"Selamat Anniversary yang kedua kita, bub."
      Sebuah foto setahun yang lalu terpajang di album foto bergaya scrapbook yang aku buat dengannya. Cukup klasik, karena pasangan zaman sekarang biasa mengabadikan cerita mereka di Instagram. Namun bagi kami, cara ini akan lebih tahan lama, walau cerita dalam album ini malah sebaliknya. Aku pun melihat-lihat halaman selanjutnya, dimana ulang tahunnya kami rayakan di restoran terbaik di kota, katanya. Hampir setiap hal kami abadikan disini, sampai-sampai saat kami dihukum berdua karena tidak pergi latihan pentas seni kelompok kami dengan alasan pulang kampung, padahal kami pergi ke pantai berdua. Â
Saat pagi tiba, kami berlomba memberi kabar lebih awal untuk saling membangunkan. Seusai sekolah, kami saling menanti di depan kelas, berlomba siapa yang datang lebih dulu. Pagi dan malam menjadi momen di mana kami selalu ingin memulai percakapan lebih awal. Kehangatan hubungan kami terasa dalam setiap perlombaan kecil yang menunjukkan perhatian dan kebiasaan bersama.
      Sudah tiga bulan, sejak hari itu, dimana matahari menyinari bumi seperti biasa, dimana bunga-bunga mekar seperti biasa, dan dimana suara keramaian depan gerbang sekolah membisingkan telinga kami. Di depan kelas XII IPA 1, tepat pukul 4 sore, tanggal 28 Februari, mendekati hari kelulusan, kami berdiri berdua, dan mengobrol untuk terakhir kalinya. Ia mengingkari sumpahnya 3 tahun yang lalu, saat kami kelas 10 dulu. Kami tak mampu untuk saling bertatap-tatapan, tetes demi tetes air mataku mulai berjatuhan, tak bisa menerima kenyataan ini. Aku langsung menyekanya dengan tanganku, mencoba tegar.
      Belum lagi aku menjawab, atau setidaknya mengucapkan sepatah dua patah kata, ia langsung pergi begitu saja. Senyum terakhirnya tak semanis senyumnya pertama kali kepadaku, malahan begitu pahit.
      Aku tutup album foto-foto itu, berharap semua luka kenangan di dalamnya ikut tenggelam dan tak pernah dibuka lagi. Kemudian, aku simpan di bagian paling bawah lemari bajuku. Bagaimana pun, aku harus melupakannya. Aku langsung menyandang ranselku dan beberapa koper.
      "Oi! Cepat dikit dong, sayang! Itu supir taksinya udah nunggu!" Seru mama, tiba-tiba masuk ke kamar aku. "Udah lengkap 'kan semuanya? Gak ada yang ketinggalan 'kan?"
      "Udah, Ma." Aku segera pergi keluar rumah. Setelah hari kelulusan itu, keadaan mendadak berpihak kepadaku, seakan mencoba menghiburku yang terpuruk saat itu, aku diterima beasiswa di salah satu universitas paling bergengsi. Tangisan kedua tahun ini, tangis haru yang menyiratkan bahwa aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
      Di luar, abang supir taksi sudah menunggu. Mama, Papa, dan adikku, menolong mengangkat koperku ke dalam bagasi. Aku segera memasang sepatu di teras rumah. Di teras rumah dengan ubin berpola lingkaran ini, kami pernah terjebak berdua dalam dinginnya malam, tak ada yang membuka kunci rumah karena semuanya sudah tertidur pulas. Hari itu hujan lebih deras daripada biasanya, sehingga dia pun juga tak bisa pulang, lebih tepatnya, tak ingin pulang. Kami duduk berdua di salah satu sudut teras ini, merenung, saling menghangatkan satu sama lain.
      "Eh! Cepetan dong, Astaga!" Mamaku sudah marah-marah daritadi karena aku terlalu lelet.
Setelah salim dengan Papa dan Mama, serta mengucapkan salam terakhir kepada adik bungsuku tersayang, aku pun masuk ke dalam mobil. Dalam mobil itu benar-benar dingin, sedingin mobil taksi hari itu, saat kami berdua pergi ke karnaval di pusat kota. Untungnya, kami pulang dengan boneka beruang yang sangat besar, kami tertawa bahagia sekaligus tak menyangka bisa mendapatkan boneka sebesar itu. Kini, boneka itu ada di kamarnya, entah bagaimana kondisinya saat ini. Biarlah dia menjadi saksi malam kami berdua saat itu.
Mobil pun melaju keluar gerbang komplek, menuju jalan raya. Di samping jalanan ini, kami pernah jogging berdua. Hari itu adalah hari minggu, berharap badan kami akan sehat, malah akhirnya kami berdua membeli es krim di dekat sini. Lagi-lagi, itu adalah toko es krim terbaik di kota ini, katanya. Aku pun hanya bisa mengangguk.
Empat kilometer dari toko es krim itu, ada bioskop yang dulunya kami pernah menonton bersama disana. Film-film yang kami tonton adalah film-film komedi. Katanya, "biar kita aja yang romantis, filmnya jangan." Aku terdiam, merah di wajahku tak bisa kusembunyikan, tak tahu harus berkata apa. Ironisnya, sepanjang film, kami hanya tertawa terbahak-bahak.
Pulang dari sana, kami singgah di salah satu restoran yang tak jauh dari bioskop itu.
"Ini adalah restoran terburuk di kota ini," katanya. "Aku mesen teh manis gak ada manis-manisnya!"
"Biarin. Cukup kamu aja yang manis," gombalku, membalasnya saat di bioskop tadi. Harapannya, kalimat itu akan menggoyahkan pertahanannya. Karena setiap kali aku gombal, dia malah balas dengan kata-kata yang lebih ampuh dariku.
"Basi tahu nggak!"
Rasa percaya diriku yang tadi sempat muncul langsung lenyap begitu saja. Tiba-tiba dia memalingkan muka cantiknya itu. Aku pun juga tak bisa menutupi muka merahku, tak menyangka aku bisa menang tanpa perlawanan. Hari itu pun ditutupi dengan kecanggungan yang tak dapat dibendung. Sesampainya di rumah, sehabis mengantarnya, aku buka ponsel dan mendapati dia mengirim pesan, "Basi tahu nggak." ANJIR! MASIH KEPIKIRAN SAMA DIA? Tak terpikir olehku, selama di restoran tadi dia masih memikirkan kalimatku tadi.
      "Maaf, Mas. Kita singgah dulu ke minimarket boleh nggak?" Tanya supir taksi itu, memecah lamunku.
      "Oh, gapapa, Pak. Santai aja, pesawatnya masih 4 jam lagi."
      Mobil pun menepi ke minimarket itu. Aku memilih untuk menunggu di mobil saja. Setelah memperhatikan minimarket ini dengan cermat, benakku langsung melayang ke masa ketika kami berdua pergi ke konser salah satu band favorit kami, Sheila On 7. Saat itu, tiba-tiba perutnya sakit lalu ia minta untuk singgah ke minimarket untuk beli minyak kayu putih. Padahal, kami sudah terlambat 10 menit, dan konsernya sudah mulai. Tapi apalah daya, aku pun juga tak bisa marah kepadanya.
      "Maaf, Mas, nunggu lama." Supir itu akhirnya kembali ke mobil.
      "Eh, gapapa, Pak. Santai," balasku.
      Mobil pun kembali melaju melintasi jalan raya yang sering kami lewati, jalan yang meninggalkan jejak kami berdua. Terlepas dari semua itu, pandanganku teralihkan oleh pasangan yang tampak mesra di salah satu toko buku. Pasangan itu sekilas seperti dia dan kekasih barunya itu. Aku kembali mengingat, di toko itu kami sering membeli buku novel, salah satu buku favoritnya adalah novel-novel karya George Orwell. Karena saran darinya, aku pun coba menamatkan novel-novel itu, dan otakku tak cukup untuk memahami isi dari novel itu.
      "Udah hampir sampai, Mas," lapor supir taksi itu.
      "Oh, Oke, Pak."
      Mobil pun memasuki gerbang bandara. Bandara ini terletak di ujung kota, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dari rumahku---hampir sejam.
      "Saya liat-liat daritadi Mas-nya cuman liatin jendela aja, ngelamunin apa sih, Mas?"
      "Gak ada, Pak. Cuman keingat masa-masa di kota ini. 'Kan ini hari terakhir saya, jadi ya, kembali mengingat momen-momen di kota ini, ya kan, Pak?"
      "Bapak itu tertawa. "Kota seindah ini emang selalu meninggalkan kenangan yang indah ya, Mas."
      Aku pun tertawa. Namun, andai Bapak itu tahu, semua kenangan yang indah itu sudah berubah menjadi kenangan yang buruk bagiku. Hampir semua tempat, baik itu restoran, bioskop, hingga jalan raya yang ada di kota ini, hanya meninggalkan bayangannya. Bayangan itu menetap di kota ini, untuk selamanya. Ia sudah tercipta selama 3 tahun ini, sehingga sudah pasti takkan bisa kulupakan. Bahkan, takkan cukup untuk meninggalkan kota ini saja.
      Jika Mama, Papa, dan Adik kubawa pergi, ingin rasanya kuhancurkan kota ini dengan bom atom. Aku membayangkan setiap bangunan runtuh menjadi debu, setiap jalanan terbelah seperti jurang, dan setiap sudut kota ini berubah menjadi lautan api yang menghanguskan semua kenangan buruk yang ada. Aku ingin menyaksikan kaca-kaca pecah berserakan, tembok-tembok yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan kami roboh seolah menjerit, dan langit di atas kota ini menghitam seakan ikut merasakan apa yang kurasakan.
Tapi, aku tahu itu hal yang mustahil. Aku tahu di kota ini, banyak kenangan-kenangan indah, sayangnya kenangan itu bukan untukku, mungkin untuk sebagian besar penduduk kota. Kini, aku hanya berharap di kota baru itu, bayangan yang menetap adalah bayangan pendamping hidupku nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H