencipta-Nya.

Struktur adalah aturan-aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang merupakan prinsip praktik-praktik di berbagai ruang-waktu; atau pedoman dan merupakan tindakan sosial' (reproduksi sosial) hasil berbagai perulangan. Sarana terjadinya praktik sosial berbentuk skemata aturan ini. Gugusan struktur merupakan kapasitas refleksif seorang agen ditentukan oleh barisan stimuli yang ada sekelilingnya dalam Kesadaran atau sensibilitas (kemampuan merasakan) kejahatan.Tiga gugusan besar struktur yang dijadikan prinsip aturan dan sumberdaya oleh agen-agen sosial disebutkan oleh giddens. Pertama, struktur penguasaan (dominasi) atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Kedua, struktur pembenaran (legitimasi) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata hu-kum atau tata moral (1976: 123-124). Ketiga, struktur penandaan (signifikasi) yang menyang-kut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana.

Tranformasi berpijak pada konteks tersebut, adanya reformasi sistem-sistem moral dari institusi-institusi sosial yang ada di masyarakat seperti agama, hukum, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan menuntut sebagai kejahatan moral korupsi. Kebijakan politik negara-bangsa dalam Persoalan-persoalan korupsi harus diintegrasikan.

Mencari suatu keseimbangan antara tanggung jawab individual dan kolektif setiap gerakan politik dan sosial harus mempertahankan inti keadilan sosial dalam komunitas masyarakat. "Perluasan kewajiban individual seharusnya disertai dengan meluasnya individualis-me" (Giddens, 1998: 74-75).Upaya koruptor dalam menghindari tanggung jawab moral dapat menggunakan melegitimasi serta merasionalisasi tindakan 'dursila'nya secara personal.

Dan dalam menebus dosa serta rasa bersalah pada hadapan publik, seseorang koruptor yang anti-sosial berupaya merogoh simpati sosial menggunakan kegiatan sosial. Moral korupsi yang secara ontologis menegasikan prinsip kesejahteraan serta keadilan sosial, secara kontradiktif dihadapkan menggunakan empiris tindakan yang bisa membangun keadaan itu kembali.

Keberadaan kepercayaan relijius (supranatural) yang sebagai asal kegelisahan serta ketidakamanan psikologis bagi koruptor pada era penguasaan teknologi serta sains tergantikan menggunakan adanya rasa safety ontologis (ontological security). Ontological security merupakan kata Giddens yang dipergunakan untuk merujuk pada situasi atau pencerahan atau keyakinan eksistensial bahwa dunia kawasan insan hidup ini secara moral dan sosial teratur serta bumi ini safety (1984).

Orang-orang koruptor mungkin menyadari bahwa terdapat resiko sosial serta aturan yang akan diterimanya jika melakukan kecurangan serta penyalahgunaan kewenangan, namun rasa ini ditenggelamkannya dalam-dalam bersama ego kognitif yang mendasarinya.

Hal yang nampak bagi koruptor merupakan bagaimana mencari cara untuk mempertahankan keberadaan diri, kemudian merasionalisasi tujuannya itu agar nampak sahih serta lumrah. Dicarilah indera-indera pembenaran yang mampu melindunginya berasal jeratan aturan.

Orang-orang koruptor tidak perlu risih sebab terdapat expert system/abstract system yang membantunya pada segala hal; terdapat teknologi komunikasi serta isu (media massa) yang mampu dimainkannya buat membentuk opini, melemparkan perihal bahwa dirinya higienis serta tak korup; terdapat teknologi yang bisa menghapus data kecurangannya pada dunia maya menggunakan sekali pencet; atau didapat berhubungan menggunakan sistem perbankan internasional yang mampu mengamankan harta korupsinya sembari melarikan diri ke negara lain yang mampu memberinya rasa safety.

Menjadi sebuah hukum serta sumberdaya, struktur mempunyai 3 gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, serta perihal. kedua, struktur dominasi atau penguasaan (domination) yang mencakup skemata dominasi atas orang (politik) serta barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap pada tata aturan (Giddens, 1984: 29).

Pertama; bahwa buat melakukan komunikasi, seseorang mem-butuhkan sistem indikasi serta bingkai interpretasi (tata simbol, perihal/ forum bahasa), sebagai akibatnya struktur signifikasi itu terdapat. Aktor-aktor sosial, pada sikap kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna pada tataran yang sudah mereka beri makna; secara bersamaan mereka ditentukan oleh cara dimana makna-makna tadi sudah sebagai dirutinkan serta direproduksi. Hal yang dilakukan serta dikatakan rakyat mempunyai konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan asal daya, ketrampilan serta pengetahuan yang sudah dihasilkan berasal dari hubungan sebelumnya.

Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar di per-temuan tatap muka, namun perjumpaan ini tak pernah terjadi pada ruang hampa yang tak berstruktur, dunia sosial ditengahi serta dipe-ngaruhi oleh sumber daya yang sudah mempunyai signifikasi sosial serta budaya. Struktur merupakan 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan sang individu merupakan juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi berasal strukturasi. Strukturasi pula melibatkan interfusion (penggabungan) konsekuensi yang dibutuhkan ataupun yang tidak diperlukan, hal yang dimaui serta dilakukan agen mampu membentuk konsolidasi atas apa yang tak diinginkan agen. Gagasan inilah yang memberikan bahwa struktur merupakan sumberdaya yang memberdayakan sekaligus membatasi rakyat.

Agama atau keyakinan bahwa alam serta sosial itu kondisinya mirip yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri serta ciri-ciri sosial (Giddens, 1984: 375). Pencerahan simpel ini ialah kunci buat tahu bagaimana banyak sekali tindakan serta praktik sosial rakyat lambat laun sebagai struktur, serta bagaimana struktur itu mengekang dan memampukan tindakan/praktik sosial rakyat. Giddens menyebut tindakan serta praktik sosial itu menjadi 'global yang telah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166).

ke 2; buat menerima atau mempraktikkan kekuasaan, seorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi menjadi fasilitas. di dimensi dominasi, fasilitas ini terdiri berasal sumberdaya alokatif (ekonomi) serta otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu di kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang menyampaikan komando atas barang-barang, objek-objek atau kenyataan material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu di jenis-jenis kapasitas transformatif yang membentuk perintah atas orang-orang atau aktor-aktor.

Kata 'kekuasaan' wajib dibedakan menggunakan kata penguasaan. Penguasaan mengacu pada asimetri korelasi di dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat pada korelasi sosial di dataran pelaku (hubungan sosial). Sebab itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tak terdapat struktur tanpa pelaku, begitu jua tak terdapat struktur penguasaan tanpa rekanan kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam serta melalui reproduksi 2 struktur/ sumberdaya penguasaan (alokatif serta otoritatif).

Meski demikian, berdasarkan Giddens tak pernah mungkin terjadi dominasi total atas orang entah pada sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara sebab adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya pada dominasi selalu terlibat rekanan swatantra serta ketergantungan, baik di yang menguasai juga di yang dikuasai sekalipun pada kadar yang minimal.

Ke-3; buat memberlakukan sebuah hukuman, orang membutuh-kan wahana legitimasi berupa tata cara atau peraturan (rapikan aturan/lem-baga aturan). Aspek sah (normatif) diharapkan untuk menyampaikan rasa safety (ontological security) serta keabsahan atas hubungan yang dila kukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tak mampu ditempuh de-ngan pertentangan sistem, namun perubahan bisa ditempuh melalui ko-ordinasi praktik yang dilembagakan pada sistem serta struktur sosial yang mengatasi ruang serta saat. Perubahan sosial pada dimensi ke-tiga gugus strukturasi hanya mampu dirubah melalui 'derutinisasi' pada kapasitas 'monitoring refleksif' atau merogoh jeda terhadap unsur-unsur yang melingkupinya baik secara personal juga institusional (Giddens, 1984: 7).

DAFTAR PUSTAKA :

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12617/9078

https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/

https://core.ac.uk/download/pdf/295384289.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun