Dalam beberapa tahun terakhir, tren thrifting atau berbelanja pakaian bekas semakin populer, terutama di kalangan generasi muda. Aktivitas ini bukan lagi sekadar berburu barang murah, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup yang mengutamakan kreativitas dan kepedulian terhadap lingkungan.
Tidak hanya menawarkan alternatif ekonomis untuk tampil stylish, thrifting juga memberikan kesempatan untuk menemukan pakaian unik yang tidak tersedia di toko-toko besar.
Didukung oleh perkembangan media sosial, fenomena ini semakin menjadi sorotan. Tagar seperti #ThriftHaul dan #SecondhandStyle ramai digunakan oleh warganet untuk memamerkan hasil buruan mereka.
Selain itu, meningkatnya kesadaran akan dampak buruk industri fesyen cepat (fast fashion) terhadap lingkungan menjadikan thrifting sebagai pilihan yang lebih bijak dan berkelanjutan.
Ada beberapa faktor yang mendorong meningkatnya minat terhadap pakaian secondhand. Salah satu yang utama adalah kesadaran masyarakat akan isu keberlanjutan dan dampak buruk industri fast fashion terhadap lingkungan.
Produksi pakaian secara masif menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar, mencemari lingkungan dengan penggunaan bahan kimia, serta menyumbang emisi karbon yang signifikan. Dengan memilih pakaian secondhand, masyarakat berkontribusi pada pengurangan limbah dan memperpanjang umur pakaian yang sudah ada.
Faktor lain adalah harga yang lebih terjangkau. Di tengah naiknya biaya hidup, thrifting menawarkan solusi ekonomis bagi mereka yang ingin tetap tampil gaya tanpa harus menguras dompet. Banyak barang secondhand yang masih dalam kondisi sangat baik, bahkan beberapa di antaranya dari merek ternama dengan kualitas premium.
Selain itu, dorongan untuk tampil unik dan berbeda juga menjadi alasan utama. Pakaian secondhand sering kali menawarkan desain yang langka, mulai dari gaya vintage hingga potongan khas yang sulit ditemukan di pasaran. Hal ini memberikan kesempatan bagi pembeli untuk mengekspresikan kepribadian mereka melalui pilihan busana yang tidak mainstream.
Peran Media Sosial dalam Tren Thrifting
Media sosial, khususnya Instagram dan TikTok, memainkan peran besar dalam mempopulerkan tren ini. Berbagai tagar seperti #ThriftHaul, #VintageFinds, dan #SecondhandStyle menjadi wadah bagi pengguna untuk memamerkan hasil belanja mereka.
Melalui video pendek dan foto yang menarik, mereka menampilkan proses berburu pakaian thrift, transformasi barang bekas menjadi outfit keren, hingga ide mix-and-match yang kreatif. Hal ini membuat thrifting terlihat menyenangkan dan mudah diakses oleh semua orang.
TikTok, dengan format video singkatnya, menjadi platform favorit bagi kreator untuk menunjukkan “sebelum dan sesudah” mereka mengolah pakaian secondhand. Tren ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan edukasi dan inspirasi kepada audiens untuk mencoba hal serupa.
Kreator konten juga sering berbagi tips memilih barang berkualitas, seperti cara mengecek kain, mencari merek premium, hingga trik menawar harga di pasar loak. Sementara itu, Instagram menjadi galeri visual untuk memamerkan gaya pribadi yang terbentuk dari hasil thrifting.
Akun-akun khusus yang menjual pakaian bekas curated juga marak bermunculan, menawarkan produk-produk yang sudah dipilih secara selektif dengan estetika tertentu. Ini membuat thrifting tidak lagi identik dengan barang usang, tetapi justru menjadi simbol gaya hidup yang modis dan modern.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan
Di Indonesia, thrifting juga memiliki dampak positif bagi perekonomian lokal. Banyak pelaku UMKM dan pedagang kecil memanfaatkan tren ini untuk membuka usaha, baik di pasar tradisional, bazar, maupun melalui platform digital.
Toko-toko thrift lokal kini bermunculan, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di daerah, menawarkan berbagai pilihan pakaian bekas dengan harga terjangkau. Para penjual ini tidak hanya berperan sebagai penyedia barang, tetapi juga sebagai kurator fesyen.
Mereka sering kali memilih pakaian dengan cermat, memperbaiki jika diperlukan, dan memasarkan produk mereka dengan sentuhan kreatif untuk menarik pembeli. Proses ini membuka peluang lapangan kerja baru, mulai dari penyortiran barang hingga pemasaran, yang semuanya mendukung roda perekonomian lokal.
Selain itu, bazar atau event thrifting yang sering diadakan di berbagai kota juga menjadi sarana bagi para pelaku usaha kecil untuk bertemu langsung dengan pelanggan. Event semacam ini tidak hanya menggerakkan perekonomian tetapi juga memperkuat rasa komunitas di antara pembeli dan penjual.
Pada akhirnya, viralnya tren thrifting mencerminkan perubahan positif dalam cara masyarakat memandang fesyen. Tidak lagi sekadar mengikuti tren pakaian baru, thrifting mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam memilih gaya hidup, memadukan kebutuhan estetika dengan kesadaran lingkungan.
Tren ini menunjukkan bahwa fesyen tidak harus mahal atau baru untuk terlihat menarik, melainkan bisa didapatkan dari barang-barang yang memiliki nilai sejarah dan keunikan tersendiri. Thrifting menjadi bukti bahwa keberlanjutan dan kreativitas dapat berjalan beriringan.
Dengan membeli pakaian bekas, masyarakat tidak hanya mengurangi limbah tekstil, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan dampak buruk industri mode terhadap lingkungan. Di sisi lain, popularitas thrifting telah membuka peluang ekonomi baru bagi para pelaku usaha kecil, memberikan mereka panggung untuk berkembang di pasar lokal maupun digital.
Ke depan, tren thrifting dapat menjadi simbol pergeseran budaya menuju fesyen yang lebih ramah lingkungan, inklusif, dan kreatif. Dengan terus meningkatnya minat masyarakat, khususnya generasi muda, thrifting bukan hanya sebuah tren sementara, tetapi juga langkah nyata menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI