Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pengangguran
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan sesekali kalian mengeluh tentang kehidupan, bersyukurlah kalian kepada sang pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mistery Sebuah Buku Tanpa Nama

14 Januari 2022   07:35 Diperbarui: 24 Januari 2022   19:00 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mistery buku kosong (sumber: pixabay.com/darkmoon_art)

Roan mengeluarkan keringat dingin, ia tidak tahu bagaimana caranya menutupi halaman buku yang bersinar itu. Ia berpura-pura berjalan santai mengitari rak-rak buku di sampingnya. Orang-orang yang melihat dirinya seperti seorang yang ingin mencuri buku.

Di setiap langkahnya, ia berpikir dan memutar otaknya demi mencari sebuah cara untuk mengembalikan buku itu seperti semula, tertutup rapat dan tersimpan rapi di antara buku-buku berdebu lainnya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia ke sana kemari dan tak kunjung menemukan jawaban. 

Ia sudah mencoba untuk menutup buku itu berkali-kali, namun buku itu selalu terbuka kembali di halaman yang sama dengan kilauan cahaya yang terang. Ia merasa takut jika terjadi sesuatu hanya karena rasa ingin tahunya.

Matanya melirik ke sudut rak yang tidak terdapat seorang pun di sana. Punggungnya menghadap ke luar agar orang-orang yang lewat hanya menganggap ia sibuk membaca. 

Namun, ia sama sekali tidak ingin membaca buku itu lagi. Tangannya pun mulai menekan dengan kuat menutup halaman itu, tapi cahaya terang tetap keluar dari pinggiran bukunya. Kecemasannya mulai terasa dari buku itu, karena ia tidak ingin seseorang tahu tentang hal ini. 

Ketika ia tidak sadar sebuah tangan berada di belakang bahunya. Kemunculan seseorang yang tiba-tiba mengejutkan Roan dan membuat jantungnya berdetak kencang. Spontan ia berbalik dan menghadap seorang wanita berkacamata yang menatapnya dengan serius. 

Roan menelan ludah dengan tangan yang gemetaran. Sehingga membuat halaman buku itu sedikit terbuka dan memancarkan lebih banyak cahaya. Melihat kilauan cahaya itu, Roan segera menahan buku tersebut sebelum seseorang terutama temannya itu melihat cahaya itu.

"Hei, kau sedang apa dari tadi di sini?" tanya wanita itu.

Roan terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Mengarang sebuah alasan dan cerita tidak semudah membalikkan telapak tangan baginya.

Ia bisa menutupi buku itu darinya, tapi cahaya bukunya tetap terlihat walau sudah terbungkus baju sweaternya yang sudah menyimpan keringatnya. Wanita itu memicingkan matanya, ia tahu sesuatu sedang disembunyikan oleh Roan.

"Kau mencuri buku lagi?" tanya temannya.

"Apa? Tentu saja tidak. Aku bahkan tidak pernah melakukannya." jawab Roan

"Lalu, apa yang ada di belakangmu itu?"

Roan menelan ludahnya sendiri, keringat dinginnya mulai membasahi lehernya.

"Hah, baiklah, tunggu di sini ya. Akan kulaporkan ke petugas," ucapnya sambil memutar badan.

"N-Novia jangan!!" Roan memutar badan Novia dan langsung menunjukkan bukunya.

"Dengar...," ucap Roan yang sudah pasti didengar olehnya karena nafasnya yang besar.

"Aku tahu ini pasti kedengaran gila, tapi... aku melihat api..., keluar dari buku ini!!"

"Sepertinya otakmu itu sedang bermasalah."

"Percayalah! Kalau tidak kenapa aku berdiri di sini sedari tadi?"

"Ya... sepertinya sulit dipercaya, selain itu alasanmu terdengar seperti karangan. Apa jangan-jangan kau tidak sengaja merusak buku itu?"

"Mana mungkin! memangnya aku pernah melakukannya?"

"Yaa... siapa tahu, kan?"

"Hah... lihat saja sendiri!" ucap Roan sambil menyerahkan bukunya.

Novia membuka buku tersebut, lalu kilauan cahaya terang seketika muncul dan membutakan matanya. Refleks, ia langsung menutup buku itu rapat-rapat hingga tak sedikit pun cahaya yang keluar.

"Apa yang kau lihat?" tanya Roan dengan wajah datar.

Novia yang matanya masih terbutakan oleh ledakan cahaya terang itu masih berusaha mengondisikan penglihatannya dan masih memproses hal tidak masuk akal yang baru saja ia lihat.

"D-Dimana kau temukan buku ini!?"

"Di rak ketiga," jawab Roan

"beruntung sekali." Novia sambil membenarkan posisi kacamatanya

"Beruntung katamu?!"

Namun, Roan sadar buku itu tidak mengeluarkan cahaya lagi seperti tadi. Ia memandangi buku di tangan Novia itu dengan heran. Cahaya itu seakan jinak di tangan Novia.

"Sebaiknya kita laporkan saja ke petugas," ucap Novia membawa buku itu di pinggangnya.

"A-apa itu pilihan yang terbaik?"

"Entahlah, mungkin saja."

Mereka berdua berjalan keluar dari sudut ruangan itu dan pergi melewati rak-rak tinggi penuh buku di samping mereka. Roan terhenti, ia tidak sengaja melirik buku yang terjatuh dari raknya, seorang di samping buku itu terlihat tergesa-gesa mencari sesuatu di antara rak-rak tersebut. Roan pun menyenggol tangan Novia dan menunjukkan apa yang ia lihat. Mereka pun mendekati orang itu.

"Permisi, ada yang bisa kami bantu?" tanya Novia

"Ah tidak, aku hanya sedang mencari sebuah buku." jawab orang itu.

"Maaf, anda terlihat tergesa-gesa, apa anda yakin tidak ada masalah?"

"Sebenarnya, ada yang bilang, buku itu berada di rak ini."

"Buku seperti apa yang anda cari?" tanya Novia sambil merangkul buku yang ia pegang.

"Sebuah buku tua, ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup tebal."

"Sebuah buku tua ya..."

"Kalau boleh tahu, apa anda mengerti siapa penulisnya?" tanya Roan

"Seingatku... tidak ada, lagi pula isinya hanya tulisan-tulisan tidak jelas"

Roan melirik buku di tangan Novia dan menyadari jika orang itu sedang mencari buku tersebut. Namun, di saat yang sama Roan menjadi bingung, jika isinya hanyalah tulisan-tulisan tidak jelas, kenapa orang itu terlihat seperti sangat membutuhkannya.

"Maaf, jika buku yang anda cari berisikan tulisan yang tidak jelas, mengapa anda ingin membacanya?"

"A-... itu... b-buku itu tulisan tangan, jadi tulisannya sedikit sulit untuk dibaca."

Orang itu kembali mencari buku tersebut seperti dikejar oleh waktu. Roan menarik tangan Novia, membawanya menjauh dari orang itu.

"Hei, menurutmu apakah buku yang dia cari adalah buku yang kau pegang saat ini?" bisik Roan.

"Entahlah, mungkin iya."

Novia kemudian membuka buku tersebut perlahan, berhati-hati agar cahaya tersebut tidak muncul kembali. Sayangnya, baru sekian milimeter buku itu dibuka, sebuah asap berwarna biru tiba-tiba menghembus wajahnya, BUOFF. Novia langsung menutupnya.

Orang itu mendengar suara hembusan buku yang dibuka Novia. Ia langsung menghampiri mereka dan melihat buku yang mereka bawa, itu buku yang ia cari.

"Oh, kalian menemukannya!"

"Iya, paman," ucap Roan dengan senyuman yang kurang yakin. 

Novia memandangi matanya seakan mengatakan kalau seharusnya mereka langsung melaporkannya ke petugas.

"Paman, apa aku boleh tanya padamu?"

Novia menanyakan kepada orang itu mengapa ia mencari buku yang berpotensi membahayakan ini. Roan mengangguk-angguk apa yang ditanyakan Novia.

"Itu pertanyaan yang bagus, anak muda. Tapi bisa kau perlihatkan buku itu padaku sebentar?"

Novia dan Roan saling memandang satu sama lain.

"Tenang saja, aku tidak akan kabur membawa buku itu. Toh, aku perlu meminjamnya 'kan?"

Novia melepaskan rangkulannya ke buku itu, ia akhirnya memberikan bukunya kepada orang yang tak dikenalnya.

"Ngomong-ngomong, namaku Joadian. Aku datang ke kota ini hanya untuk buku ini," ucapnya sambil berjalan dengan tenang bersama Roan dan Novia di belakangnya.

Mereka berjalan tanpa kegelisahan, tapi Roan jadi cemas bila sesuatu akan terjadi lagi bila buku itu terbuka.

"Jadi, paman Joa... buku apa itu?"

"Buku ini?" Joadian mengangkat buku itu.

"Yaah..., sebenarnya aku juga tak tahu buku apa ini. Aku hanya seorang pesuruh istana."

Novia menarik Roan ke belakang dan mengganti posisinya di samping Paman Joa.

 "Apa paman bilang istana?"

"Ya, dan kecilkan suaramu," jawabnya dengan suara pelan.

Roan menarik kembali Novia dari barisnya. Mereka berjalan dengan menyalip kaki satu sama lain. Badan mereka saling mendorong hingga kaki mereka menyandung sepatu Paman Joa yang hendak menyilahkan seorang pengunjung lewat, tapi justru tangannya secara spontan terkejut dan melepaskan genggamannya ke buku yang ia pegang. Buku itu membuka lembaran-lembaran yang belum pernah Roan buka. 

Buku itu terbaring dengan halaman yang terbuka, halaman itu memperlihatkan gambar yang mirip sebuah jam. Fwuung, bahu Paman Joa membentur sisi rak buku yang terbuat dari kayu dengan keras.

Ia membetulkan topi yang ia kenakan, lalu melihat ke kedua anak yang dengan cerobohnya menyandung kakinya. Namun, matanya beralih ke orang di belakang mereka berdua.

"M-maafkan kami, paman!" ucap Roan dan Novia menunduk.

"Biarkan kesalahan itu berlalu. Apa yang harus kita perbuat dengan kecelakaan ini?"

Roan bingung apa yang paman katakan. Ia mengikuti pandangan ke mana ia melihat. Seluruh perpustakaan berubah menjadi ruangan penuh patung kayu. 

Novia menutup mulutnya yang menganga sambil menatap ke tempat Paman Joa terjatuh. Sisi rak itu memunculkan sepercik api yang datang entah dari mana. Paman Joa langsung menghempaskan badannya ke meja baca di sampingnya. 

Namun, meja itu juga memunculkan api begitu saja. Mereka bertiga menjauhkan diri mereka dari api itu. Rak dan meja yang disentuh Paman itu seperti kertas yang terbakar, menghitam kemudian membuat api itu semakin tersebar.

Novia mundur beberapa langkah ke belakang paman, tangannya tidak sengaja ia menyenggol seseorang yang mematung. Ia terkesiap, ternyata tangannya sama halnya seperti Paman Joadian yang tiba-tiba membakar sesuatu. Roan memandangi buku yang tergeletak.

"Paman, bukunya..."

Paman Joa melihat gambar sebuah jam. Itu bukan gambar jam biasa, terdapat jarum yang berdetik seiringan dengan detak jantung mereka.

"Jam perpustakaan ini berhenti bergerak. Gambar jarum jam di buku ini mulai berputar dan arahnya berlawanan."

"Hitungan mundur?" ucap Roan dengan nada waspada.

"Jangan menakutiku, Roan."

"Terdengar aneh, tapi itu mungkin saja," balas Paman Joa.

"Hah? Apa yang harus kita lakukan, paman??"

Paman Joadian tidak menjawabnya. Ia tidak ingin membuat situasi jadi tambah mengkhawatirkan kalau mereka dengar ia bilang tidak tahu. Ia memperhatikan lagi bekas rak yang terbakar api tadi, tidak terjadi apa-apa di matanya, tapi api itu terus merambat.

"Apa buku ini kita bakar saja?" Novia

"Kau bercanda. Aku tidak bisa kembali tanpa buku ini. Dunia ini juga terhenti karena buku ini. Tidak ada api di sini yang bisa membakar buku ini, apalagi api yang berasal dari sumbernya."

Roan berusaha memahami perkataan Paman Joa. Ia menggapai buku yang tergeletak itu.

"Roan!"

Buku itu tidak terbakar. Mereka berdua terdecak kagum dan heran. Api yang tadi muncul kini semakin membesar dan hampir menyentuh mereka. Mereka pun membawa buku itu ke ruangan yang terbuka. 

Mereka tidak bisa menuju keluar perpustakaan itu dikarenakan pintu perpustakaan yang merupakan pintu dorong. Mereka terperangkap di dalam hitungan mundur.

Novia menghela nafas. Namun, detak jantungnya masih tetap kencang. Ia tidak bisa tenang di perangkap tanpa jalan keluar ini. Roan menyentuh bahu Novia dan mengatakan padanya kalau semuanya akan baik-baik saja.

Roan juga mencoba untuk menenangkan pikirannya. Walaupun ia sudah mengatur nafas, pikirannya tetap kacau. Ia membayangkan mengapa buku itu berada di perpustakaan tempat tinggalnya.

Buku itu seharusnya tidak ada di sini. Buku tua, ucap Roan dalam hati. Jika Paman Joadian datang kemari untuk membawa buku ini, ia tidak mungkin meminjamnya untuk sementara waktu. Dan juga buku itu paman bilang sudah usang nan tua.

"Paman, apakah benar buku yang paman cari berupa buku itu saja tanpa sampul?"

"Apa maksudmu 'tanpa sampul'?" Paman Joa menutup buku itu, tapi keadaan masih tetap sama.

"Buku tua seperti ini sudah tersampul, lihat? Buku-buku ini dijaga oleh penjaga perpustakaan istana."

"Lalu, bagaimana buku itu muncul di sini, paman?" tanya Novia dengan semakin cemas.

"Aku minta maaf padamu, nona." Paman menarik napas dalam.

"Saat itu terjadi perang. Aku tak tahu ini waktu yang tepat untuk bercerita, tapi Tuan Putri mengatakan langsung padaku kalau ia menggunakan buku ini untuk menyelesaikan pertikaian dahsyat itu. Lalu..., bagai indah kabar daripada rupa, sihir itu justru tersimpan kekuatan yang membahayakan."

"Sihir dari buku itu menyebabkan malapetaka kedua, ia menyerap segala yang ada di sekelilingnya, termasuk buku itu sendiri," lanjut paman.

"Nasib baik, Tuan Putri selamat, tidak ada yang terluka dan... ah itu semua tidak penting, kita perlu keluar dari sini!" Paman Joa berdiri memeriksa apakah api tadi masih menyebar.

Roan kini memahami beban yang Paman Joa alami. Ia mengambil buku yang diletakkan paman itu. Kukunya tidak sengaja tergores sebuah kancing besi di sampul buku itu.

 "Apa ini?" guman Roan.

Novia yang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya mencoba melihat apa yang Roan lihat. 

"Oh, itu kancing segel buku."

"Katakan lagi."

"Itu kancing dari segel--"

Novia merebut buku itu dari tangan Roan secepat kilat. Lalu, membalik bukunya, terdapat dua kancing segel yang tertempel di buku itu. Novia tergemap, buku itu ternyata memiliki kancing yang terbuka tanpa segel. Ia berpikir kalau mungkin segel itu rusak atau semacamnya.

"Apa kau berpikir apa yang aku pikirkan?" tanya Roan

"Aku tidak bisa telepati," ucap Novia sambil berdiri.

"Paman, paman!" Novia memanggil paman yang sudah hilang dari pandangannya. Namun, ia langsung kembali, dengan berlari.

"Gawat, api itu sudah hampir melahap setengah perpustakaan." Mereka langsung beranjak pergi dari tempat itu.

"Paman, berhenti!" sahut Novia.

Seketika paman langsung menghentikan larinya.

"Apa yang ingin kau bicarakan di situasi genting ini hah?"

"Paman, lihat! Buku ini kehilangan segelnya," ucap Novia.

"Lalu?"

"Mungkin kita bisa mencari di mana segelnya?" lanjut Roan

"Dan?"

"Ini terdengar tidak masuk akal, tapi mungkin saja hal itu bisa menghentikan api ini."

Paman Joadian memegang dagunya, berusaha menangkap apa yang mereka tujukan.

"Kau benar, itu tidak masuk akal. Tapi kita bisa mencobanya."

Roan dan Novia pun bisa sedikit menarik nafas lega. Mereka langsung membagi ruangan perpustakaan yang tersisa untuk mereka cari masing-masing.

Selagi mereka tidak bisa menyentuh apapun. Mereka hanya bisa melirik dengan teliti ke setiap celah-celah di perpustakaan yang luas ini. Roan mencari segel itu di bagian belakang perpustakaan, tempat yang biasanya penuh buku-buku bekas. Ia berpikir petugas perpustakaan menaruhnya di sekitar tempat ini. 

Sedangkan Novia memeriksa di setiap sudut meja pengunjung yang tersebar. Berharap mungkin saja ada seorang yang melihat, lalu menaruhnya di meja. Lalu, Paman Joadian, ia bekerja paling cepat melihat ke segala sudut rak buku di bagian perpustakaan yang masih belum ternyala oleh api.

Roan merasakan keringatnya menetes lebih deras dari sebelumnya, ia seperti lilin yang meleleh. Ia semakin mencair lagi ketika tahu ia tidak menemukan benda itu sama sekali di bagian perpustakaan yang ia amat-amati dari tadi. Ia tahu seharusnya perpustakaan memiliki ruangan khusus peralatan, tapi ruangan itu sudah dilahap oleh si jago merah yang kini mengepungnya. Gawat!

Matanya terganggu oleh benda yang menyinarinya dari bawah rak. Detak jantungnya terdengar lebih keras di telinganya daripada kobaran api yang membisik seperti kertas terbakar. Ia berwalanghati dan juga bertanya-tanya benda apa itu. Apa itu benda yang ia cari saat ini? Bagaimana jika bukan?

Ia terpaksa mengintip ke bawah rak buku itu. Kakinya ia tahan untuk tidak menyentuh ke sembarang tempat agar tidak menambah perkara. Mata kirinya melirik ke balik bayangan rak yang terlalu gelap. 

Benda itu memantulkan sinar, ia tidak tahu apa itu benar segel yang ia cari karena dengan berhentinya waktu, benda yang ia sentuh bisa saja tidak bergerak dan justru kaku di tempatnya dan hanya menyebarkan api. 

Namun, tangannya harus berbuat sesuatu. Ia menjulurkan tangannya dengan hati-hati, ia berharap nafasnya teratur sehingga tangannya hanya menyentuh ke benda itu, bukannya menjamah ke rak buku.

Jarinya bergetar, tangannya juga bergetar, ia tidak mengerti mengapa mereka bergetar. Kini kelima jarinya tepat berada di antara selipan rak buku yang siap menyebarkan api langsung ke mukanya, dan juga sebuah benda yang ia curigai sebuah segel buku yang juga memiliki bagian yang terbuat dari besi bersinar.

Tangannya menyentuh benda itu. Dapat! Ia langsung menarik benda yang ia sentuh itu, ia merasa panas di tangannya. Matanya menipunya. Itu hanyalah sebuah pulpen sialan yang terbuat dari besi dan ia menggelindingkan sebaran api ke sepatu Roan dengan cerobohnya.

"Sialan!!" umpatan Roan terdengar ke seluruh ruangan.

Novia bisa mendengar kekesalan hatinya dari mulut Roan. Ia menjatuhkan wajahnya ke lantai setelah tidak menemukan apapun di seluruh meja perpustakaan. Hanya buku, pulpen, lampu meja, dan buku saja.

Roan berjalan dengan lemas tanpa hasil yang memuaskan, ia bahkan hanya menyebabkan masalah semakin tersebar. Roan dan Novia saling menatap satu sama lain, kerisauan mereka sama.

Paman Joadian menghampiri mereka. Ia tidak melihat apapun di tangan mereka. Buku di tangannya terasa semakin memberatkan bebannya. Ia menjatuhkan kedua lututnya ke lantai, meletakkan buku yang selalu tertutup itu ke lututnya. Ia mengusap sampul buku yang tanpa judul, juga tanpa nama. Tidak perlu nama untuk mencelakai orang, ucapnya.

Kobaran api itu akhirnya mencapai ke beberapa langkah dari kaki Roan. Mereka tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri lagi. Mereka terkepung, di depan pintu keluar perpustakaan yang Roan harap bisa tarik. 

Namun, ia tetap paham api itu akan mencarinya walau ia pergi ke bagian utara dunia sekalipun. Dunia pada akhirnya--di pikiran Roan--hanya museum penuh patung yang pernah hidup bila ia tidak menyelesaikan masalah ini segera.

Paman Joa kehilangan harapan. Ia ingin mengucapkan kalau ia beruntung bisa bertemu mereka berdua, tapi ia tak ingin mereka yang justru kehilangan harapan karenanya.

Mereka hanya berdiri, tak ada rencana lagi di benaknya. Menatap ke ruang kosong di hadapannya. Novia menatap ke jendela di mana ia seharusnya berada. Paman Joadian memandangi bukunya dengan kekecewaan tidak bisa menyelesaikan amanah yang diberikan Tuan Putri padanya.

Roan, ia melamun ke kasir. Ia tidak memiliki masalah apapun dengan petugas kasir perpustakan yang ada di hadapannya itu. Patung petugas yang ia lihat itu hanya melaksanakan tugasnya seperti biasa. Tangan kanannya sibuk merapikan buku-buku yang hendak dipinjam. 

Sedangkan tangan kirinya, tangan kirinya bersembunyi di sudut meja--Roan berpikir tangannya sedang membuka laci. Matanya pun mengarah ke tangan kirinya itu, dengan muka kecewa.

Pikiran Roan menghitam. Ia kehilangan pikirannya sejenak. Roan berlari dengan nekat ke arah kasir perpustakaan. 

"Roan!"  Teriakan Novia tak menghentikan Roan, 

Ron menyentuh ujung meja yang pasti akan terbakar tidak lama, lalu menghenyakkan kakinya melewati meja kasir. Roan melakukan tindakan yang bodoh, tapi matanya tidak membodohinya kali ini. Ia melihat sebuah segel dengan kedua ujung kancing besi sama seperti yang dimiliki buku di tangan Paman Joa. Roan segera merampas segel itu dari laci.

"Paman!"

Paman Joa sudah membaca tangan Roan itu, ia melemparkan segel itu langsung ke tangkapan Paman Joadian, Novia pun juga membantunya. Mereka bertiga berharap itu segel yang persis dengan milik buku itu.

"Persis, ini segelnya."

Roan kembali melompati meja kasir dengan puas hati. Ia tidak memperhatikan kaki dan punggungnya yang sudah tersentuh api. Semoga berhasil.

Klik, telinga Roan merasa senang mendengar suara itu. Terpasang sudah segel itu ke buku yang dipegang Paman Joa. Roan menutup matanya saat api di punggungnya mulai terasa sangat memanggangnya. Ia membukanya lagi, Novia dan Paman Joa berada di posisi seperti pengunjung perpustakaan biasa. Dua orang pengunjung membuka perpustakaan dan berjalan ke dalam perpustakaan seperti biasanya. Ia menarik nafas sangat lega. Novia melirik mata Roan,

"psst... Roan, kau terlihat aneh di sana!" bisik Novia.

Roan baru ingat kalau ia berada di depan kasir, membelakangi petugas perpustakaan. Ia segera berjalan dengan memalukan ke samping Novia dan Paman Joa. Sekarang mereka berjalan mencari bangku untuk duduk.

Novia menemukan bangku yang sepi dan cocok sekali untuk mereka bertiga. Roan mengambil duduk lebih dulu dan sangat cepat hingga ia tak sengaja menabrakkan lututnya ke kaki meja. 

Paman Joa hanya duduk setelah Novia duduk di bangku seberang. Roan menjatuhkan kepalanya ke meja dan menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Nafasnya hampir mengganggu pengunjung yang tenang membaca.

Novia tergelak kecil, "dan akhirnya kita selamat."

Paman Joa juga tersenyum, ia merasa dua kali lebih beruntung karena bertemu mereka.

"Paman, merasa sangat berterima kasih pada kalian. Apa yang bisa paman berikan untuk bantuan kalian tadi?"

"Ah, tidak perlu paman--"

Ucapan Novia terpotong oleh tangan Roan mengangkat satu jari ke langit mengisyaratkan ia menginginkan satu hal.

"Ah, tapi bagaimana paman mengabulkan keinginanku?" tanya Roan.

"Memang apa keinginanmu?"

"Sebuah pena!"

Paman Joadian tergelitik mendengar permintaan Roan yang seperti anak-anak itu. Novia pun menamparkan tangannya ke mukanya sendiri saat mendengar ucapan Roan. Paman memasukkan tangannya ke jas yang ia pakai. Ia langsung memberikannya ke depan mata Roan tanpa memberitahu. 

"Baiklah, ini perpisahan kita. Senang sekali bertemu kalian." 

Paman Joadian akhirnya melambaikan tangan perpisahan kepada mereka berdua.

Novia dan Roan pun melambaikan tangan kecil kepadanya sejalan ia menuju ke kasir dan meminjam buku itu.

"Hey, Roan. Kalau dipikir-pikir, apa Paman Joa tidak kelihatan sedikit kuno dari kita? Maksudku, pria tinggi berjas gelap dan bertopi pandora. Apa itu tidak kuno seperti yang kau pikirkan?"

"Dia terlihat keren, menurutku," jawab Roan sambil terus mengawasi pena pemberian paman. 

Di pena itu terdapat ukiran kecil dengan gaya huruf yang sedikit sulit dibaca. Dari mata Roan yang memincing, tulisan itu berkata

"JOADIAN HITCHCOCK - MILIK KERAJAAN DANDFRALION. Hmh! Nama kerajaan yang aneh."

Nama itu terdengar seperti kerajaan fiksi di telinga Roan, mungkin Paman Joa memberikannya pena yang murahan.

Ia melihat Paman Joa selesai mengurusi peminjaman buku itu, bahkan sepertinya Paman juga tidak akan mengembalikannya. Kerajaan mana yang membiarkan buku terkutuknya tersebar hingga dunia hancur? 

Roan pun mulai tenggelam di dalam imajinasinya soal kebenaran istana yang dikatakan Paman Joadian. Paman berjalan keluar membuka pintu perpustakaan, ia sudah tidak terlihat lagi di pandangan Roan. 

Roan mendengar suara kepakan burung yang cukup mengagetkannya, suara itu berasal dari depan perpustakaan. Kemudian ia mendengar suara yang mirip burung elang dari luar, tepatnya mengarah dari langit. Novia kembali setelah memilih buku-buku.

"Nov, apa kau pernah dengar Kerajaan Dandfralion?"

"Wah, aku baru tahu kau suka membaca buku fiksi. Itu kerajaan megah yang dijaga oleh burung elang."

Roan mengangkat alisnya, ia tidak bisa memercayai apa yang baru saja terjadi, semua serasa sangat singkat. Ia mengangkat pundaknya yang beku, lalu berkata,"wow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun