Mohon tunggu...
Muhammad Husein
Muhammad Husein Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Problem is only in your mind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Berbicara

25 November 2024   06:00 Diperbarui: 25 November 2024   07:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bel pulang sekolah berdentang nyaring, sudah waktunya untuk semua siswa pulang ke rumahnya masing masing meskipun ada juga yang belum pulang untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Karin berjalan keluar dari ruang kelasnya sambil melihat lihat lingkungan sekitarnya, tiba tiba dari arah belakang ada yang menjambak rambut Karin dan berteriak "Dasar bisu tidak tahu diri!". Karin pun menangis sebentar dan segera menghapus air matanya lalu pergi keluar gerbang sekolah.

Ayahnya melihatnya keluar dari gerbang sekolah dengan raut wajah sedih dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat sampai di rumah. Hal tersebut terus terulang kembali. Ayahnya ingin bertanya tetapi enggan karena takut Karin akan semakin sedih jika ia bertanya. Sampai suatu hari, Karin keluar sekolah dengan memasang raut wajah sedih seperti biasanya. Karena sudah sangat khawatir, Ayahnya bertanya kepadanya "Kamu kenapa nak? Kok keluar-keluar wajahmu selalu terlihat sedih?". "Karin gapapa" Tulis Karin di buku catatan kecilnya. Setelah itu, ia berpura-pura ceria seperti biasanya. 

Setelah 3 bulan sekolah di SMA, Karin masih terlihat sedih seperti biasanya saat keluar dari gerbang sekolah. Namun, pada suatu hari Ayahnya melihat Karin tiba-tiba belajar berbicara. 

Sang Ayah berbicara kepada Karin "Waahhh nak, ada apa ini tiba-tiba semangat sekali ingin belajar berbicara?" "aku mau seperti anak-anak lain, ayah" Jawab Karin di buku catatan kecilnya. Senang melihat anaknya yang memiliki keinginan untuk belajar, sang Ayah membantunya belajar dengan sepenuh hati. Hingga beberapa lama kemudian, setelah sang Ayah kewalahan mengajari Karin berbicara, Karin akhirnya menunjukkan perkembangan walaupun sedikit. "ikutin Ayah ya, Ha-lo" Karin mengikuti "Ha-o" Ayahnya mengeja lagi "Ha-lo" Karin mengikuti lagi "Ha-lo" mendengar Karin menjawab dengan benar, Ayahnya berkata kepada Karin "Waahhh nak, akhirnya kamu bisa mengeja satu kata!" Ayahnya sangat senang bukan main melihat Karin akhirnya bisa mengeja satu kata dengan benar. Karin pun sama senangnya dengan Ayahnya, Karin terus mengeja kata itu hingga berbagai hewan di sekitar rumah di sapa oleh nya.

Keesokan paginya, Karin terlihat sangat bahagia, Selagi Ayahnya membonceng nya menggunakan sepeda nya, Karin terus menyapa orang-orang dan hewan yang berpapasan dengan nya "Ha-lo, Ha-lo, Ha-lo". Ucap Karin di sepanjang perjalanan. Ada yang membalasnya dengan baik, ada juga yang menganggap Karin aneh. Tetapi, Karin tetap bahagia, Ayahnya ikut bahagia melihat karin yang sangat bahagia itu. Setelah sang Ayah mengantar Karin sekolah, ia memikirkan bagaimana cara agar dapat membantu Karin belajar berbicara. Sampai akhirnya, sang Ayah mendapatkan ide untuk membelikan TV untuk membantu anaknya belajar. Sang Ayah pun dengan semangat langsung bergegas mencari pekerjaan sampingan untuk mendapatkan uang tambahan. Setelah satu bulan mengumpulkan uang, akhirnya uang sang Ayah cukup untuk membelikan sebuah TV untuk anaknya. Sang Ayah pun langsung TV nya pada saat itu juga dan bergegas menjemput Karin setelah membeli TV tersebut. Saat Karin sampai dirumah, betapa senangnya ia melihat ada TV di rumah nya. Sang Ayah pun menghidupkan TV nya dan menjelaskan bagaimana Karin dapat belajar berbicara dengan TV tersebut "Karin, Ayah beliin TV ini buat kamu biar kamu bisa belajar bicara sendiri. Jadi, kamu bisa melihat mulut orang-orang yang berbicara di TV. Kadang, kamu juga mendapat bantuan dari penerjemah bahasa isyarat kalau kamu menonton berita". Karin pun menjawab dengan wajah penuh semangat "I-ya". Sang Ayah sangat senang mendengar Karin menjawab dengan berbicara. 

Setelah dibelikan TV oleh Ayahnya, Karin mengubah kebiasaannya. Setelah belajar, ia selalu duduk di depan TV dan menonton TV dengan sangat serius hingga ia tertidur pulas. Meskipun Karin tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan, Sang Ayah selalu menjadi orang yang mematikan TV tersebut dengan perasaan bangga melihat anaknya. Karin selalu mengeja satu kata baru saat berangkat sekolah dengan dibonceng Ayahnya. 

Sebulan berlalu. Di sekolah, Karin selalu dirundung oleh siswa bernama Maylin dan teman-temannya. Ia dicaci maki, dijahili, bahkan dipukul oleh Maylin dan teman-temannya. Lalu, suatu saat Maylin mengambil buku catatan kecil Karin dan merobek-robek buku tersebut. Karin berteriak "Ja-ean! Ja-ean!". Dan setelah itu, untuk pertama kalinya Karin melawan. Ia mendorong Maylin hingga terjatuh dan memukuli Maylin secara membabi-buta. Melihat itu, teman-teman Maylin langsung menahan Karin dan balik memukulinya. Siswa-siswa lain tidak ada yang menolongnya dan hanya menyaksikan Karin dipukuli oleh Maylin dan teman-temannya. Setelah memukuli Karin, Maylin dan teman-temannya dan juga siswa-siswa lain meninggalkannya sendirian dalam keadaan terluka. Hasil dari pertengkaran tersebut, kaki Karin terluka dan sulit untuk berjalan. Tidak hanya kakinya, wajahnya juga terluka akibat dari pertengkaran tersebut. Setelah pertengkaran tersebut, ia menatap ke buku catatan kecilnya yang sudah disobek-sobek. Pada salah satu sobekan, dia melihat kata "Ayah". Dia pun teringat Ayahnya dan segera mamunguti buku catatan kecilnya yang sudah dirobek-robek dan langsung berjalan menuju gerbang sekolah. Meskipun ia kesulitan untuk berjalan, ia memaksakan dirinya untuk berjalan keluar gerbang sekolah. Ia tahu bahwa ayahnya yang selalu menjadi penyejuk hatinya sedang menantinya di depan gerbang sekolah.

Ayah Karin sudah menunggu Karin yang tak kunjung keluar di depan gerbang sekolah. Karena khawatir terjadi sesuatu terhadap Karin, sang Ayah pun berniat masuk ke dalam sekolah untuk mencari Karin. Belum lama sang Ayah memasuki gerbang sekolah, ia sudah disambut dengan penampakan Karin yang terluka dan mencoba untuk berjalan sambil menumpu ke tembok. Ekspresi terkejut, panik, dan khawatir langsung terpasang di wajah sang Ayah. Sang Ayah langsung bertanya ke Karin "Karin?! Kamu kenapa nak?". Karin hanya membalas pertanyaan sang Ayah dengan tangisan dan langsung memeluk erat sang Ayah. Sang Ayah bertanya lagi ke Karin dengan lembut "Apa yang terjadi padamu nak?". Dan keadaan menjadi sunyi sejenak. Sang Ayah berbicara lagi "Ternyata selama ini kehidupanmu di sekolah sangat berat ya nak? Kamu sangat kuat bisa menahan semua tekanan sampai seperti ini. Ayo pulang." Sang Ayah pun menggendong Karin dipunggung nya dan meninggalkan sepeda nya di depan gerbang sekolah. Ia menggendong Karin karena takut kaki Karin kesakitan dalam perjalanan jika ia membonceng Karin dengan sepeda nya

Di tengah perjalanan pulang, Ayahnya menggendong Karin dipunggung nya dengan tenang. Mereka berdua sama-sama memikirkan tentang hari ini di pikiran mereka. Sampai tiba-tiba Karin menepuk-nepuk bahu Ayahnya dan menunjuk ke arah sungai sambil menyeru "A-iah! A-iah!". Sang Ayah pun menengok ke arah sungai dan menyadari bahwa Karin ingin menuju ke sungai tersebut. "Kamu mau bermain di sungai nak? kakimu sedang sakit lohh" Ucap sang Ayah kepada Karin. Karin pun menggelengkan kepala dan kembali menunjuk ke arah sungai tersebut. Sang Ayah pun menuruti kemauan Karin dan menurunkan Karin di sungai tersebut. Sang Ayah pun membersihkan darah dan kotoran di kaki dan wajah Karin dengan air yang ada di sungai tersebut. Saat sang Ayah sedang fokus membersihkan kaki Karin, tiba-tiba karin membasahi sang Ayah dengan air sungai lalu tertawa melihat Ayahnya yang kebasahan. Setelah itu sang Ayah membalas Karin dengan balik membasahinya dengan air sungai. Mereka terus bermain air sungai dan tertawa sampai mereka berdua kelelahan. Saat keduanya kelelahan, mereka berdua duduk di tepi sungai sambil melihat matahari terbenam. Saat keduanya duduk, sang Ayah menceritakan tentang Ibu Karin "Dulu, Ibu kamu adalah orang yang sangat baik. Kamu mirip sekali dengannya, dia sangat cantik, ceria, dan sangat ramah terhadap orang disekitarnya. Saat Ibumu melahirkanmu, dia sangat sedih mengetahui bahwa kamu memiliki masalah pendengaran, sehingga kamu sangat sulit untuk belajar berbicara. Meskipun begitu, dia tetap menaruh hampir seluruh perhatiannya kepadamu. Alat bantu dengar yang kamu pakai itu, bukanlah pemberian dari Ayah. Melainkan Ibumu yang bekerja keras untuk membelikannya untukmu. Saat umurmu hampir 3 tahun, dia berjualan sendirian setiap hari hanya untuk membelikanmu alat itu. Sampai akhirnya suatu saat dia pulang dan menunjukkan alat bantu dengar yang sudah dibelikannya untukmu. Dia menggendong mu kesana kemari karena saking senangnya akhirnya kamu dapat lebih mudah mendengar. Kita sangat bahagia di hari itu. Namun, 2 minggu kemudian saat Ibumu sedang berbelanja di pasar, ada truk yang hilang kendali dan menewaskan banyak orang di pasar itu, termasuk Ibumu. Hidup Ayah yang penuh kebahagiaan seketika berubah menjadi kesedihan yang sangat dalam. Tapi, Ayah tahu bahwa Ibumu tidak akan pernah ingin kita terus-terusan bersedih. Dia ingin kita tetap bahagia, menjalani hidup dengan penuh semangat, dan terus saling mendukung. Kamu tahu, setiap kali Ayah melihatmu, Ayah selalu melihat sedikit dari Ibumu dalam dirimu. Senyummu, caramu menunjukkan perhatian pada orang-orang di sekitar, dan semangatmu untuk belajar meskipun banyak tantangan, itu semua mengingatkan Ayah pada dia.

Nak, alat bantu dengar itu adalah bukti cinta terbesar Ibumu. Dia ingin kamu memiliki kesempatan untuk mendengar dunia ini dengan lebih baik, untuk menikmati setiap suara tawa, melodi, dan kehidupan di sekitarmu. Dia percaya bahwa kamu bisa menghadapi segalanya dengan keberanian.

Dan Ayah juga percaya itu. Ayah ingin kamu tahu bahwa tidak ada satu pun dari semua usaha Ibumu yang sia-sia. Dia ada di sini, di hati kita, di setiap langkahmu. Jadi, apa pun yang terjadi, jangan pernah menyerah, ya? Kalau ada hal yang kamu ingin lakukan, atau ada mimpi yang ingin kamu wujudkan, Ayah akan selalu ada di sini untuk mendukungmu. Kita akan menjalaninya bersama-sama." 

Mendengar cerita dari Ayahnya, Karin tersenyum dan bersandar di bahu Ayahnya sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Mereka berdua sama-sama merasakan Ibu Karin berada disana bersama mereka menikmati pemandangan itu bersama-sama dengan mereka. Di tengah kenyamanan itu, sang Ayah berkata "Kau tahu, Ibumu dulu sangat menyukai kembang api. Di malam tahun baru nanti, akan ada pertunjukkan kembang api di monumen kota. Ayo kita datang kesana menikmati keindahannya dan mengenang Ibumu". Karin  mengangguk, menandakan dia setuju dengan ajakan sang Ayah. Setelah cukup lama duduk ditepi sungai, mereka pulang ke rumah untuk mengobati luka-luka Karin dan beristirahat. 

Saat bangun di keesokan harinya, Karin bangun dan disambut oleh buku catatan kecil baru yang telah dibelikan oleh Ayahnya. Karin sangat senang dan langsung menulis di buku tersebut dan menunjukkan nya ke Ayahnya. "Terimakasih Ayah, aku sayang ayah!". Sang Ayah tersenyum setelah melihat tulisan anaknya. Kaki Karin sudah lebih baik dan bisa berjalan walaupun masih terasa agak sakit. Karin memaksakan ingin masuk sekolah karena tidak ingin menyia-nyiakan uang yang dibayarkan Ayahnya untuk dirinya sekolah. Ayahnya pun mengantar nya berangkat ke sekolah dengan sepeda seperti biasanya. 

Setibanya di sekolah, seorang guru dengan ekspresi serius membawa Karin dan Ayahnya ke ruang guru. Di sana, suasana terasa tegang. Maylin duduk di kursi dengan wajah penuh bekas lebam, sementara beberapa siswa lain bersama orang tua mereka saling berbisik cemas. Ayah Karin memegang bahu putrinya dengan lembut, mencoba memberinya kekuatan. Guru membuka pembicaraan dengan nada tegas. "Pak, ini situasi yang sangat serius. Karin telah menyerang Maylin dengan cara yang tidak dapat kami toleransi. Maylin harus dibawa ke klinik karena luka di wajah dan tubuhnya. Kekerasan seperti ini tidak bisa dibiarkan." Ayah Karin menatap putrinya, lalu kembali menatap guru tersebut. "Bu, tolong dengarkan sisi Karin. Maylin dan teman-temannya sudah lama merundung Karin. Anak saya hanya membela dirinya."

Maylin, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyela dengan nada tajam. "Dia membela diri? Bohong, Bu! Dia itu gila. Bisu tapi sok jagoan. Dia menyerang saya tanpa alasan!" Karin terkejut mendengar tuduhan itu, tetapi ia tetap diam, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Ayahnya mulai berbicara dengan nada sedikit naik, "Jangan bicara seperti itu! Apa kau pikir Karin tidak merasa sakit ketika kalian menghina dan menyiksanya selama ini?"

Salah satu orang tua siswa lain, seorang ibu dengan wajah sinis, ikut angkat suara. "Maaf, Pak, tapi anak seperti Karin memang sulit untuk diterima. Kami tahu anak-anak hanya bercanda, tapi tindakan Karin ini jelas tidak bisa dimaafkan." Kata-kata itu seperti tamparan bagi Karin. Tubuhnya gemetar, dan ia menunduk, mencoba menghilang dari pandangan semua orang di ruangan itu. Guru akhirnya mengetuk meja untuk menenangkan situasi. "Cukup! Saya paham ini adalah situasi yang rumit. Tapi aturan tetap aturan. Maylin dan teman-temannya akan mendapat peringatan keras karena perilaku perundungan mereka, tapi Karin akan diskors selama seminggu. Kekerasan tidak pernah menjadi solusi."

Ayah Karin mencoba protes. "Tapi Bu, anak saya dipaksa membela diri. Apa ini adil?" Guru hanya menggeleng dengan wajah muram. "Saya mengerti perasaan Anda, Pak, tapi sekolah ini harus memiliki batas tegas. Kami juga berharap Anda membantu Karin untuk belajar mengendalikan emosinya." Karin mendongak perlahan, menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. Meski ingin membela diri, ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan berarti apa-apa. la hanya bisa diam, seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Di luar ruang guru, Maylin dan teman-temannya tertawa kecil, seolah tidak merasa bersalah. "Si bisu tukang pukul. Dasar gila," ejek mereka sebelum berlalu. Karin mendengar semuanya, tetapi ia tetap tidak berkata apa-apa. Dalam hati, ia hanya ingin semua ini segera berakhir.

Setelah skorsing, Karin semakin menarik diri. Ia merasa dirinya hanya menjadi beban bagi Ayahnya. Sang Ayah mencoba menghibur Karin dengan mengajaknya menonton TV bersama, tetapi senyum Karin tidak lagi secerah dulu. Di sekolah, gosip tentang Karin menyebar. Maylin dan teman-temannya menyebutnya sebagai "si bisu gila."

Pada suatu malam, ketika Ayahnya tertidur, Karin duduk di depan TV, menonton kartun favoritnya. Ia melihat karakter dalam kartun itu tersenyum meskipun hidupnya penuh tantangan. Karin tersenyum kecil, tetapi air matanya mengalir. Dia mencatat di buku barunya: "Ayahku adalah segalanya. Tapi aku hanya membebani hidupnya. Jika aku pergi, mungkin Ayah akan lebih bahagia."

Pada malam tahun baru, Ayah Karin mengingatkan janji mereka untuk menonton kembang api di monumen kota. Karin terlihat enggan, tetapi ia tidak ingin mengecewakan Ayahnya. Dengan susah payah, ia berpakaian rapi, mengenakan syal yang dibelikan Ayahnya saat ulang tahunnya. 

Di monumen kota, keramaian terasa semarak. Kembang api mulai diluncurkan, menghiasi langit dengan warna-warni. Karin memandangi langit dengan senyuman samar. Ayahnya, yang berdiri di sampingnya, memegang tangan Karin dengan hangat. "Karin, lihat betapa indahnya kembang api ini. Ibumu pasti senang jika melihatnya." Karin mengangguk kecil. Namun, dalam hatinya, ia sudah memutuskan sesuatu yang berbeda. 

Karin bilang kepada Ayahnya melalui buku catatan kecilnya jika ia ingin pergi ke kamar mandi sebentar. Sang Ayah mengiyakan dan Karin pun pergi. Tetapi, setelah beberapa lama Karin tidak kunjung kembali. 

Dan secara mengejutkan Karin berada di atas monumen kota, membentangkan kedua tangannya. Sang Ayah panik dan berlari ke atas monumen tersebut melalui tangga yang dapat membawanya ke atas monumen. Saat sang Ayah sampai di atas, Karin melompat jatuh. Tetapi, Ayahnya masih bisa menggapainya dan berusaha sekuat tenaga menggenggam tangan Karin agar Karin tidak terjatuh. Selagi sang Ayah berusaha untuk menolongnya, Karin tiba-tiba tersenyum dan berbicara dengan suaranya "Aku-sayang-Ayah!" Karin pun melepas genggaman Ayahnya dan terjatuh dari ketinggian dengan ekspresi tersenyum menatap Ayahnya. Tepat saat tubuh Karin menyentuh tanah, sang Ayah langsung berbalik dan berniat berlari kembali ke bawah. Tetapi, dia melihat buku catatan kecil Karin dan membaca halaman terakhirnya dengan penuh tangisan. Dalam buku catatan kecilnya, karin menulis kata-kata terakhirnya "Ayah, terima kasih untuk semua cinta yang kau berikan. Kau adalah ayah terbaik di dunia. Tapi aku terlalu banyak menyusahkanmu. Aku ingin kau bahagia tanpa harus memikirkan aku. Aku akan pergi dan berharap Ibu menungguku di sana. Aku sayang Ayah." Setelah membaca buku catatan itu, sang Ayah berlari secepat-cepatnya kebawah melalui tangga. Dan saat sampai di bawah, sang Ayah melihat tubuh Karin yang sudah tidak bernyawa. Ayahnya merasakan dunianya runtuh dalam sekejap. Ia memeluk tubuh anaknya yang diselimuti oleh darah sambil menangis tanpa suara. Dalam pelukan itu, ia merasakan betapa berat beban yang Karin pikul selama ini, sesuatu yang ia tak pernah sepenuhnya mengerti.

Setelah pemakaman, sang Ayah mengambil keputusan untuk tidak larut dalam kesedihan. Ia menyimpan catatan-catatan Karin dengan hati-hati, membaca setiap kata, setiap coretan yang ditulis anaknya. Ia tahu, meskipun Karin telah pergi, semangat dan cinta anaknya akan selalu hidup di dalam dirinya.

Setiap malam, ia duduk di bawah langit berbintang, mengenang suara pertama Karin, senyuman kecilnya, dan tawa mereka di tepi sungai. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya dukungan untuk anak-anak seperti Karin, agar tidak ada lagi yang harus merasa sendirian dalam menghadapi dunia.

Beberapa lama kemudian, Ayahnya bercerita pada media tentang kematian Karin untuk memberikan inspirasi dan kesadaran tentang pentingnya dukungan untuk anak-anak sepertinya. Cerita tersebut langsung ramai di media sosial maupun media massa. Karena cerita tersebut, Karin, teman-temannya dan orang tua mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Itu adalah dampak dari perilaku yang mereka lakukan terhadap Karin.

Dan di malam tahun baru berikutnya, ketika kembang api menghiasi langit, sang Ayah menatap ke atas sambil tersenyum lembut. "Karin, Ayah tahu kau dan Ibumu sedang melihat ini bersama. Ayah mencintai kalian." Malam itu, di bawah sinar kembang api, cinta seorang Ayah untuk anaknya terus berpendar, meski dalam keheningan yang tak pernah bisa terucap lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun