Alif hanya diam, tapi di dalam hati rasanya hancur berkeping-keping. Sejak itu, Ia tak lagi datang ke sekolah. Bukan hanya karena takut bertemu guru itu, tapi juga karena merasa tidak ada gunanya. Ayah jauh, Ibu sudah tidak ada, dan kini sekolah pun terasa seperti tempat yang tak menerimanya.
Selama tiga bulan, Ia hanya di rumah bersama nenek. Setiap hari sang nenek menghiburnya dengan cerita-cerita masa kecil Ibunya. Namun, tak bisa dipungkiri, Ia tetap merasa kehilangan arah.
Hingga suatu hari, seorang tamu mengetuk pintu rumah Alif.
"Permisi, Bu. Apakah Alif ada di rumah?" suara itu lembut dan ramah.
Neneknya membukakan pintu. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Ia mengenakan seragam guru, dan Ia mengenalinya sebagai Bu rahma, kepala sekolah tempat Alif bersekolah.
"Alif, Ibu ingin bicara sebentar," katanya sambil tersenyum.
Ia ragu-ragu, tapi nenek mendorong dengan lembut. "Dengar dulu apa yang ingin Bu Rahma sampaikan," bisiknya.
Tepat di ruang tamu yang sederhana. Bu Rahma mulai berbicara. Ia tidak marah, tidak menghakimi. Sebaliknya, ia bertanya bagaimana kabar Alif.
Bu Rahma mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Ia selesai, ia berkata, "Alif, hidup memang tidak selalu mudah, tapi kamu adalah anak yang kuat. Ibumu pasti bangga melihatmu, dan Ayahmu bekerja keras untuk masa depanmu. Jangan menyerah hanya karena satu pengalaman buruk."
Ia kemudian mengeluarkan sebuah tas sekolah baru, lengkap dengan buku-buku, pensil, dan seragam. "Ini untukmu, Alif. Ibu ingin kamu kembali ke sekolah. Kamu tidak sendiri. Kami semua di sekolah mendukungmu."
Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Ia merasa dihargai dan didukung.