Hal ini tercermin didalam pergerakan yang menolak rapid test dan swab test di Bali beberapa waktu lalu, diketahui pula bahwa didalam pergerakan tersebut, massa tidak menerapkan protokol kesehatan. Kejadian yang sama juga terjadi di negara-negara di Eropa, dikutip dari bbc.com, di Austria , protes besar-besaran digerakkan oleh kelompok anti-vaccination, People, Freedom, Fundamental Rights party (MFG), mereka menghubung-hubungan peraturan pembatasan di masa pandemi dengan peraturan Nazi dengan menggunakan kata-kata seperti "apartheid" dan "diktatorisme".
Menurut Ciaran O'Connor, peneliti di  Institute for Strategic Dialogue, mengatakan kepada tim BBC bahwa bahaya dari pergerakan semacam itu adalah bahwa mereka merepresentasikan jalan yang potensial menuju radikalisme ataupun esktrimisme, karena mereka mendasari argumen mereka dengan disinformasi, klaim menyesatkan, dan teori konspirasi.
Maka sesulit apapun prosesnya, upaya meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia adalah hal yang mutlak perlu, karena demokrasi yang sehat pasti menciptakan ruang publik dengan informasi yang sehat pula, ruang publik yang sehat akan menciptakan ruang publik yang sehat, sebagaimana perkataan "badan yang sehat, jauh dari kesakitan dan jauh dari hal yang mengundang kesakitan."
Upaya meningkatkan kualitas literasi masyarakat, apa saja yang dibutuhkan?
Hal yang paling fundamental untuk dijadikan kebiasaan bagi masyarakat umum adalah kemampuan membedah, mengolah, dan menyeleksi informasi yang beredar, memang, tidak perlu menjadi sekelas pakar untuk bisa membedakan informasi-informasi yang palsu dan rawan kesesatan, akan tetapi, kemampuan ini pada dasarnya bisa dipelajari dan mesti dipelajari.Â
Literasi tidak boleh dipahami semata-mata sebagai suatu aktivitas yang akademik-ekslusif dan sebagai kegiatan yang sifatnya "duduk dan membaca" saja, kemampuan berpikir logis, memiliki pisau analisis yang tajam, yang disertai khasanah ilmu pengetahuan yang luaslah yang sesungguhnya menjadi kunci utama penyuksesan program pembumian literasi dan upaya meng-counter-attack informasi-informasi menyesatkan.
Anak-anak muda pengguna media sosial memiliki peran yang sangat besar sebagai "gerbang filtrasi" antara informasi yang sehat dengan informasi yang sesat, pasalnya berdasarkan riset yang dilakukan oleh agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah "melek" alias aktif menggunakan media sosial pada Januari 2021, dan dominasi penggunaan media sosial terdapat di kalangan gen-Y dan gen-Z yang ber-rentang usia 25-34 tahun. (Kompas.com).
Dan yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa kita semua mesti belajar dan mengajarkan pada generasi dibawah kita akan pentingnya menghormati kepakaran, ajari anak-anak kita sejak dini tentang kaidah-kaidah beropini yang baik, ajari juga kepada anak-anak kita tentang makna kepakaran, kedudukan kepakaran, peran kepakaran, dan berbagai macam kaidah dasar lainnya, ini akan sangat menyumbang kedepannya pada upaya menyehatkan demokrasi kita, pelan tapi pasti.Â
"Menuntut ilmu adalah takwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-ulang ilmu adalah dzikir. Mencari ilmu adalah jihad."Â
-Imam Al-Ghazali-
SUMBER-SUMBER:Â