Begitu nasihat bapak kepadaku. Sebetulnya, perumpamaan itu telah aku mengerti jauh semasa mudaku. Pernah kalimat itu populer dalam sebuah nasyid Maidany nan liriknya hafal olehku sampai sekarang. Beruntung bapak ingatkan jua sekarang.
Maka telah sampailah ujungnya kisah itu. Beberapa masa lagi akan berikrar aku untuknya. Di hadapan orangtuanya juga orangtuaku. Bapakku satu-satunya. Di hadapan abang-abang dan adiknya. Serta turut pula hadir beberapa temanku dan temannya menjadi uandangan sebagai saksi ikrarku.
Bergetarlah bibirku saat sebutkan namanya dalam dalam ikrar itu. Mungkin ayahnya rasakanlah bagaimana bergetar pula tangaku bersalam dengannya.
“Saya terima nikah dan kawinnya…Khanza Annasya Jehan binti Sofyan Ma’ruf dengan maharnya yang tersebut.. tunai.” Ucapku. Setelah itu gemuruh perkataan ‘sah’ dari mulut para saksi. Selesainya Al-fatiha dan doa yang dimunajatkan bersama, maka kehidupan baru akan dimulai.
Putuslah setengah kewajiban laki-laki tua itu pada putrinya. Adalah aku yang akan menyambungnya. Aku yang akan menghapuskan air matanya kala sedih. Memompa semangat, nasihat dan motivasi dalam karirnya. Janji sehidup sematiku adalah untuknya.
***
Sebuah malam telah datang kembali menghampiri. Berbilang dua bulan sudah masa beruda ku dengannya. Istriku tercinta. Di kamar itu aku dan Khanza bercerita kembali. Syahdu ku dengar suara lembutnya. Malam itulah ia membuka kembali lembaran using kisah hidupnya. Diceritakannya padaku apa yang pernah diceritakan ibundanya kepadanya. Konon waktu remajanya. Tentang dirinya dimata ayah serta kerabatnya.
“Kanda, masih ingat tidak dirimu kalimat yang ayah ucapkan hendak kita menikah?”
“Tentu… Ada banyak kalimat yang kanda ingat. Kalimat manakah yang dinda maksudkan?”
“Beliau sampaikanlah sesalnya pada dinda. Sesal telah menanggapku tiada pada keluarga kecilnya.”
“Ooo. Kalimat itu, kandamu masih ingat saying. Pada kalimat itu kanda lihat ayah menagis sejadi-jadinya, bukan?”