Kita semua pernah mendengar istilah soulmate, sebuah konsep bahwa di dunia ini ada satu orang yang diciptakan khusus untuk melengkapi kita. Ide ini seolah-olah menawarkan janji bahwa cinta sejati bukan hanya mungkin, tetapi juga pasti jika kita cukup beruntung untuk menemukannya.
Bagi sebagian orang, soulmate adalah simbol harapan, pengingat bahwa di tengah keramaian dunia, ada seseorang yang benar-benar memahami dan menerima kita apa adanya. Namun, bagi yang lain, konsep ini justru terasa seperti tekanan, bagaimana jika soulmate kita tak pernah ditemukan? Atau lebih rumit lagi, bagaimana jika kita mencintai seseorang yang ternyata bukan “soulmate” kita?
Di sinilah keajaiban dan tantangan dari gagasan soulmate bersinggungan. Apakah benar bahwa di antara miliaran manusia, hanya ada satu orang yang mampu menyempurnakan kita? Atau, apakah soulmate hanyalah mitos romantis yang kita ciptakan untuk mengisi kekosongan emosi dan ekspektasi?
Soulmate dalam Perspektif Romantis
Dalam konsep romantis, soulmate digambarkan sebagai pasangan sempurna yang memahami kita tanpa kata, menyempurnakan kekurangan kita, dan membuat hidup terasa utuh. Sosok ini sering kali diidealkan sebagai orang yang sudah "ditakdirkan" untuk kita, sehingga hubungan dengannya akan terasa mudah, penuh keajaiban, dan bebas dari konflik besar.
Gagasan ini membuat banyak orang percaya bahwa menemukan soulmate adalah kunci kebahagiaan, seolah-olah hidup tanpa mereka akan terasa hampa. Namun, keindahan konsep ini juga membawa risiko. Banyak yang terjebak dalam bayangan ideal soulmate, berharap hubungan akan berjalan sempurna tanpa usaha.
Ketika kenyataan tak seindah ekspektasi, beberapa orang mulai meragukan pasangan mereka, berpikir bahwa mereka belum menemukan "orang yang tepat." Akibatnya, gagasan soulmate tak jarang menciptakan frustrasi dan kekecewaan, bukannya kebahagiaan.
Pendekatan Ilmiah
Psikologi modern cenderung skeptis terhadap gagasan soulmate. Para ahli berpendapat bahwa keyakinan pada "pasangan sempurna" justru bisa menjadi jebakan dalam hubungan.
Ketika seseorang percaya bahwa soulmate adalah satu-satunya orang yang akan membuat hubungan berjalan mulus tanpa konflik, mereka cenderung merasa kecewa saat menghadapi masalah nyata. Padahal, semua hubungan, bahkan yang paling harmonis sekalipun, membutuhkan usaha, kompromi, dan kemampuan untuk tumbuh bersama.
Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang percaya pada gagasan soulmate lebih rentan merasa tidak puas ketika hubungan mereka tidak memenuhi ekspektasi ideal. Sebaliknya, pasangan yang melihat hubungan sebagai sesuatu yang dapat dibangun melalui kerja keras lebih cenderung bertahan dan menemukan kebahagiaan, meskipun menghadapi tantangan.
Konsep soulmate juga sering mengabaikan fakta bahwa manusia berubah seiring waktu. Psikolog menekankan bahwa kompatibilitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang terus berkembang melalui pengalaman bersama. Alih-alih mencari pasangan sempurna, banyak ahli menyarankan untuk fokus pada kualitas-kualitas seperti komunikasi yang baik, empati, dan kesediaan untuk saling mendukung.
Soulmate dalam Perspektif Filosofis
Dari sudut pandang filosofis, gagasan soulmate dapat ditelusuri kembali ke era Yunani kuno, terutama melalui tulisan-tulisan Plato. Dalam dialog Symposium, Plato menggambarkan sebuah mitos tentang asal-usul manusia yang menarik.
Menurutnya, manusia pada awalnya adalah makhluk bulat dengan dua wajah, empat lengan, dan empat kaki. Mereka begitu kuat sehingga para dewa merasa terancam dan memutuskan untuk membelah mereka menjadi dua. Sejak saat itu, manusia terus mencari "setengah" lainnya untuk merasa utuh kembali.
Mitos ini mencerminkan hasrat mendalam manusia untuk menemukan koneksi yang sempurna seseorang yang mampu melengkapi kekosongan dalam diri kita. Namun, dari sudut pandang filosofis, mitos ini lebih berbicara tentang kebutuhan manusia akan hubungan, keintiman, dan rasa kebersamaan daripada sekadar mencari pasangan ideal. Filosofi ini juga mengingatkan bahwa pencarian soulmate sebenarnya adalah refleksi dari perjalanan untuk memahami dan menerima diri sendiri.
Selain itu, filsuf modern seperti Friedrich Nietzsche mengkritik gagasan soulmate sebagai fantasi romantis yang dapat menghambat pertumbuhan individu. Nietzsche percaya bahwa cinta sejati tidak hanya soal menemukan orang yang sempurna, tetapi juga tentang mengatasi konflik, menerima kekurangan, dan mendukung perjalanan satu sama lain menuju keutuhan.
Soulmate dalam Kehidupan Nyata
Banyak orang merasa telah menemukan soulmate mereka, tetapi sering kali konsep ini tidak didasarkan pada takdir, melainkan pada kompatibilitas, pengalaman bersama, dan cinta yang tumbuh dari waktu ke waktu. Hubungan yang tampak seperti "soulmate" sering kali adalah hasil dari usaha kedua belah pihak untuk memahami, menerima, dan mendukung satu sama lain, bukan karena mereka secara ajaib cocok sejak awal.
Dalam hubungan yang sehat, pasangan belajar untuk menghargai perbedaan mereka dan menemukan cara untuk bekerja sama menghadapi tantangan. Kebiasaan, nilai, dan tujuan hidup yang sejalan sering kali lebih penting daripada gagasan abstrak tentang takdir.
Misalnya, pasangan yang tumbuh bersama melalui pengalaman sulit, seperti menghadapi kesulitan finansial, kehilangan, atau tantangan hidup lainnya, cenderung memiliki ikatan yang lebih kuat dibandingkan hubungan yang hanya bergantung pada daya tarik awal.
Selain itu, konsep soulmate juga berubah dengan waktu dan pengalaman. Apa yang kita butuhkan dalam pasangan pada usia muda mungkin berbeda dari apa yang kita cari di kemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa soulmate bukanlah sosok statis yang "ditakdirkan" sejak awal, melainkan seseorang yang kita pilih dan bentuk bersama melalui hubungan yang penuh makna.
Jadi, Apakah Soulmate Itu Nyata?
Jawabannya bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan soulmate. Jika soulmate diartikan sebagai seseorang yang secara takdir telah ditentukan untuk menjadi pasangan hidup kita, maka gagasan ini lebih mirip mitos romantis daripada kenyataan.
Namun, jika soulmate dipahami sebagai seseorang yang kita temukan, pilih, dan bangun hubungan dengannya melalui cinta, usaha, dan komitmen, maka konsep ini menjadi jauh lebih realistis dan relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Soulmate mungkin bukan tentang takdir, tetapi tentang kompatibilitas yang tercipta dari pengalaman bersama. Ini bisa berarti pasangan yang saling melengkapi kepribadian, berbagi nilai-nilai hidup, dan bersedia bekerja keras untuk mempertahankan hubungan, terlepas dari perbedaan dan tantangan yang ada. Dalam pengertian ini, soulmate adalah hasil dari pilihan sadar dan proses panjang untuk menciptakan hubungan yang bermakna.
Banyak pasangan yang telah menjalani hubungan panjang menyatakan bahwa cinta mereka bukanlah sesuatu yang "jatuh dari langit," tetapi tumbuh melalui waktu, kepercayaan, dan pengertian yang terus berkembang.
Dalam perjalanan ini, mereka mungkin merasa bahwa pasangan mereka adalah soulmate, bukan karena takdir, tetapi karena dedikasi yang mereka curahkan untuk mencintai dan menghargai satu sama lain.
Jadi, apakah soulmate itu nyata atau hanya mitos romantis? Mungkin keduanya. Realitas cinta tidak selalu seindah kisah dalam dongeng, tetapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah hubungan sejati ditemukan.
Soulmate bukanlah seseorang yang sempurna, melainkan seseorang yang mau tumbuh bersama kita, mencintai kita dalam kelemahan, dan memilih kita setiap hari meski dunia menawarkan berbagai kemungkinan lain. Pada akhirnya, soulmate adalah tentang cinta yang kita bangun, bukan sekadar cinta yang kita temukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H