Dan secara mengejutkan Karin berada di atas monumen kota, membentangkan kedua tangannya. Sang Ayah panik dan berlari ke atas monumen tersebut melalui tangga yang dapat membawanya ke atas monumen. Saat sang Ayah sampai di atas, Karin melompat jatuh. Tetapi, Ayahnya masih bisa menggapainya dan berusaha sekuat tenaga menggenggam tangan Karin agar Karin tidak terjatuh. Selagi sang Ayah berusaha untuk menolongnya, Karin tiba-tiba tersenyum dan berbicara dengan suaranya "Aku-sayang-Ayah!" Karin pun melepas genggaman Ayahnya dan terjatuh dari ketinggian dengan ekspresi tersenyum menatap Ayahnya. Tepat saat tubuh Karin menyentuh tanah, sang Ayah langsung berbalik dan berniat berlari kembali ke bawah. Tetapi, dia melihat buku catatan kecil Karin dan membaca halaman terakhirnya dengan penuh tangisan. Dalam buku catatan kecilnya, karin menulis kata-kata terakhirnya "Ayah, terima kasih untuk semua cinta yang kau berikan. Kau adalah ayah terbaik di dunia. Tapi aku terlalu banyak menyusahkanmu. Aku ingin kau bahagia tanpa harus memikirkan aku. Aku akan pergi dan berharap Ibu menungguku di sana. Aku sayang Ayah." Setelah membaca buku catatan itu, sang Ayah berlari secepat-cepatnya kebawah melalui tangga. Dan saat sampai di bawah, sang Ayah melihat tubuh Karin yang sudah tidak bernyawa. Ayahnya merasakan dunianya runtuh dalam sekejap. Ia memeluk tubuh anaknya yang diselimuti oleh darah sambil menangis tanpa suara. Dalam pelukan itu, ia merasakan betapa berat beban yang Karin pikul selama ini, sesuatu yang ia tak pernah sepenuhnya mengerti.
Setelah pemakaman, sang Ayah mengambil keputusan untuk tidak larut dalam kesedihan. Ia menyimpan catatan-catatan Karin dengan hati-hati, membaca setiap kata, setiap coretan yang ditulis anaknya. Ia tahu, meskipun Karin telah pergi, semangat dan cinta anaknya akan selalu hidup di dalam dirinya.
Setiap malam, ia duduk di bawah langit berbintang, mengenang suara pertama Karin, senyuman kecilnya, dan tawa mereka di tepi sungai. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya dukungan untuk anak-anak seperti Karin, agar tidak ada lagi yang harus merasa sendirian dalam menghadapi dunia.
Beberapa lama kemudian, Ayahnya bercerita pada media tentang kematian Karin untuk memberikan inspirasi dan kesadaran tentang pentingnya dukungan untuk anak-anak sepertinya. Cerita tersebut langsung ramai di media sosial maupun media massa. Karena cerita tersebut, Karin, teman-temannya dan orang tua mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Itu adalah dampak dari perilaku yang mereka lakukan terhadap Karin.
Dan di malam tahun baru berikutnya, ketika kembang api menghiasi langit, sang Ayah menatap ke atas sambil tersenyum lembut. "Karin, Ayah tahu kau dan Ibumu sedang melihat ini bersama. Ayah mencintai kalian." Malam itu, di bawah sinar kembang api, cinta seorang Ayah untuk anaknya terus berpendar, meski dalam keheningan yang tak pernah bisa terucap lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H