Legitimasi kekuasaan Aslan tidak hanya berasal dari posisi sosio-politiknya, tetapi juga dari moralitas dan integritas yang ia tunjukkan.Â
Ini mencerminkan pandangan Thomas Hobbes tentang kekuasaan absolut, di mana pemimpin memiliki wewenang penuh untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Namun, dalam konteks Narnia, legitimasi kekuasaan juga bergantung pada hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Aslan tidak hanya memerintah dengan tangan besi; ia juga berinteraksi dengan rakyatnya dengan cara yang penuh kasih dan pengertian.Â
Dalam hal ini, Lewis menyoroti pentingnya tanggung jawab pemimpin untuk mendengarkan dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, menciptakan keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas.
Di sisi lain, Narnia juga menggambarkan konsekuensi dari kekuasaan yang disalahgunakan, terutama melalui karakter White Witch. Ia menjadi representasi dari tirani dan kekuasaan yang korup, yang berlawanan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik.Â
Kontras ini menciptakan diskusi yang mendalam tentang legitimasi kekuasaan dan pertanyaan apakah kekuasaan yang tidak adil harus ditentang.Â
Dalam konteks ini, Lewis menggugah pembaca untuk berpikir kritis tentang sistem pemerintahan mereka sendiri dan bagaimana kekuasaan dapat digunakan atau disalahgunakan.
Kekuasaan dan Moralitas
Salah satu tema sentral dalam The Chronicles of Narnia adalah hubungan kompleks antara kekuasaan dan moralitas. Aslan, sebagai simbol kekuasaan yang adil, mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kebaikan bersama.Â
Hal ini tercermin dalam tindakan dan keputusan yang ia ambil, di mana ia selalu mempertimbangkan dampak dari kekuasaannya terhadap masyarakat Narnia. Ini mengundang pembaca untuk merefleksikan nilai-nilai yang mendasari tindakan pemimpin dalam konteks nyata.
Sebaliknya, karakter jahat seperti White Witch mewakili penyalahgunaan kekuasaan yang mengabaikan moralitas demi kepentingan pribadi. Penyalahgunaan ini menciptakan ketidakadilan dan penderitaan bagi banyak makhluk di Narnia.Â