Mohon tunggu...
muhammad David
muhammad David Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Khanza

21 Mei 2016   21:29 Diperbarui: 21 Mei 2016   23:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Khanza, istriku itu mengangguk tersenyum mengangguk takzim. Ia dekap tanganku seakan tak biarkan aku beranjak. Ya, sebenarnya tak didekappun aku tak akan pergi. Karena tak ada tempat yang akan kutuju.

Dan aku pun mengerti. Seperti malam-malam sebelumnya, ada yang hendak ia ceritakan padaku. Sebelum larut dalam mimpi masing-masing. Dia masih terdiam beberapa saat. Menatap jemariku yang digenggamnya. Terasa gemetarnya. Kadang menatap wajahku.

Jelang beberapa menit, dia masih berdiam. Tak tahu aku maksud diam itu. Ku pancinglah agar ia bicara.

"Walaupun kita diikat dalam satu ikrar sekarang, sayang. Namun dalam mimpi tidur tak ada jembatan tempat kita saling cerita. Maka berceritalah malam ini sebelum tidur. Kandamu tak akan tidur jika dinda belum cerita" Tuturku merayunya. Ia menggamit pinggangku melihatkan manjanya. Senyumnya semakin jelas. Aku hendak mengelak tapi tak bisa. Tangannya lekas memegang tanganku. Tertawalah kami berdua.

“Dinda takut bercerita, Kanda?” ucapnya setelah diam beberapa saat kembali. Murung nampak di wajahnya. Maka balas aku mengambil tangannya ke pangkuanku. Kuyakinkan ia agar tak takut bercerita padaku. Lama memang agar ia bisa bercerita lepas.

“Sayang, bukankah sudah ada janji kita. Tak ada rahasia dan dusta diantara kita. Ceitakanlah apa yang ingin kamu ceritakan padaku. Kandapun akan selalu bercerita padamu.” Ia menghadap kembali padaku bercerita. Ia hendak menitikkan air matanya dalam cerita itu. Diceritakannyalah bahwa ayahnya dulu tak inginkan dia. Pastilah perempuan tak akan bisa berbuat apa-apa untuk keluarga.

“Dinda dianggap sampah saja oleh ayah. Tak akan sama seperti Bang Andi, Faruq serta si Adek. Mereka dapatlah kerja sehabis pendidikannya. Sementara dinda terpaut karena dinda perempan….”

Dihentikannya cerita dengan tangisnya. Sebetulnya cerita itu belumlah selesai. Ku hapsukan air  matanya dengan lembut. Maka berceritalah ia kembali.

“Dinda diatur dengan ketat. Tak boleh pergi kemana-mana tanpa izin ayah. Jikalau dibolehkan pergi pun tak boleh jauh-jauh. Mesti ada pengawalan dari abang-abang atau adek. Terkekang sekali dinda ini.”

“…”

“Dengan perasaan pahit, dinda teruskanlah pendidikan ini dengan kasih saying yang berat sebelah dari ayah. Hanyalah ibu yang selalu nasihati dinda agar selalu sabar. Tak ingin dia putrid satu-satunya ini patah semangat dan bersedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun