AI Mengubah Jurnalisme: Peluang Baru atau Risiko Baru?
Kecerdasan buatan (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, dan salah satu bidang yang terkena dampaknya secara signifikan adalah jurnalisme.Â
Dalam artikel berjudul Collaborating with ChatGPT: Considering the Implications of Generative Artificial Intelligence for Journalism and Media Education oleh John V. Pavlik (2023), kita disuguhkan gambaran mengenai potensi dan risiko penggunaan AI generatif seperti ChatGPT dalam dunia jurnalisme. AI generatif memiliki kemampuan untuk memproses dan menyajikan informasi dalam waktu yang sangat singkat.Â
Dengan lebih dari 1 juta pengguna yang terdaftar dalam waktu hanya satu minggu setelah peluncurannya (Mollman, 2022), ChatGPT menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai memanfaatkan teknologi ini untuk berbagai keperluan, termasuk jurnalisme.
Namun, kemunculan AI ini juga memunculkan kekhawatiran. Menurut Pavlik (2023), ada ketakutan bahwa AI dapat menggantikan peran jurnalis manusia, terutama di masa di mana anggaran redaksi semakin berkurang.Â
Di saat yang sama, AI dianggap mampu meningkatkan efisiensi kerja jurnalis dengan mengambil alih tugas-tugas yang bersifat repetitif, seperti menulis berita berdasarkan data. The Associated Press, misalnya, sudah menggunakan AI untuk membuat berita-berita yang berbasis data sejak tahun 2022.
Meskipun demikian, dampak dari adopsi AI ini tidak sesederhana itu. Ada tantangan besar terkait etika, kualitas, dan kepercayaan terhadap konten yang dihasilkan AI.Â
Dalam konteks pendidikan, pendidik jurnalisme perlu membekali mahasiswa dengan pengetahuan kritis tentang penggunaan AI, agar teknologi ini bisa dimanfaatkan dengan bijak dan tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik.
***
AI generatif seperti ChatGPT menawarkan banyak potensi dalam dunia jurnalisme. Menurut Pavlik (2023), platform ini mampu membantu jurnalis untuk mengotomatisasi proses penulisan berita berbasis data dan mempercepat analisis informasi. Misalnya, Associated Press (AP) telah menggunakan AI untuk menghasilkan berita keuangan rutin sejak tahun 2022, mengurangi beban jurnalis dalam memproses data numerik yang kompleks. Namun, meskipun efisiensi ini menjanjikan, penting untuk mempertimbangkan bahwa AI tidak sepenuhnya bebas dari kekurangan.
Salah satu tantangan terbesar dalam adopsi AI di jurnalisme adalah keandalan konten. Data yang diproses oleh ChatGPT, misalnya, sering kali terbatas pada informasi yang tersedia di internet, yang tidak selalu akurat atau valid.
 Lebih dari itu, AI masih sangat bergantung pada data historis untuk memproses jawabannya, sehingga kurang dapat memahami konteks terkini atau menilai dinamika sosial-politik yang sedang berlangsung.Â
Di sinilah peran jurnalis manusia menjadi sangat penting. Jurnalis tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga memberikan konteks, analisis kritis, dan perspektif manusiawi yang belum bisa ditiru oleh AI.
Selain itu, ada isu serius terkait etika dan akuntabilitas. Pavlik (2023) menekankan bahwa AI, meskipun pintar, tidak memiliki kesadaran etis. Ini berpotensi berbahaya, terutama ketika kita berbicara tentang berita palsu (fake news) atau manipulasi informasi.Â
Pada tahun 2022, misalnya, penggunaan teknologi AI untuk membuat gambar atau berita palsu telah menimbulkan masalah serius dalam hal disinformasi, yang semakin memperkeruh kepercayaan masyarakat terhadap media.Â
Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2022), lebih dari 65% orang dewasa di AS mengatakan bahwa mereka khawatir tentang dampak berita palsu di media digital.
Di sisi lain, AI juga menawarkan peluang besar bagi pendidik media dan jurnalisme. Pavlik menyarankan bahwa pendidikan harus mulai mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum untuk membantu siswa memahami teknologi ini dan memanfaatkannya secara etis.Â
Dengan pengawasan yang tepat, AI bisa menjadi alat yang kuat dalam meningkatkan kualitas pelaporan dan penyampaian informasi. Pada saat yang sama, para pendidik harus tetap fokus pada pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan etis di antara siswa.
Maka dari itu, sementara AI dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat dalam mendukung jurnalisme modern, itu tetap memerlukan bimbingan manusia untuk memastikan bahwa kualitas, integritas, dan akurasi informasi tetap terjaga.
***
Penggunaan AI dalam jurnalisme membawa dualisme antara ancaman dan peluang. Di satu sisi, AI, seperti ChatGPT, mampu meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses pengolahan data, memungkinkan jurnalis untuk lebih fokus pada tugas yang membutuhkan kreativitas dan analisis mendalam.Â
Namun, seperti yang disampaikan Pavlik (2023), AI juga menimbulkan tantangan besar dalam hal etika, akurasi, dan kepercayaan publik terhadap media. AI belum mampu menggantikan sensitivitas manusia dalam menghadapi isu-isu kompleks dan dinamis yang sering kali melibatkan banyak aspek sosial.
Oleh karena itu, jurnalis dan pendidik media harus berperan aktif dalam mengawasi penggunaan AI. Mereka perlu memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara bertanggung jawab dan tidak mengorbankan integritas jurnalistik.Â
Mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum pendidikan jurnalisme akan membantu generasi jurnalis masa depan memanfaatkan teknologi ini dengan bijak, tanpa melupakan pentingnya etika dan kepekaan terhadap realitas sosial. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti, dalam praktik jurnalistik yang profesional dan bermartabat.
Referensi:
Pavlik, J. V. (2023). Collaborating with ChatGPT: Considering the implications of generative artificial intelligence for journalism and media education. Journalism & Mass Communication Educator, 78(1), 84-93. https://doi.org/10.1177/10776958221149577
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H