Mohon tunggu...
Muhammad Feri
Muhammad Feri Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Muhammad Feri | Dosen, Gemar Menulis, dan Penggemar Sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ketika Sekolah Memanggil, Aku Siap

13 Januari 2025   08:39 Diperbarui: 13 Januari 2025   13:13 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika Sekolah Memanggil, Aku Siap

By: Muhammad Feri

Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan. Di sebuah desa kecil, seorang anak bernama Alif tinggal bersama neneknya. Ibunya sudah lama tiada, dan ayahnya merantau mencari nafkah. Namun, sebelum kehidupan membawa ujian berat itu, Alif adalah anak yang cerdas dan penuh semangat, hasil dari didikan penuh cinta dari kedua orang tuanya.

Ketika Ibunya masih hidup, meskipun sering sakit, selalu mengajarkan Alif untuk mandiri. "Alif, hidup ini harus dijalani dengan semangat," kata ibunya suatu hari sambil tersenyum meski wajahnya pucat. Setiap malam, sebelum tidur, sang ibu selalu mendongeng untuk Alif. Ia bercerita tentang tokoh-tokoh hebat dari cerita rakyat hingga kisah penuh inspirasi. Dongeng itu membuat Alif tumbuh dengan imajinasi dan rasa ingin tahu yang besar.

Sementara itu, sang ayah juga memiliki cara unik dalam mendidik Alif. Usai shalat berjamaah di rumah, ayahnya sering bercerita tentang kisah para nabi dan sahabat. "Kita harus belajar seperti mereka, Alif. Mereka adalah contoh terbaik bagaimana menjadi manusia yang kuat dan sabar," ujar ayahnya suatu malam. Kisah-kisah itu menanamkan nilai-nilai keberanian dan keteguhan hati dalam diri Alif.

Ketika masuk kelas satu SD, Alif adalah anak termuda dan terkecil di kelasnya. Namun, itu tidak menyurutkan semangatnya. Setiap pagi, ia berjalan kaki ke sekolah dengan penuh antusias. Ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, baik dalam pelajaran maupun sikap. Guru-guru sering memuji kecerdasannya, dan teman-temannya senang bermain dengannya.

Namun, kehidupan mulai berubah ketika ibunya meninggal dunia. Hari itu adalah hari terberat bagi Alif. Ia kehilangan sosok yang selalu memberinya kehangatan dan perhatian tanpa batas. Seminggu lamanya  Alif tak bisa berkata-kata, yang terbayang hanya kata-kata ibunya dimalam sebelum kepergiannya. "Alif, Nak... hidup ini seperti pohon besar. Angin kencang akan menggoyangnya, hujan deras akan membasahinya, tapi akarnya yang kuat akan membuatnya tetap berdiri. Jadilah pohon itu, Alif. Tumbuhlah dengan kuat, jangan takut pada badai. Badai bisa merobohkan pohonya, tapi tidak bisa memusnahkan akarnya. Ibu akan selalu menjadi bayang di hatimu, memberi teduh di mana pun kamu berada, meskipun ibu nanti tiada."

Tidak lama setelah itu, ayahnya memutuskan untuk merantau demi mencari nafkah. "Alif, kamu harus kuat. Ayah pergi agar kamu bisa punya masa depan yang lebih baik," ujar ayahnya sebelum pergi. Sejak saat itu, Alif tinggal bersama neneknya, dan kehidupannya tak lagi sama.

Hari-hari Alif yang dulu penuh semangat menjadi suram. Rasa rindu pada orang tuanya membuatnya kehilangan arah, terutama ketika insiden di sekolah membuatnya trauma. Hari itu, Ia bersemangat sekali karena Ayahnya berjanji akan pulang. Sudah setahun Ayahnya merantau ke kota mencari nafkah setelah Ibunya meninggal dunia. Janji sang Ayah adalah satu-satunya hal yang membuatnya bersemangat di tengah duka kehilangan Ibu.

Namun, Ia kecewa berat. Ayahnya tidak jadi pulang. Katanya, ada pekerjaan mendesak yang tak bisa ditinggalkan. Ia menunggu sepanjang hari di teras rumah sambil menangis pelan. Hari itu, Ia tidak masuk sekolah.

Keesokan harinya, Ia memberanikan diri datang ke sekolah, tapi guru yang mengajar di kelas tidak memaklumi absensinya. Ia marah besar. Di depan teman-teman sekelas, Ia dipanggil ke depan. "Alif! Kamu pikir ini tempat main-main? Kalau tidak mau belajar, lebih baik berhenti sekolah saja!" katanya keras. Lalu, dengan emosi, ia memukul lengan Alif menggunakan penggaris kayu panjang.

Alif hanya diam, tapi di dalam hati rasanya hancur berkeping-keping. Sejak itu, Ia tak lagi datang ke sekolah. Bukan hanya karena takut bertemu guru itu, tapi juga karena merasa tidak ada gunanya. Ayah jauh, Ibu sudah tidak ada, dan kini sekolah pun terasa seperti tempat yang tak menerimanya.

Selama tiga bulan, Ia hanya di rumah bersama nenek. Setiap hari sang nenek menghiburnya dengan cerita-cerita masa kecil Ibunya. Namun, tak bisa dipungkiri, Ia tetap merasa kehilangan arah.

Hingga suatu hari, seorang tamu mengetuk pintu rumah Alif.

"Permisi, Bu. Apakah Alif ada di rumah?" suara itu lembut dan ramah.

Neneknya membukakan pintu. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Ia mengenakan seragam guru, dan Ia mengenalinya sebagai Bu rahma, kepala sekolah tempat Alif bersekolah.

"Alif, Ibu ingin bicara sebentar," katanya sambil tersenyum.

Ia ragu-ragu, tapi nenek mendorong dengan lembut. "Dengar dulu apa yang ingin Bu Rahma sampaikan," bisiknya.

Tepat di ruang tamu yang sederhana. Bu Rahma mulai berbicara. Ia tidak marah, tidak menghakimi. Sebaliknya, ia bertanya bagaimana kabar Alif.

Bu Rahma mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Ia selesai, ia berkata, "Alif, hidup memang tidak selalu mudah, tapi kamu adalah anak yang kuat. Ibumu pasti bangga melihatmu, dan Ayahmu bekerja keras untuk masa depanmu. Jangan menyerah hanya karena satu pengalaman buruk."

Ia kemudian mengeluarkan sebuah tas sekolah baru, lengkap dengan buku-buku, pensil, dan seragam. "Ini untukmu, Alif. Ibu ingin kamu kembali ke sekolah. Kamu tidak sendiri. Kami semua di sekolah mendukungmu."

Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Ia merasa dihargai dan didukung.

Sejak hari itu, semangat Alif  kembali tumbuh. Ia kembali ke sekolah dengan rasa percaya diri. Bu Rahma selalu menyapa dengan ramah setiap pagi, memastikan Ia merasa diterima. Terkadang anak Bu Rahma juga datang ke kelas Alif  "Bang Alif nanti malam disuruh mama ke rumah, mama masak makanan enak dan meminta bang Alif ikut makan bersama"

Kini, Ia punya mimpi baru. Ia ingin menjadi guru, seperti Bu Rahma. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa mendukung anak-anak yang mungkin merasa putus asa, seperti Ia dulu.

Alif tumbuh menjadi remaja yang penuh dedikasi. Ia belajar dengan keras dan selalu mengingat kata-kata ibunya: "Semangat itu yang membuat kita bisa melewati segalanya." Ketika ia lulus SMA dengan nilai bagus, ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Perjalanan Alif tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan studinya hingga jenjang S2 dan memilih menjadi dosen di jurusan pendidikan. Baginya, menjadi dosen adalah cara terbaik untuk menciptakan guru-guru yang penuh kasih dan dedikasi seperti Bu Rahma dulu. Setiap kali mengajar, ia selalu mengingat masa kecilnya dan berusaha menjadi inspirasi bagi mahasiswanya.

"Ketika sekolah memanggil, Aku siap," ujar Alif dengan senyum bangga jika ada sekolah yang mengundangnya untuk mengisi seminar dan workshop. Ia tahu, perjalanannya yang penuh liku adalah bekal untuk membentuk generasi penerus yang lebih baik. Pendidikan telah mengubah hidupnya, dan kini ia ingin mengubah hidup banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun