Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Kebebasan: Kemutlakan, Keterbatasan, dan Eksploitasi Kebebasan

10 Maret 2022   08:46 Diperbarui: 10 Maret 2022   15:05 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya, begitu kemampuan saya untuk menentukan diri saya sendiri sebagai tanda bahwa saya mahluk eksistensial dicabut, hakikatnya saya bukanlah lagi manusia, melainkan hanya sebongkah batu yang merupakan benda mati yang tak berakal budi dan tak mampu menentukan.

Contoh dari kebebasan eksistensial adalah bahwa saya bebas untuk menentukan mau diapakan hidup saya ini, menentukan identitas diri saya sebagai apa di dunia ini, menentukan mau makan apa saya esok hari, mau berteman dengan siapa saya didalam hidup ini, dan seterusnya. Dan menurut Franz-Magnis Suseno, "Maka kebebasan eksistensial tidak hanya berarti bahwa saya menentukan tindakan saya, tapi tindakan saya menentukan diri saya sendiri." (Suseno 1987:26).

Jadi pada intinya, kemampuan kita untuk memutuskan secara rohani dan jasmani bersifat mutlak, tidak dapat dicabut, dan apabila dia dicabut dan dibekukan secara fungsional, maka hakikatnya kita bukanlah lagi manusia yang berdaya untuk memutuskan dan status kita berubah menjadi sekedar benda mati yang mengambang mengikut aliran alam semesta, sehingga, kebebasan eksistensial bersifat universal karena setiap manusia di dunia ini memiliki daya tersebut tanpa terkecuali, bahkan orang yang memiliki disabilitas dalam fisik pun tetap memiliki kebebasan rohani untuk berpikir bebas tanpa tekanan determinatif sama sekali. Begitulah, kebebasan eksistensial  bagaikan mahkota intan bagi manusia, anugerah Tuhan yang maha kuasa.

Tentang kebebasan sosial

Akan tetapi muncul permasalahan, bahwa faktanya adalah kita hidup dalam dunia yang terbatas sumber dayanya, sehingga setiap manusia dengan kebebasan eksistensialnya yang mutlak tidak bisa serampangan menggunakan sumber daya yang terbatas ini demi kepentingan dirinya sendiri, karena diri kita sebagai manusia yang eksistensial tidak bisa dipisahkan dari keterkaitan kita sebagai subyek yang berakal dengan manusia lain pula yang berakal, sehingga atas dasar inilah masyarakat terbentuk, sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia sejatinya adalah zoon politicon (hewan yang bermasyarakat). Oleh karena itu, mesti dirumuskan kesepakatan bersama yang berpatokan pada nilai-nilai moral demi tercapainya kemaslahatan bersama, dan kesepakatan tersebut membatasi ruang lingkup kebebasan sosial kita demi tercapainya kemaslahatan tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan sosial kita pada hakikatnya terbatas, karena didalam kehidupan ini kita hidup dengan manusia lain yang memiliki porsi kebebasan eksistensial yang sama dengan kita dan bahwa sumber daya di dunia ini terbatas, sehingga terciptalah kerangka aturan sosial berdasarkan konsensus bersama yang bertujuan untuk menemukan titik kesepakatan bersama yang mengatur kehidupan manusia dalam konteks sosial, sehingga porsi kebebasan saya tidak mencederai hak anda sebagai manusia, dan porsi kebebasan saya tidak menciptakan kerusakan yang berdampak bagi manusia lain atau menjatuhkan harkat dan martabat manusia lain.

Misalnya, katakanlah saya menggunakan transportasi umum untuk berangkat ke kampus, saya menggendong ransel saya yang berat dan menginginkan ransel tersebut untuk diletakkan di bangku samping saya dibandingkan saya pangku, akan tetapi, saya mesti memiliki kesadaran bahwa saya berada di sarana publik, sehingga siapapun yang ada di sarana ini memiliki hak untuk duduk yang sama sebagaimana saya berhak untuk duduk.

Saya bisa saja tidak memedulikan hak orang lain untuk duduk dan meletakkan ransel saya disamping saya dan membiarkan orang lain berdiri, akan tetapi konsekuensi yang saya terima adalah fakta bahwa kebebasan saya untuk duduk nyaman mencederai hak orang lain untuk duduk nyaman pula, saya menjadi sangat self-centered atau egois, dan saya akan distempel sebagai anggota masyarakat yang tidak peka terhadap anggota masyarakat yang lainnya.

Saya beri contoh lain, anggaplah saya sedang mengantre untuk mendapatkan giliran nasi bungkus gratis dari pihak masjid dalam kondisi sangat lapar, akan tetapi, ada satu orang yang tidak mau mengantre dengan alasan bahwa ia sangat lapar pula.

Hal yang luput dari kesadaran orang tersebut adalah bahwa orang tersebut tidak memiliki cukup kepekaan nurani untuk merasakan bahwa saya hendak menerima jatah makanan gratis yang diperuntukkan bukan hanya untuknya melainkan untuk orang lain pula, sehingga, orang yang mengantre tersebut mestilah sama laparnya dengan saya, akan tetapi demi terciptanya ketertiban, mereka rela mengantre sehingga siapapun yang lebih dahulu masuk kedalam barisan antre berhak mendapatkan jatah makanan lebih dahulu, sehingga saya pun turut sebagai orang yang mesti mengantre demi mendapatkan jatah makanan saya karena saya pun termasuk dari bagian orang yang lapar sebagaimana orang lain dalam antrean tersebut.

Sisi lain kebebasan sosial 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun