The Chronicles of Narnia, karya C.S. Lewis, lebih dari sekadar sebuah kisah fantasi untuk anak-anak. Karya ini menyimpan berbagai lapisan makna yang dalam, terutama terkait dengan teori negara dan konsep kekuasaan.Â
Melalui penggunaan mitos dan alegori, Lewis menggambarkan pandangannya tentang pemerintahan, moralitas, dan hubungan antara kekuasaan dengan individu dan masyarakat.Â
Dalam Artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana mitos dalam Narnia berfungsi sebagai sarana untuk memahami berbagai aspek kekuasaan serta dampaknya terhadap pemikiran kita tentang legitimasi pemerintahan.
Mitos dan Alegori dalam Narnia
Mitos dalam Narnia bukan hanya berfungsi sebagai latar belakang cerita; ia memainkan peran krusial dalam menyampaikan nilai-nilai moral dan etika. Karakter Aslan, singa yang melambangkan kekuasaan yang adil dan benevolent, menjadi simbol kepemimpinan ideal.Â
Dalam konteks ini, Aslan tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai figur spiritual yang mengajarkan prinsip-prinsip moralitas. Dengan menempatkan karakter-karakter dalam situasi yang menantang, Lewis menunjukkan bagaimana mitos dapat membentuk pemahaman kita tentang kekuasaan, legitimasi, dan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya.
Dalam tradisi mitos, kekuatan sering kali diasosiasikan dengan dewa-dewa atau entitas supranatural.Â
Dalam Narnia, Lewis mengintegrasikan elemen-elemen ini, menciptakan dunia di mana kekuasaan tidak hanya berasal dari kemampuan fisik atau kekuatan militer, tetapi juga dari moralitas dan kebaikan.
 Dalam hal ini, mitos berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dunia fantastis dengan realitas manusia, mendorong pembaca untuk merenungkan nilai-nilai yang mendasari sistem pemerintahan mereka.
Teori Negara
Melihat Narnia dari perspektif teori negara, kita dapat mengidentifikasi berbagai bentuk pemerintahan yang muncul dalam narasi ini. Salah satu bentuk yang paling jelas adalah monarki, di mana Aslan berfungsi sebagai raja yang diakui dan dihormati.