b. Akad nikah yang dilakukan biasanya tidak mengikat secara hukum, dan pihak laki-laki dan perempuan yang melaksanakan akad nikah sirri tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasangan yang sah di mata hukum Islam atau negara.
c. Kepentingan lain dari pasangan dalam perkawinan tidak dapat dilindungi
d. Jika tidak ada akta nikah, tunjangan seperti KTP, kartu keluarga, paspor, akta kelahiran anak, atau tunjangan politik tidak dapat dilayani.
e. Perkawinan tidak dicatatkan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis istri dan anak, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan kegelisahan.
f.Kontrak pernikahan Siri dapat memengaruhi keturunan, kecerdasan, dan kekayaan.
C. Pernikahan dalam Perspektif Agama, Hukum dan Budaya
1. Perspektif Agama
 Pernikahan merupakan akad kuat yang disebut dengan kata mitsaqan ghalizan. Hal ini juga dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad, yaitu karena:a) cara terjadinya ikatan itu sudah diatur sebelumnya, yaitu dengan perjanjian pranikah dan rukun serta syarat-syarat tertentu.b ) jalan . yang di dalamnya diuraikan atau diputuskannya ikatan tersebut diatur yaitu dengan tata cara talak, kita melihat beberapa kaidah ushuliyyah dan fiqh yaitu maslahah al-murlah: melihat bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan itu mengalami perubahan. zaman dan keadaan yang berbeda dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Perubahan legislatif dapat dilakukan untuk menciptakan manfaat. Para ulama fiqh (Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah dan Hanafiyah) yang menentukan kriteria Mumayyah bagi suatu pihak perkawinan untuk melangsungkan perkawinan dan menimbulkan suatu kepentingan, sebagaimana dijelaskan dalam tujuan hukum perkawinan.
2. Perspektif Hukum
Menurut Kompilasi hukum Islam sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 2 Tahun 1974. pasalnya, menurut hukum Islam, perkawinan adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizhan untuk mengikuti perintah Allah dan pemenuhannya adalah memuja. CPI didasarkan pada manfaat keluarga dan pernikahan. Hal ini sesuai dengan penekanan undang-undang perkawinan, bahwa calon suami istri hendaknya telah matang jiwa dan raganya, sehingga dapat menunaikan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berakhir dengan perceraian serta memperoleh keturunan yang baik dan sehat.
3. Perspektif Budaya