Mohon tunggu...
Muhammad Husein
Muhammad Husein Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Problem is only in your mind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Berbicara

25 November 2024   06:00 Diperbarui: 25 November 2024   07:35 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar cerita dari Ayahnya, Karin tersenyum dan bersandar di bahu Ayahnya sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Mereka berdua sama-sama merasakan Ibu Karin berada disana bersama mereka menikmati pemandangan itu bersama-sama dengan mereka. Di tengah kenyamanan itu, sang Ayah berkata "Kau tahu, Ibumu dulu sangat menyukai kembang api. Di malam tahun baru nanti, akan ada pertunjukkan kembang api di monumen kota. Ayo kita datang kesana menikmati keindahannya dan mengenang Ibumu". Karin  mengangguk, menandakan dia setuju dengan ajakan sang Ayah. Setelah cukup lama duduk ditepi sungai, mereka pulang ke rumah untuk mengobati luka-luka Karin dan beristirahat. 

Saat bangun di keesokan harinya, Karin bangun dan disambut oleh buku catatan kecil baru yang telah dibelikan oleh Ayahnya. Karin sangat senang dan langsung menulis di buku tersebut dan menunjukkan nya ke Ayahnya. "Terimakasih Ayah, aku sayang ayah!". Sang Ayah tersenyum setelah melihat tulisan anaknya. Kaki Karin sudah lebih baik dan bisa berjalan walaupun masih terasa agak sakit. Karin memaksakan ingin masuk sekolah karena tidak ingin menyia-nyiakan uang yang dibayarkan Ayahnya untuk dirinya sekolah. Ayahnya pun mengantar nya berangkat ke sekolah dengan sepeda seperti biasanya. 

Setibanya di sekolah, seorang guru dengan ekspresi serius membawa Karin dan Ayahnya ke ruang guru. Di sana, suasana terasa tegang. Maylin duduk di kursi dengan wajah penuh bekas lebam, sementara beberapa siswa lain bersama orang tua mereka saling berbisik cemas. Ayah Karin memegang bahu putrinya dengan lembut, mencoba memberinya kekuatan. Guru membuka pembicaraan dengan nada tegas. "Pak, ini situasi yang sangat serius. Karin telah menyerang Maylin dengan cara yang tidak dapat kami toleransi. Maylin harus dibawa ke klinik karena luka di wajah dan tubuhnya. Kekerasan seperti ini tidak bisa dibiarkan." Ayah Karin menatap putrinya, lalu kembali menatap guru tersebut. "Bu, tolong dengarkan sisi Karin. Maylin dan teman-temannya sudah lama merundung Karin. Anak saya hanya membela dirinya."

Maylin, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyela dengan nada tajam. "Dia membela diri? Bohong, Bu! Dia itu gila. Bisu tapi sok jagoan. Dia menyerang saya tanpa alasan!" Karin terkejut mendengar tuduhan itu, tetapi ia tetap diam, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Ayahnya mulai berbicara dengan nada sedikit naik, "Jangan bicara seperti itu! Apa kau pikir Karin tidak merasa sakit ketika kalian menghina dan menyiksanya selama ini?"

Salah satu orang tua siswa lain, seorang ibu dengan wajah sinis, ikut angkat suara. "Maaf, Pak, tapi anak seperti Karin memang sulit untuk diterima. Kami tahu anak-anak hanya bercanda, tapi tindakan Karin ini jelas tidak bisa dimaafkan." Kata-kata itu seperti tamparan bagi Karin. Tubuhnya gemetar, dan ia menunduk, mencoba menghilang dari pandangan semua orang di ruangan itu. Guru akhirnya mengetuk meja untuk menenangkan situasi. "Cukup! Saya paham ini adalah situasi yang rumit. Tapi aturan tetap aturan. Maylin dan teman-temannya akan mendapat peringatan keras karena perilaku perundungan mereka, tapi Karin akan diskors selama seminggu. Kekerasan tidak pernah menjadi solusi."

Ayah Karin mencoba protes. "Tapi Bu, anak saya dipaksa membela diri. Apa ini adil?" Guru hanya menggeleng dengan wajah muram. "Saya mengerti perasaan Anda, Pak, tapi sekolah ini harus memiliki batas tegas. Kami juga berharap Anda membantu Karin untuk belajar mengendalikan emosinya." Karin mendongak perlahan, menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. Meski ingin membela diri, ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan berarti apa-apa. la hanya bisa diam, seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Di luar ruang guru, Maylin dan teman-temannya tertawa kecil, seolah tidak merasa bersalah. "Si bisu tukang pukul. Dasar gila," ejek mereka sebelum berlalu. Karin mendengar semuanya, tetapi ia tetap tidak berkata apa-apa. Dalam hati, ia hanya ingin semua ini segera berakhir.

Setelah skorsing, Karin semakin menarik diri. Ia merasa dirinya hanya menjadi beban bagi Ayahnya. Sang Ayah mencoba menghibur Karin dengan mengajaknya menonton TV bersama, tetapi senyum Karin tidak lagi secerah dulu. Di sekolah, gosip tentang Karin menyebar. Maylin dan teman-temannya menyebutnya sebagai "si bisu gila."

Pada suatu malam, ketika Ayahnya tertidur, Karin duduk di depan TV, menonton kartun favoritnya. Ia melihat karakter dalam kartun itu tersenyum meskipun hidupnya penuh tantangan. Karin tersenyum kecil, tetapi air matanya mengalir. Dia mencatat di buku barunya: "Ayahku adalah segalanya. Tapi aku hanya membebani hidupnya. Jika aku pergi, mungkin Ayah akan lebih bahagia."

Pada malam tahun baru, Ayah Karin mengingatkan janji mereka untuk menonton kembang api di monumen kota. Karin terlihat enggan, tetapi ia tidak ingin mengecewakan Ayahnya. Dengan susah payah, ia berpakaian rapi, mengenakan syal yang dibelikan Ayahnya saat ulang tahunnya. 

Di monumen kota, keramaian terasa semarak. Kembang api mulai diluncurkan, menghiasi langit dengan warna-warni. Karin memandangi langit dengan senyuman samar. Ayahnya, yang berdiri di sampingnya, memegang tangan Karin dengan hangat. "Karin, lihat betapa indahnya kembang api ini. Ibumu pasti senang jika melihatnya." Karin mengangguk kecil. Namun, dalam hatinya, ia sudah memutuskan sesuatu yang berbeda. 

Karin bilang kepada Ayahnya melalui buku catatan kecilnya jika ia ingin pergi ke kamar mandi sebentar. Sang Ayah mengiyakan dan Karin pun pergi. Tetapi, setelah beberapa lama Karin tidak kunjung kembali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun