Mohon tunggu...
Muhammad Farrel Rahmat Harahap
Muhammad Farrel Rahmat Harahap Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum, Penulis, dan Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kehadiran Tiongkok di Laut China Selatan: Indonesia dalam Poros Sengketa di Kawasan dan Kedaulatan di Laut Natuna Utara

30 Mei 2024   09:45 Diperbarui: 30 Mei 2024   10:04 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekreariat Kabinet Republik Indonesia

Kondisi Sengketa Laut China Selatan (LCS)

          Sengketa Laut China Selatan antara Indonesia dan Tiongkok bermula dari klaim sepihak Tiongkok yang mengacu kepada Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) di LCS. Nine Dash Line sejak ditetapkanya pada tahun 1952 menurut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan wilayah laut Tiongkok yang berbasis kepada sisi historis masa lampau dan merupakan wilayah penangkapan ikan tradisional Tiongkok. Pada mulanya, kebijakan luar negeri Indonesia dalam menyikapi Nine Dash Line di LSC itu adalah pasif. Akibat dari klaim Tiongkok di LCS tersebut turut pula menyeret beberapa negara lain di Asia Tenggara yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Sengketa Tiongkok dengan beberapa negara tersebut dikarenakan Nine Dash Line Tiongkok turut menyerobot wilayah ZEE beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia mulai aktif menolak klaim Tiongkok di LCS ketika Nine Dash Line itu menyerobot ZEE Indonesia di laut Natuna Utara.

          Sengketa di Laut China Selatan merupakan sengketa yang kompleks, bukan sebatas wilayah perairan akan tetapi juga kepulauan yang berada didalamnya. Kepulauan Spratly , Kepulauan Paracel , Scarborough Shoal , dan berbagai pulau di perbatasan Teluk Tonkin merupakan objek persengketaan di Laut China Selatan. Meski menjadi objek persengketaan, pulau--pulau tersebut berada di bawah pendudukan beberapa negara yang bersengketa. Hingga saat ini, Tiongkok menguasai seluruh pulau di Paracel. Di Spratly, Vietnam menguasai pulau terbanyak dengan total 29 pulau, sedangkan Filipina menguasai delapan pulau, Malaysia dengan 5 pulau, Tiongkok dengan 5 pulau, dan Taiwan dengan 1 pulau.

Raksasa Asia di Kawasan Asia Tenggara

          Abad ke--21 menandai kemunculan Tiongkok modern sebagai satu raksasa Asia yang mendominasi ekonomi dan geopolitik dunia. Sejak negara itu mulai mereformasi ekonominya pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping di dekade 70an dan 80an, ekonomi Tiongkok tumbuh dengan pesat dan kini menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi itu mempengaruhi geopolitik dunia, dengan Tiongkok tampil menggantikan Uni Soviet sebagai rival percaturan politik dunia melawan Amerika Serikat dan sekutunya. Salah satu bukti nyata kesuksesan ekonomi Tiongkok adalah program Belt Road Initiative (BRI), merupakan forum perencaanan dan pembangunan ekonomi dimana Tiongkok sebagai pemrakarsa nya melakukan penanaman modal di beberapa negara dunia dengan tujuan meningkatkan "kemakmuran" bersama. Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara merupakan negara yang ikut bergabung didalam program tersebut.

          Sebagai negara besar dengan penduduk yang menyentuh angka 1 milyar jiwa, Tiongkok didukung dengan Angkatan Bersenjatanya yang kuat telah menciptakan prestise luar biasa dan tumbuh menjadi Global Superpower. Keadaan tersebut barangkali bisa menjelaskan pola agresif politik luar negeri Tiongkok  dalam beberapa tahun belakangan ini, yang disisi lain berhadapan dengan Amerika Serikat dalam memperebutkan pengaruh di dunia.

          Menyikapi persengketaan dengan  Tiongkok di Laut China Selatan, Indonesia perlu bijaksana dengan melakukan pendekatan secara diplomatik. Adalah tidak tepat bagi penulis dan yang diyakini juga adalah pendapat umum, melakukan konfrontasi fisik dengan Tiongkok sedangkan cara-cara penyelesaian secara damai masih tersedia, apalagi di era modern dan keterbukaan saat ini.

          Apakah klaim Tiongkok di LCS yang menyerobot ZEE negara kita merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan? Apakah dengan masuknya nelayan Tiongkok dan didalam beberapa kasus dilindungi oleh aparat berwenang Tiongkok juga merupakan bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Indonesia dan hukum internasional yang berlaku? Dengan tegas penulis akan menjawab, ya. Tiongkok jelas telah melakukan pelanggaran kedaulatan terhadap Indonesia di ZEE Laut Natuna Utara. Secara hukum internasional, posisi ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara adalah legal bila berbasis kepada UNCLOS 1982. Berbanding dengan klaim Tiongkok yang tidak memiliki keabsahan hukum, yang mengacu pada hukum internasional di dalam Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) tahun 2016 di Den Haag telah memutuskan bahwa klaim Tiongkok atas laut China Selatan dan kepulauan diatas nya, sama sekali tidak sah.

          Senjata utama Indonesia dalam menghadapi Tiongkok adalah dengan diplomasi. Dalam hal ini, prinsip politik luar negeri kita adalah bebas dan aktif. Adalah kekeliruan jika Indonesia bersikap pasif dalam persoalan sengketa di LCS. Sesuai dengan amanat konstitusi kita yaitu UUD 1945 didalam pembukaan alinea ke-4, dinyatakan  untuk "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi...". Penulis berpendapat, politik luar negeri kita yang secara aktif semata bukan demi kepada kepentingan Indonesia saja, tetapi perlu untuk terlibat didalam mewujudkan perdamaian dunia secara keseluruhan. Kestabilan kawasan Asia Tenggara dengan sengketa LCS didalamnya merupakan tanggung jawab bersama negara-negara ASEAN, terutamanya Indonesia.

          Penulis berpendapat, penyelesaian sengketa LCS dengan Tiongkok lewat diplomasi akan sukar mencapai tujuannya bila dilakukan secara terpisah oleh negara-negara yang bersengketa. Penyelesaian sengketa sebaiknya dilakukan melalui diplomasi multilateral para negara-negara yang berkonflik, untuk dengan kemudian mendapatkan persetujuan dan keputusan akhir bersama-sama. Penulis mencontohkan, jika penyelesaian secara terpisah dilakukan antara Indonesia dan Tiongkok tanpa mengikut sertakan negara-negara lainnya yang berkonflik, maka bisa saja didalam poin-poin persetujuan anatara Indonesia-Tiongkok yang mengatur batas-batas wilayah di LCS, ternyata malah mendapatkan penolakan dari negara-negara lain. Tentu akan menjadi persoalan yang baru lagi, sehingga perdamaian di LCS tidak akan bisa tercapai. Untuk mendukung opini tersebut, penulis mengambil contoh pada kasus sengketa Laut Mediterania. Turki dan Libya (GNA) menandatangani sebuah perjanjian maritim pada tahun 2019 silam yang menentukan ZEE di sekitaran pulau Kreta, yang kemudian mendapat penolakan keras dari Yunani karena dianggap mengurangi kedaulatan Yunani. Di tahun yang sama, Yunani menandatangani perjanjian maritim dengan Mesir untuk menandingi perjanjian Turki-GNA itu. Dengan demikian persoalan sengketa laut di kawasan Mediterania menjadi berlarut hingga masa kini. 

          Sebab lainnya, bahwa jalur diplomasi harus diutamakan dalam penyelesaian sengketa di LCS adalah karena UNCLOS 1982 akan menguntungkan posisi Indonesia di LCS. Justru keabsahan klaim Tiongkok di LCS tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Penulis mencoba untuk mendalami alasan eksistensi kedaulatan Tiongkok di LCS adalah karena latar belakang historis.Berdasarkan historis, para pelaut dan nelayan Tiongkok dari era Yuan, Ming, dan Qing telah menggunakan LCS sebagai jalur pelayaran dan perdagangan. Indonesia berdasarkan historis Sriwijaya dan Majapahit pun turut meramaikan pelayaran dan perdagangan di LCS pada masa lampau. Apakah Indonesia kemudian menjadi pemilik sah kedaulatan LCS berdasarkan historisnya? . Klaim Indonesia mengenai hak kedaulatan di Laut Natuna Utara hanya menagcu kepada prinsip hukum internasional yang berlaku dan telah diakui oleh dunia, yaitu UNCLOS 1982.

          Agresif dan arogansi politik luar negeri Tiongkok terhadap negara-negara tetangga nya memang mengkhawatirkan. Sebagai raksasa Asia dengan prestise ekonomi dan militernya, negara itu telah mengancam kedaulatan suatu negara yang berdampak merusak perdamaian dunia. Menghadapi  gelagat Raksasa Tiongkok di LCS, negara-negara ASEAN termasuk indonesia tidak dapat berjalan sendiri untuk menghadapi Raksasa itu.   Untuk menghadapi Tiongkok secara bersama-sama adalah dengan melalui ASEAN sebagai wadah kerjamasama di kawasan. ASEAN yang tujuan mulanya adalah demi mewujudkan kestabilan dan kedamaian di kawasan, sudah seharusnya  menjadi wadah yang aktif mencari solusi bersama, untuk menyeselesaikan sengketa di LCS. Ancaman konflik yang meluas di Laut China Selatan adalah ancaman yang nyata. Sebab Tiongkok telah menyiagakan pangkalan militernya di LCS. Untuk mengimbangi prestise militer dan ekonomi Tiongkok yang besar, negara-negara ASEAN harus bersatu sebagai satu-kesatuan dan menjaga perdamaian di kawasan, yang jika di masa depan eskalasi konflik dengan Tiongkok meluas sehingga terjadinya pergesekan dan konfrontasi langsung dengan Tiongkok di LCS, maka negara-negara ASEAN dapat saling membantu untuk bersama menjaga perdamaian di kawasan.       

Bagaimana seharusnya posisi Indonesia di ASEAN dalam menghadapi Tiongkok di LCS?. Sebagai negara terbesar dan penduduk terbanyak di Asia Tenggara, penulis beranggapan bahwa Indonesia sepantasnya berada di kapasitas yang tepat untuk menyikapi geopolitik kawasan. Hubungan diplomasi memang telah berdasarkan  kepada prinsip kesetaraan dan persamaan. Sebagaimana prinsip one man one vote didalam demokrasi, one state one vote adalah prinsip utama didalam menjalin hubungan diplomasi dan politik luar negeri . Artinya adalah, suatu negara dalam  forum manapun adalah berkedudukan setara dan berdaulat. Akan tetapi,  geopolitik tetap tidak dapat mengabaikan  prestise suatu negara didalam pengambilan  keputusan dalam forum kerjasama. Prestise ekonomi, militer, wilayah, penduduk, sangat penting didalam geopolitik dunia. Sebagaimana Tiongkok dengan prestise ekonominya telah mempengaruhi dunia, bukankah seharusnya Indonesia sebagai ekonomi terbesar dan penduduk terbanyak di Asia Tenggara dapat memanfaatkan prestisenya di kawasan dan ASEAN? Indonesia bukanlah sebuah negara kecil dengan penduduknya hanya sekitar 5 juta jiwa, Indonesia adalah negara besar dan dalam kapasitas itu sudah seharusnya tampil terdepan demi membela kepentingan kawasan dan ASEAN. Penulis mengutip istilah populer dari seorang negarawan, bahwa kedudukan Indonesia di Asia Tenggara adalah "Yang Utama di Antara Sederajat". Setiap negara adalah sama derajat nya, tanpa kurangnya kedaulatan apapun. Akan tetapi suatu negara dapat lebih di utamakan pendapatnya dalam suatu forum berdasarkan prestise yang dimiliki oleh negara itu. Jadi, Dalam usaha penyelesaian sengketa LCS secara damai, Indonesia dengan prestise dan kedudukannya sebagai negara besar seharusnya berperan aktif mengangkat isu-isu aktual mengenai kawasan  Asia Tenggara, demi meredakan ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan.

Dengan memanfaatkan forum kerjasama internasional, dengan Indonesia bergabung di dalamnya adalah senjata utama dalam menyelesaikan konflik dengan negara lain. Karena zaman telah berubah, senjata bukan lagi yang terdepan dalam memperjuangkan kebebasan, akan tetapi melalui diplomasi. Dengan kekuatan diplomasi, negara-negara setara. Dengan kekuatan senjata, negara-negara tunduk.

Nasionalisme Warga Negara

Source: National Earth, Esri, Global Security
Source: National Earth, Esri, Global Security

          Pelanggaran kedaulatan telah terjadi di Laut Natuna Utara. Lantas bagaimana sikap kita sebagai warga negara dalam menyikapi persoalan ini?. Suatu negara menjadi kuat karena rakyatnya. Memahami sengketa di LCS perlu dengan bijaksana dan logis. Sebab persoalan ini bukan persoalan sederhana, karena menyangkut masalah antar negara-negara. Sengketa di LCS adalah kompleks dan rumit, telah berlangsung sejak lama dan hingga sekarang belum menemukan titik terang penyelesaian. Sebagai warga negara, perasaan untuk membela kedaulatan negara dari ancaman asing merupakan wujud nasionalisme warga negara terhadap negaranya. Dan kesadaran bela negara adalah penting, karena eksistensi suatu negara di dalam arus sejarah adalah ditentukan dari kesatuan tekad dan semangat dari warga negara untuk mempertahankan tanah airnya.

Penulis mengambil contoh dalam peristiwa bersejarah dunia. Bagaimana Finlandia dapat melawan dan memberikan kerugian besar pada "Tentara Merah" Stalin didalam perang Musim Dingin tahun 1940, ataupun Israel yang mampu bertahan dan menang menghadapi koalisi negara Arab dalam perang tahun 1948. Alasan utama dalam pemahaman penulis, adalah dikarenakan nasionalisme dari warga negaranya untuk membela tanah air. Orang Finlandia berjuang demi kebebasan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya dari Komunis Soviet, orang-orang Israel berjuang mempertahankan esksistensi negaranya dan didorong oleh prinsip-prinsip yang mereka yakini.

Nasionalisme kita sebagai warga negara  didalam menyikapi pelanggaran kedaulatan di Laut Natuna Utara, adalah sikap yang akan menentukan eksistensi negara Indonesia kedepannya. Kalau kita sebagai warga negara acuh, maka eksistensi negara Indonesia  di masa yang akan datang akan kehilangan pondasi untuk bertahan. Kepedulian kita sebagai warga negara, dengan generasinya disaat ini berjuang demi menjaga kedaulatan tanah air, kita akan dapat mewariskan pondasi yang kuat kepada generasi yang akan datang. Sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan berdaulat atas bumi dan lautnya.

Nasionalisme adalah baik, selama tidak berlebihan. Fasisme, Rasisme, Paranoia bisa ada karena fanatiknya seorang ultranasionalis. Dan kalau sudah demikian, dunia akan kehilangan kedamaian, kembali ke masa dimana negara-negara tunduk di bawah senjata, dan bangsa-bangsa binasa dengan permainan diplomasi nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun