Dalam situasi seperti itu, gotong royong jarang ditanya tentang membangun rasa persatuan dalam ranah kehidupan. Bahkan para pemimpin dan elit ragu-ragu menyebut gotong royong dan pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa.
Ada banyak instansi daerah yang dapat digunakan untuk memperkuat budaya gotong royong, seperti Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Dusun, Desa, Dewan Desa, (BPD). Lembaga-lembaga formal di daerah-daerah tersebut seharusnya memperkuat peran mereka dalam pembangunan masyarakat lokal. Melalui lembaga-lembaga lokal tersebut, nilai modal sosial Gotong Royong dapat tumbuh dan menjadi energi sosial dari gerakan kohesi sosial.
Selain lembaga formal lokal tersebut, lembaga informal juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan budaya gotong royong yang sudah ada di masyarakat. Misalnya, Java memiliki institusi untuk Splice, Alisan, dan Jinpitan. Marc memiliki tradisi Peragadon. Tapanuli memiliki adat Dalihan Na Tolu. Minasaha memiliki Mapulse. Bali memiliki Seka, Banjar, dan seluruh suku bangsa di Nusantara ini, serta memiliki sistem sosial informal yang menerapkan nilai-nilai gotong royong dan demokrasi dengan musyawarah dengan mufakat.
Untuk mencapai hal tersebut, kita perlu menciptakan suasana sosial yang membuka peluang untuk memperkuat budaya gotong royong. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kapasitas (capacity development) dengan mengedepankan kemandirian masyarakat yang partisipatif (demokratis) melalui adanya otonomi masyarakat (kemandirian), pemberdayaan dan pembelajaran sosial dalam pengambilan keputusan adalah salah satunya. Prosesnya ditekankan.
Hal ini dapat diartikan sebagai upaya sistematis terencana untuk memberdayakan masyarakat (kota) untuk memberdayakan dan menentukan demokrasi partisipatif. Menjadi. Intervensi eksternal harus menyesuaikan dengan situasi dan keadaan masyarakat. Rasa persatuan, pemeliharaan moral/etika, integritas dan rasa saling percaya sebagai pintu gerbang penguatan (menghidupkan kembali) budaya gotong royong.
DATA PUSTAKA
A.B. Kusuma. 2004. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf)
Arrow, Kenneth.J. 2000, “Observation on Social Capital”, dalam Dasgupta, Parta dan Serageldin, Ismail, Social Capital: Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).
Jary, David dan Jary, Yulia, 1991, Dictionary of Sosiology, Glasgow, Harper Collin Publisher, hal.22-23.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).
Kompas, 2013, Pengaruh Asing Makin Meluas, Minggu 19 Mei 2013, hal. 1.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf)
Tumenggung, Adeline May. 2005. “Kebudayaan (para) Konsumen”, dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (penyunting), Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 257-270.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).